Warta

Ketetapan Pemerintah Saudi Lebih Kental Unsur Ekonominya

Jum, 22 Desember 2006 | 04:33 WIB

Semarang, NU Online
Ketetapan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebagaimana diumumkan Majelis Pengadilan Tertinggi Arab Saudi bahwa hari Arafah jatuh pada Jumat, 29 Desember 2006, dinilai oleh para ahli falak Nahdlatul Ulama lebih kental unsur ekonominya dari pada unsur ibadahnya.

Jika dibandingkan dengan posisi hilal di Makkah pada tanggal yang bersamaan dengan tangal 29 Dzulqa’dah (20 Desember kemarin) pada saat diberlangsungkan rukyatul hilal, di Makkah ijtima’ (bulan baru) terjadi sekitar 0 jam 41 menit sebelum terbenam matahari (ijtima’ qabla ghurub). Namun ketinggian hilal pada saat ghurub masih berada di bawah ufuk pada ketinggian sekitar -2051,7'<>Hilal di Makkah dengan demikian memang sudah merupakan hilal Dzulhijjah karena sudah melampaui ijtima’, namun dengan ketinggian yang negatif ini secara obyektif hilal tidak mungkin dapat terlihat. Besar kemungkinan jika dilihat hanya pada posisi hilal semata, baik di Indonesia maupun di Arab Saudi akan mengawali bulan Dzulhijjah pada hari yang bersamaan, yakni pada hari Jum’at tangal 22 Desember 2006 dan wukuf akan diberlangsungkan pada hari Sabtu, 30 Desember 2006.

“Pemerintah Saudi lebih mementingkan unsur ekonominya dari pada ibadahnya, karena jika wukuf diadakan pada hari Jum’at atau dengan kata lain ada haji akbar, maka pihak kerajaan akan mendapatkan banyak pemasukan,” kata Koordinator Diklat Pengurus Pusat Lembaga Falakiyah PBNU (LFNU) Ahmad Izzuddin kepada NU Online, di Semarang, Jawa Tengah, Jum'at (22/12).

Padahal sebelumnya, kalender Ummul Qura menyatakan bahwa pelaksanaan wukuf di Arafah jatuh pada 30 Desember 2006 atau hari Sabtu. Kepala Daerah Kerja Makkah, Ahda Barori sebagaimana dikutip dikutip Kantor Berita Arab Saudi (SPA) edisi Kamis (21/12) membenarkan bahwa berdasarkan ketetapan pemerintah Arab Saudi pelaksanaan wukuf jatuh pada 29 Desember 2006 atau hari Jum'at.

Namun menurut Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama Republik Indonesia KH. Nazaruddin Umar Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia sendiri belum menetapkan tanggal 9 Dzulhijjah H1427 H, yakni saat diberlangsungkannya wukuf atau bermalam di Tanah Arafah bagi para jemaah.

“Ternyata yang muncul itu hanya dari dua media besar di sana. Pemerintah Saudi sendiri berlum menentukan Awal bulan Dzulhijjah,” kata Nazaruddin Umar saat memberikan materi kepada para peserta Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Nasional Pelaksana Rukyat Nahdlatul Ulama di komplek Masjid Agung Semarang, Jawa Tengah, Kamis (21/12) malam.

Wukuf di Arafah adalah rukun utama dari ibadah haji. Para jemaah haji mestinya berharap wuquf di Arafah akan terjadi pada hari Jum’at karena berarti ada “haji akbar” yang penuh dengan keistimewaan, dimana dua hari besar berkumpul dalam satu waktu, yakni hari Jum’at yang merupakan sayyidul ayyam (pengulu hari-hari biasa) dan hari Arafah yang penuh keberkahan.

Rukyat Tidak Berhasil

Sementara itu rukyatul hilal yang dikoordinir Lajnah Falakiyah Pengurus Besar Nahdalatul Ulama (LFNU) di berbagai titik rukyat di Indonesia pada Rabu petang (20/12) lalu tidak satu pun berhasil menemukan hilal (bulan). Di beberapa tempat terhalang awan, sementara di tempat lainnaya bulan tidak berhasil dilihat karena memang bulan belum berada di atas ufuk.

“Karena itu diadakan istiqmal, atau bulan Dzulqa’dah digenapkan 30 hari,” kata KH. Ketua LFNU KH. Ghazali Masroeri. Dengan demikian awal syawal jatuh pada hari Sabtu, 23 Desember 2006 dan Shalat Hari Raya Idul Adha akan diadakan pada hari Ahad 31 Desember 2006.

Namun penetapan (itsbat) awal Dzulhijjah baru akan diadakan pada Jum’at siang antara organisasi-organisasi Islam yang dipimpin oleh Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama KH. Nazaruddin Umar. (nam)