Warta

Masalah Umat Islam bukan Akidah, tapi Peradaban

Ahad, 10 Februari 2008 | 02:32 WIB

Kuala Lumpur, NU Online
Masalah besar yang sedang dihadapi oleh umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, bukan di bidang akidah atau dalam hal berkeyakinan, tapi dalam mewujudkan sebuah peradaban.

Demikian dikatakan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof Dr KH Said Agil Siroj (Kang Said) di Malaysia pekan lalu dalam satu seminar yang diselenggarakan oleh Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Malaysia dalam rangka peringatan hari lahir (Harlah) ke-82 NU.<>

Penanaman nilai-nilai akidah dilakukan oleh Nabi Muhammd SAW pada saat berada di Makkah, pada saat orang-orang belum mempunyai sandaran teologis yang kuat. Sementara saat berada di Madinah, tibalah saat membentuk sebuah peradaban.

Dikatakan Kang Said, pada saat berada di Madinah, Nabi menjumpai masyarakat yang lebih plural dan majemuk, yang terdiri dari masyarakat Muslim Muhajirin, Ansor dan masyarakat Yahudi, dan di situlah peradaban Islam mulai dibentuk.

Nabi kemudian membangun sistem sosial untuk hidup bersama, satu bangsa, satu cita-cita, satu komitmen ummatan wahidah, di mana hak dan kewajiban sama, pelayanan dan kedudukan di muka hukum adalah sama.

“Sistem ini namanya tamaddun. Oleh karena itu, kota yang semula bernama Yatsrib, kemudian diganti namanya menjadi kota Madinah al-Munawwarah, kota berperadaban yang dicerahkan oleh Rasulullah, kota yang tertata baik, tertib, moderen dan maju,” kata Kang Said seperti dikutip situs PCINU Malaysia www.nucim.org.

Tugas NU saat ini, menurut Kang Said, adalah bagaimana memperjuangkan Islam yang tidak hanya beraqidah dan bersyariah, tapi juga yang bertamaddun, yaitu menjadikan masyarakatnya moderen, ummatan wasatan, umat yang moderat.

“Usaha yang kemudian harus dilakukan oleh NU adalah meningkatkan kualitas masyarakat yang maju, berpendidikan, sejahtera dan modern,” katanya.

Dikatakannya, NU sudah teruji dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Komitmen NU untuk senantiasa berpegang teguh pada Indonesia sebagai darus salam (negara yang menyejahterakan), bukan darul Islam (negara Islam), terbukti tidak disangsikan.

“Komitmen kebangsaan NU yang demikian ini menjadikannya sebagai pilar infrastruktur sosial yang mendapat legitimasi historis bangsa Indonesia,” katanya. (nam)