Warta

Mewujudkan Peradilan Yang Bersih dan Berwibawa

NU Online  ·  Senin, 18 September 2006 | 05:58 WIB

Jakarta, NU Online
Indonesia sebagai negara yang berlandaskan hukum ternyata masih memiliki kelemahan di bidang penegakan hukum. Benarkah kelemahan itu terjadi akibat sytem peradilan yang dimiliki bangsa ini masih tergolong lemah sehingga diperlukan upaya cerdas untuk mewujudkan peradilan yang bersih dan berwibawa?

Itulah salah satu wacana yang mengemuka dalam sebuah Seminar Nasional yang terselenggara atas kerjasama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Komisi Yudisial (KY) yang bertempat di hotel Acacia, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Senin (18/9).

<>Dalam seminar yang bertajuk “Problema Pengawasan Penegakan Hukum di Indonesia dalam Mewujudkan Lembaga Peradilan Yang Bersih, Profesional dan Berwibawa” itu, hadir sejumlah pembicara antara lain Ketua PBNU yang juga anggota Komisi Hukum Nasional, M. Fajrul Falakh, anggota Komisi III dan Badan Legislasi DPR-RI, Lukman Hakim Saifuddin, M. Thahir Saimima dan Soetandyo Wignjosoebroto.

Fajrul Falakh yang juga pengajar di Fakultas Hukum UGM dalam kesempatan itu  menilai pentingnya seorang pengemban profesi hukum untuk menangani persoalan hukum di mana dirinya memiliki kompetensi untuk menanganinya dan harus melaksanakan semua dan setiap pelayanan jasa hukum yang disanggupinya untuk diberikan demi kepentingan klien atau pihak lain.

“Dipelukan upaya professional untuk mewujudkan lembaga peradilan yang independen,” unkap mantan anggota Komisi Konstitusi itu.

Sementara itu, Lukman Hakin Saifuddin yang membahas persoalan emnyangkut KY dan fungsi check and balance dalam kekuasaan kehakiman memaparkan, kekuasaan kehakiman yang dilakukan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) harus benar-benar merupakan “kekuasaan yang merdeka untuk meyelenggarakan peradilan guna menegakkan hokum dan keadilan.

“Hal yang paling mendasar untuk segera diberantas adalah praktik mafia peradilan,” ungkap Saifuddin merujuk pada praktik peradilan yang telah merambah ke badan peradilan di berbagai tingkatannya.

Di tempat yang sama, Thahir Saimima meminta agar konsep jejaring KY mampu membuka terbentuknya jaring pengawasan masyarakat terhadap praktik peradilan. Pasalnya, jarring pengawasan ini pada akhirnya akan mampu menumbuhkan “sensitivitas dan kekritisan masyarakat terhadap praktik mafia peradilan”. (dar)