Warta

PBNU: Pernyataan Ahmadiyah Harus Lebih Tegas

Rab, 23 Januari 2008 | 07:26 WIB

Jakarta, NU Online
12 butir pokok-pokok keyakinan dan kemasyarakatan yang dikeluarkan warga Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) beberapa waktu lalu tidak secara tegas menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad bukanlah Nabi dan tidak menerima wahyu.

“Padahal itu yang yang jadi pokok persoalan. Dalam 12 pernyataan itu hanya disebutkan Mirza Ghulam adalah pembawa berita gembira, mubasysyirat dan seterusnya. Mestinya secara eksplisit dinyatakan bahwa dia bukan Nabi dan tidak mendapat wahyu,” kata Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hafidz Utsman usai mengikuti rapat pengurus syuriyah-tanfidziyah di kantor PBNU, Jakarta Pusat, Rabu (23/1).<>

Dalam butir ketiga yang dikeluarkan JAI disebutkan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, mursyid, pembawa berita gembira dan peringatan serta pengemban mubasysyirat . Menurut Kiai Hafidz, hal itu adalah pernyataan yang umum dan lazim dikeluarkan oleh organisasi manapun.

Pernyataan 12 butir itu, lanjutnya, juga harus dikeluarkan secara resmi oleh jemaat Ahmadiyah saja dan tidak ada intervensi dari organisasi atau instansi manapun.

“12 butir statemen itu ditandatangani oleh amir Ahmadiyah dan di bawahnya ada kata ‘mengetahui’ lalu diteken oleh pihak Departemen Agama koq kesannya seperti rumusan bersama saja, seperti melalui proses kompromi,” katanya.

Namun demikian, lanjut Kiai Hafidz, PBNU tetap menghargai keinginan Jemaat Ahmadiyah untuk bertaubat dan kembali kepada pemahaman keislaman yang sudah berlaku sejak Nabi Muhammad SAW hingga sekarang.

“Kalau mereka kembali ke jalan yang benar akan kita terima dengan baik. Kita akan akui Ahmadiyah sebagai keluarga besar umat Islam. Dengan sendirinya umat Islam termasuk orang ahmadiyah akan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW,” kata Kiai Hafidz.

PBNU, lanjutnya, meminta pemerintah dalam hal ini Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) dan Departemen Agama dapat menampung pendapat semua fihak secara obyektif dan proporsional.

“Pemerintah wajib melindungi keutuhan suatu agama di tengah masyarakat yang majemuk ini. Keutuhan dan eksistensi suatu agama merupakan hak sekaligus kewajiban pemerintah,” kata Kiai Hafidz. (nam)