Warta

Jelang Lebaran Kue Tradisional Hiasi Idul Fithri

Sab, 22 November 2003 | 12:36 WIB

Banda Aceh, NU.Online
SUDAH menjadi tradisi setiap tahun, menjelang hari raya, warga Aceh disibuki berbagai kegiatan. Terlebih lagi, para ibu rumah tangga di pedesaan. Baginya, mungkin soal setelan itu belakangan. Tapi, tanpa persediaan kue walau alakadar, rasanya kurang nikmat berlebaran. Konon lagi yang namanya timphan dodoi (Dodol).

Makanya tidak mengherankan, sekitar sepekan lagi Bulan Ramadhan berakhir, selesai shalat shubuh kaum ibu tidak lagi tidur. Tapi langsung beraktivitas. Menyangkut jenis-jenis kue apa yang akan dibuat sebagai persiapan untuk sang tamu pada hari yang penuh kebahagiaan itu, biasanya sudah diatur sedemikian rupa. Selain kue tradisional, juga disertai beberapa kue moderen.

<>

Malah sebagian gadis di desa-desa terutama jika hendak membuat kue dari bahan mentega, sengaja dilakukan secara bersama-sama. Cara seperti itu sudah menjadi kebiasaan setiap tahun. Selain dapat memupuk keakraban diantara mereka, rasa sosial sesamanya pun tumbuh dengan baik. Sehingga sepintas terkesan tak ada perbedaan nyata antara si kaya dengan si muiskin.

Jika memang tak sanggup bikin banyak karena faktor ekonomi, minimal dua atau tiga jenis kue tetap diupayakan. Yang penting baginya ada. Apalagi, kalau kebetulan dia punya anak atau pun cucu. Kendati cucunya itu bukan kue yang diharapkan saat ketemu nenek atau kakek, tapi salam tempel yang diutamakan olehnya.

Seperti disebutkan tadi, kendati belakangan ini banyak ragam kue moderen dijual di toko-toko atau super market, namun kue tradisional sulit dilupakan. Mereka yang berada diperantauan dan sudah lama berpisah dengan orang tuanya atau sanak saudara, ketika lebaran tiba, dia pasti teringat akan kampung halaman. Untuk memulihkan rasa haru sekaligus ingin menjenguk ayah dan ibu, akhirnya mereka memilih mudik setahun sekali.

Sederetan nama kue tradisional yang hingga kini masih tetap setia mendampingi sejumlah kue moderen pada hari raya antara lain, dodoi, meusekat, wajeb, keukarah, bhoi, nyap, kue somprong dan timphan.

Dari semua jenis kue tersebut, terakhir sekali dibuat adalah timphan. Tanpa timphan, terasa belum lengkap. Pasalnya, tamu yang bertandan pada hari itu sering sekali minta kue yang satu ini. Sambil berseloro, "Mana timphan asoue kaya," tanya sang tamu tadi.

Dodoi, wajeb dan meuseukat tak pernah absen pada setiap hari raya. Malah sebagian wanita tua di kampung, sangat bersahaja untuk membikin kue tersebut. Untuk membikinnya pun tidak sembarangan orang mahir terutama dalam mengaduk adonannya. Salah-salah, kalau bukan jadi bubur, tentu keras bagaikan batu. Rasa dan aroema menjadi ciri khas "Made In siapa dodoi atau meusekat".

Bagaimana pun enak dan beragam bentuk kue 'Made In luar' yang dijual di super market, keberadaan kue tradisional memiliki khasanah tersendiri. Pada setiap acara ritual seperti halnya 'peusijuek' menantu yang lagi hamil anak pertama atau pun saat antar perbekalan untuk ayunan sang bayi intat ija ayon), hidangan yang dibawa umumnya adalah kue tradisional.

Apalagi untuk sajian hari raya. Tentu saja makanan yang disiapkan lebih dari itu. Terkadang tak ada setelan untuk berlebaran bukan hal utama, jika mereka tidak mampu menyediakan kue walau hanya sekadar kemampuan. Suasana hari raya di kampung-kampung memang jauh sekali berbeda dengan di perkotaan. Hubungan silaturrahmi sesama warga tampak lebih akrab.

Duduk santai di bale atau beulukoue sambil ngobrol pada siang hari raya pertama hingga kedua dan ketiga, sudah menjadi pemandangan rutin di desa-desa. Terkadang tua dan muda saling bercanda sesamanya. Apalagi jika ada diantara mereka yang sebelumnya hidup atau merantau di negeri orang. Sanking asyiknya ngobrol kesana-kemari, hari sudah menjelang sore tak terasa.

Lain halnya anak-anak. Lebaran adalah hari yang mereka tunggu. Dengan pakaian yang serba baru, sejak pagi mereka mulai ambil ancang-ancang. Biasanya mereka bepergian secara berkelompok- kelompok. Sasaran utama adalah ke ibukota kecamatan. Sesampai disana yang pertama dilirik adalah senjata mainan.

Main perang-perangan, adalah salah satu permainana yang paling mereka gemari selama ini. Dengan meneteng senjata mainan plus kaca mata hitam, mereka berjalan dengan penuh percaya diri. Itulah dunia anak-anak. Apa yang melihat selama ini dimana aparat meneteng senjata, mungkin dia pun kepingin seperti itu. Distulah sebenarnya dapat dilihat, kemana arah atau jiwa anak-anak.(kd-Aceh/Muntadhar)