Warta BEDAH BUKU LESBUMI

Pemikiran Bung Karno Bisa Menjadi Tonggak

Jum, 22 Juni 2007 | 08:44 WIB

Jakarta, NU Online
Pokok-pokok pikiran presiden pertama Republik Indonesia Soekarno (Bung Karno) adalah inspirasi penting untuk merumuskan strategi kebudayaan baru agar bangsa Indonesia tidak terombang-ambing oleh kepentingan global.

”Indonesia saat ini hampir kehilangan identitas diri sebagai bangsa. Pemikiran Bung Karno dapat dijadikan sebagai tonggak,” kata Ketua Lembaga Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) Nahdlatul Ulama Ngatawi Al-Zastrow, saat memberikan kata pembuka pada acara bedah buku bertajuk "Bung Karno, Islam, Pancasila, NKRI" di gedung PBNU, Jakarta, Jum’at (22/6).

<>

Tokoh nasionalis Bondan Gunawan dalam kesempatan itu menyampaikan, salah satu inti pemikiran Bung Karno adalah penolakannya terhadap berbagai bentuk penjajahan atau kolonialisme. ”Makanya faham neoliberalisme oleh Bung Karno disebut sebagai neokolonialisme, kolonialisme baru,” katanya.

Menurutnya, hubungan dekat Bung Karno dengan kalangan NU dan pesantren disemangati oleh kepentingan bersama untuk menghancurkan kolonialisme itu.

Pimpinan Redaksi NU Onlne Abdul Mun’im DZ menegaskan, hubungan dekat Bung Karno dengan NU tidak hanya berlangsung secara paragmatis dan oportunistik, untuk kepentingan politik praktis, namun karena kedekatan kultural.”Bahkan lebih tepat disebut hubungan ideologis,” katanya.

Dikatakan, para tokoh NU dan soekarno berangkat dari kesadaran yang sama bahwa Indonesia mempunyai latar belakang sejarah yang panjang dan berhak menyusun sejarah kedepannya sendiri.

”Sebelumnya, tidak ada itu sejarah Indonesia. Yang ada hanyalah sejarah Eropa. NU dan Bung Karno sama-sama punya kesadaran sejarah, bahwa Indonesia ini besar dan berdaulat. Kedaulatan itu yang membuat masyarakat sejahtera,” Mun’im DZ.

Dikatakan Ketua Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU itu, Bung Karno tidak pernah mengadopsi konsep-konsep dari luar negeri tanpa dinasionalisasikan terlebih dahulu, disesuaikan dengan kebutuhan bangsa Indonesia.

”Bung Karno tidak pernah teksbook menyebut konsep secara verbal. Hak Asasi manusia atau HAM dia bahasakan sebagai kemanusiaan. Demokrasi dia bahasakan dengan kedaulatan. Ini yang lebih substansial,” katanya.

Sementara itu Rais Syuriah PBNU KH Ma’ruf Amin lebih menghawatirkan adanya gelombang baru nasionalisme yang dia sebut sebagai nasionalisme kosmopolit, yakni model nasionalisme yang sekuler dan ditunggangi oleh kepentingan negara-negara maju.

”Redefinisi nasionalisme seperti ini yang perlu kita waspadai. Ini namanya nasionalisme kesurupan. Perlu diakui bahwa nasionalisme sebagaimana dirumuskan oleh Bung Karno, para tokoh NU dan pendiri bangsa ini adalah nasionalisme religius,” katanya.(nam)