Warta

Lesbumi Hadapi Tantangan Pragmatisme Kebudayaan

Ahad, 10 Juni 2007 | 13:49 WIB

Jakarta, NU Online
Sifat kebudayaan yang pragmatis atau lebih dikenal dengan kebudayaan populer, kini menjadi tantangan bagi Lembaga Seni dan Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) untuk menghasilkan kebudayaan dan kesenian yang manusiawi dan berkualitas.

“Ini membutuhkan pemikiran besar dan visioner bahwa ke depan kita harus menguasai dan kita berjuang kembali dari nol. Sebenarnya orang yang segaris dengan Lesbumi masih banyak, cuma masih berserakan, ” tutur Pemimpin Redaksi NU Online Mun’im DZ saat memberikan kilas balik Lesbumi dalam rapat koordinasi Pimpinan Pusat Lesbumi di Jakarta,<> Sabtu.

Dikatakan Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) itu, Lesbumi sendiri dilahirkan pada tahun 1962 sebagai respon terhadap kondisi politik saat itu. Lesbumi menentang Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) dengan konsep Manifesto Kebudayaan-nya atau dikenal dengan istilah Manikebu. Selain PKI sendiri, Lesbumi menentang keras imperialisme Barat.

Sejak awal berdirinya, Lesbumi tidak hanya hidup untuk berkesenian seperti prinsip yang dimiliki oleh Manikebu dengan prinsip art for art atau berkesenian untuk kesenian sementara Lesbumi prinsipnya art for humanity atau seni untuk kemanusiaan. “Apakah ini masih bisa kita pegangi terus atau kita ikut manikebu yang indah-indah, yang bagus-bagus, tanpa ada misi-misi kebudayaan dan moral tertentu,” paparnya.

Namun Mun’im percaya bahwa sebuah arus akan mengalami titik jenuh, hal yang sama juga akan dialami oleh kesenian pop. Karena itu Lesbumi diharapkan bisa menampilkan karya-karya lama berkualitas yang dimasa mendatang bisa menjadi spirit dan mainstream baru.

Dijelaskannya bahwa sebenarnya keberadaan Lesbumi waktu itu tidak hanya berfungsi sebagai badan otonom atau lembaga NU, tetapi sebagai think thank di bidang politik kebudayaan. Karena itu, keberadaan dewan kebudayaan saat ini sangat penting untuk menjalankan fungsi tersebut.

Pada masa Trikora untuk memperebutkan Irian Barat Lesbumi mendukung dalam berbagai kegiatan kesenian. “Disini, dewan kebudayaan bisa mengendalikan arah politik dan menjalankan misi politik untuk kebebasan,” katanya.

NU juga mendukung revoluasi yang belum selesai yang dicetuskan oleh Soekarno. Dukungan ini terkait dengan pembelaan NU terhadap Pancasila yang menurut Soekarno merupakan produk filsafat yang sangat tinggi, lebih tinggi daripada Declaration of Human Right dan Manifesto Komunis.

Mun’im menjelaskan kekuatan imperialis Barat bekerjasama dengan Orde Baru telah mematikan budaya dan kesenian yang berbasis pada kerakyatan dan kebangsaan. Ini untuk menjaga kepentingan politik imperialis, dan hal ini menguntungkan Orde Baru karena dengan hilangnya nuansa kerakyatan dan kebangsaan pada seni dan budaya maka akan muncul seni dan budaya baru yang menjadi ciri khas Orde Baru.

Pada waktu itu, Lesbumi paling menguasai teknologi perfilman dan mampu menghasilkan film-film berkualitas ketika Lekra yang dianggap paling maju belum bisa membuatnya. Film seperti Darah dan Doa dan Film Pagar Kawat Berduri mencerminkan visi yang dimiliki Lesbumi.

Di sisi lain, Lesbumi juga tidak meninggalkan kesenian tradisional di masyarakat tingkat bawah mengingat NU sangat menghargai keragaman seni. “Ada yang selera seninya tinggi, menengah, atau rendah, sehingga semua harus dikelola, kalau seleranya baru kuda lumping atau reog ya harus ditanggapi,” (mkf)