Warta

Malaysia Bisa Belajar Apa dari NU?

Sen, 18 Februari 2008 | 03:54 WIB

Selangor, NU Online
What Can Malaysians Learn From Nahdlatul Ulama?”. Demikian tema diskusi yang digelar oleh Sisters in Islam (SIS), sebuah lembaga swadaya masyarakat terkenal di Malaysia, yang mengundang Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Malaysia dalam diskusi bulanan, Sabtu (16/2) lalu.

Tema itu sengaja dipilih SIS untuk mengenal lebih dekat peran dan sumbangan NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan secara lebih khusus lagi dalam kiprahnya melakukan pemberdayaan perempuan di Indonesia.<>

Diskusi tentang NU di kantor SIS di Petaling Jaya, Selangor ini diikuti oleh kalangan kampus, LSM dan aktifis gender. Tampil sebagai pembicara mewakili PCI NU Malaysia H. Amin Fadlillah , MA. dan H. Fathonah K. Daud, MA. Keduanya didampingi moderator dari SIS, Prof. Nur Aini Otman, yang juga dosen Institut Kajian Malaysia dan Antarabangsa (IKMAS) Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM).

Amin Fadlillah, yang juga Katib Syuriah PCINU Malaysia menyebutkan bahwa NU telah memberikan peran dan sumbangsih yang besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Hal ini berlangsung sejak masa pra-kemerdekaan, di mana salah satu tokoh NU, yaitu KH. Abdul Wahid Hasyim, terpilih sebagai salah satu tim inti Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Dikatakannya, pada masa kemerdekaan, NU tampil dengan Resolusi Jihad, fatwa yang mengharuskan ummat berjuang melawan sekutu dan penjajah demi mempertahankan tanah air. Pada masa pembangunan, NU adalah organisasi yang pertama kali secara resmi menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas ideologi bernegara di Indonesia .

NU juga memerankan perannya yang penting di tengah masyarakat. Kembalinya NU kepada asas perjuangannya (Khittah 1926) semakin memperteguh karakter pengabdiannya dalam konteks dakwah keagamaan dan pemberdayaan masyarakat sipil.

Akan tetapi meskipun demikian, penglibatan NU dalam kegiatan politik praktis memang terkadang masih saja ditemui. “Hal ini barangkali karena NU yang pernah menjadi partai poltik, memerlukan waktu bagi menghilangkan sama sekali syahwat politiknya yang masih terlihat besar,” katanya.

Sementara itu, Fathonah K. Daud, MA., yang juga Wakil Ketua Fatayat NU Malaysia, dalam pemaparannya lebih memberi penekanan pada perjuangan NU terhadap pemberdayaan wanita di Indonesia.

Dikatakannya, NU beserta organisasi-organisasi wanita di bawahnya (Muslimat, Fatayat dan IPPNU) serta NGO yang garis perjuangannya seafiliasi dengannya (seperti P3M di awal 1990-an, Rahima, Puan Amal Hayati dan seterusnya pada tahun 2000-an) telah memainkan peran yang nyata. Hal ini antara lain dilakukan dengan cara memberikan pemahaman tentang hak-hak wanita melalui forum pengajian, pendidikan madrasah dan pesantren.

Selain itu, perjuangannya sejak awal 1990-an mulai dilakukan dengan cara memberikan kritik terhadap beberapa kitab kuning dengan melakukan re-interpretasi teks dan penafsiran agama serta berupaya melakukan perbaikan dan pembaharuan beberapa aturan hukum Islam berkenaan masalah kewanitaan. Pada masa sekarang ini, perjuangan di kalangan NU sudah mencakup pula bidang-bidang advokasi.

Menjawab salah seorang peserta diskusi yang menanyakan impak atau dampak perjuangan pemberdayaan wanita oleh NU terhadap masyarakat di Indonesia, Fathonah secara jujur menyatakan bahwa hasilnya memang belum berdampak jelas dan masih memerlukan waktu yang lama. Meskipun demikian, kesadaran dan pemahaman wacana masyarakat terhadap hak-hak wanita sedikit banyak sudah ada perubahan dan dirasakan dampaknya.

Demikian juga ketika ditanyakan, mengapa aktifis gender yang muncul di Indonesia justeru banyak dari kalangan NU? Amin Fadlillah menjawab bahwa NU adalah organisasi yang memiliki komitmen mempertahankan budaya dan tradisi masyarakat dengan tanpa merusakkannya. Pemahaman NU terhadap teks oleh karena itu kemudian juga dilakukan dalam kerangka dan pola tersebut.

Hal ini tentu berbeda dan tidak berlaku di kalangan agamawan dan aktifis keagamaan yang lain, yang katanya menyebut diri mereka sebagai modernis, yang cenderung literal dan skripturalis. Pada mereka, apapun bentuk tradisi, budaya maupun tren yang baru muncul, yang bertentangan dengan teks, mesti dibuang dan disingkirkan.

SIS, sebagai LSM Malaysia yang didirikan sejak 1988, dikenal sebagai institusi yang concern terhadap isu-isu kewanitaan di Malaysia . SIS antara lain bertujuan menghapuskan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap wanita, memperjuangkan hak wanita dalam kerangka Islam, mewujudkan kesadaran masyarakat serta berupaya memperbaharui undang-undang yang menyentuh isu keserataan, keadilan, kebebasan, martabat dan demokrasi dalam Islam.

Kesempatan diskusi tersebut juga digunakan oleh SIS untuk mempamerkan beberapa buku dan bulletin terbitannya. Beberapa karya tokoh NU yang diterbitkannya juga ikut dipamerkan, antara lain: Islam and Women’s Reproductive Rights, karya KH Masdar Farid Mas’udi; Al-Qur’an untuk Kaum Wanita, karya Nasaruddin Umar dan Fiqh Wanita, karya KH. Husein Muhammad. (Nucim-Hilmy)