Warta

Haji Mardud, Setelah Haji Tetap Korupsi

Kam, 25 November 2010 | 11:16 WIB

Tegal, NU Online
Kedatangan para jamaah haji ke tanah air patut disyukuri, karena mereka  kembali dengan selamat, setelah melalui pengorbanan dan cobaan dalam menjalankan satu ibadah yang membutuhkan kekuatan fisik, mental dan tentunya harta benda.

Pertanyaaanya apakah haji mereka mabrur (diterima) oleh Allah atau justru sebaliknya haji mereka mardud (ditolak) karena setelah pulang dari ibadah haji tetap saja, dengan kebiasaan buruknya seperti korupsi misalnya.<>

Demikian tema pembicaaraan dalam diskusi terbatas PC Lakpesdam NU kabupaten Tegal, Kamis (25/11) di gedung NU Slawi.

Menurut Ahmad Fatihudin SAg, ketua Lakpesdam NU kab Tegal, yang juga anggota DPRD setempat, mengatakan bahwa haji orang yang mardud atau mabrur, terlihat setelah ia melakukan ibadah haji. Kalau setelah melakukan ibadah haji tambah baik kelakuannya, berarti hajinya mabrur, kebalikannya kalau setelah melakukan ibadah haji tambah jelek berarti hajinya mardud. Contohnya setelah haji tetap saja korupsi maka ini jelas mardud.

“Atau bisa dikatakan, semakin meningktnya jamaah haji pertahunnnya, tapi angka korupsi tetap tinggi bisa jadi haji-haji sebelim ini, kebanyakan mardud,” katanya.

Padahal, lanjut Fatih, korupsi adalah kejahatan dan kedzaliman yang sangat biadab, karena telah menyengarakan ribuan rakyat bahkan anak-anak yang tidak berdosa.

“Kalau kasusnya Sumiati, TKW asal NTB yang mengalami penyiksaan dan Kokom Komalasari masih agak mendingan karena kesengsaraan hanya dirasakan orang perorang, tapi korupsi menimbulkan kesengsaraan berjamaah. Masih banyaknya warga miskin yang belum tersentuh dan akses dalam pelayanan dasar menyangkut kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan, bisa jadi sebagai akibat kejahatan korupsi,“ tandasnya.

Pantas saja agama sangat mengecam tindakan korupsi. “Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan, Imam Bukhari, “Nabi bersabda, ‘Berikanlah hak-hak mereka (rakyat), karena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban penguasa perihal hak-hak rakyat. Nabi juga bersabda, tidak ada seorang manusia yang diberi amanat untuk memimpin rakyat kemudian ia mati dalam keadaan mencurangi rakyat, kecuali diharamkan baginya surga’.” kata Fatihudin, alumni pesantren Lirboyo, menceritakan bahaya korupsi.

Oleh karenanya, menurut Fatih, merupakan kewajiban seluruh rakyat, khususnya para ulama untuk melakukan kontrol sosial, amar makruf nahi mungkar, secara terus menerus di semua tingkatan dari desa sampai pusat, agar uang negara tidak diselewengkan.

“Disinilah perlunya para kiai  melek anggaran, agar bisa melakukan kontrol terhadap kekuasaan terkait tasharuf uang rakyat oleh pejabat. Dalam waktu dekat Lakpesdam Kab Tegal akan mengadakan pelatihan advokasi anggaran yang akan diikuti oleh para kiai di jajaran syuriah dari cabang sampai ranting, jajaran tanfidziyah dam banom, “ kata Fatih menjelaskan. (tth)