Warta

Mantan Mufti Mesir diangkat menjadi Rektor Universitas Al-Azhar

Jum, 3 Oktober 2003 | 03:53 WIB

Kairo, NU Online
Satu pekan terakhir ini, ada momen penting terjadi Mesir, khususnya berkaitan dengan Al-Azhar, lembaga pendidikan tertua di dunia. Sesuai dengan SK yang ditandatangani langsung Presiden Husni Mubarak, mantan Mufti Agung (Penasehat Keagamaan) Mesir Prof. Dr. Ahmed Thayeb, diangkat menjadi Rektor Al-Azhar, Kairo, menggantikan Prof. Dr. Omar Hasyim yang sudah dua periode menduduki kursi nomor satu di Universitas Al-Azhar. Sebagai gantinya, Prof. Dr. Ali Jum'ah, diangkat menjadi mufti baru.

Ketika diwawancarai Koran Shawt al-Azhar, tentang visi dan misi Al-Azhar ke depan, di tengah persaingan lembaga-lembaga pendidikan yang semakin kompetitif, rektor baru ini menegaskan, pada tahapan awal, minimal ada tiga hal pokok yang akan dibenahi. Pertama, sistem pengajaran yang dirasa harus dilakukan penyegaran. Beliau menambahkan, "Problem ini tidak hanya dialami Universitas Al-Azhar saja, akan tetapi dialami hampir seluruh universitas, dalam maupun luar negeri. Kedua, melakukan pengetatan dalam proses pengajaran di dalam kampus. Ketiga, membuat program unggulan, khusus buat mahasiswa dan mahasiswi asing, baik menyangkut segi intelektualitas, maupun aplikasi di lapangan, demi meningkatkan kemampuan akademik dan lapangan. Sehingga, ketika pulang ke negaranya masing-masing, mereka tidak gagap, serta mampu memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.

<>

Dalam kesempatan itu, beliau juga berpesan agar para mahasiswa meningkatkan SDM-nya, karena dengan SDM yang unggul, harkat dan martabat bangsa akan terangkat. Sementara di lain kesempatan, mufti baru Prof. Dr. Ali Jum'ah menyatakan, "Kerjasama yang baik antarberbagai organisasi dan lembaga negara akan memberikan dampak positif kepada masyarakat.

Ketika ditanya tentang proyek Taqrib Bainal Mazahib (pendekatan antarberbagai mazhab) yang sekarang sedang digagas antara Mesir (Sunni) dengan Iran (Syiah), beliau menyatakan, "Taqrib Bainal Mazahib adalah sebuah ide cerdas dan penting guna memperat persatuan umat Islam."

Dalam masalah aksi intafadah yang dilakukan rakyat Palestina, Prof. Dr. Ali Jum'ah lebih cenderung membedakan antara perlawan dalam rangka membela harga dan martabat suatu bangsa, seperti yang dilakukan oleh rakyat Palestina, itu adalah legal, bahkan sebuah keharusan dan tidak bisa dikategorikan teroris.

Menanggapi kemungkinan seorang wanita menjadi mufti, Doktor low profile yang sehari-harinya mengajar Hadits, Ushul Fiqh dan fiqh Syafi'i di masjid Al-Azhar ini mengatakan, "Di dalam prespektif hukum Islam, seorang wanita menjadi mufti adalah legal dan sah adanya." Lalu beliau mencontohkan Sayyidah 'Aisyah yang menjadi mufti pada masanya. "Permasalahannya bukan terletak pada boleh tidaknya seorang wanita menjadi mufti, tetapi lebih pada kapabilitas dan kemampuan, baik secara mental, maupun intelektual," tambahnya. (Aang/NU, Cairo)
      Â