Warta

Pendidikan di Jepang Mirip Madrasah dan Pesantren di Indonesia

Sen, 15 Januari 2007 | 05:20 WIB

Hiroshima, NU Online
Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jepang Agus Zainal Arifin berharap lebih banyak lagi para guru NU yang bisa mengikuti Program Penataran Guru (PPG) di Jepang. Pasalnya, menurutnya, sistem maupun metode pendidikan di negeri Sakura itu mirip dengan madrasah atau pesantren di Indonesia.

“Misalnya, keharusan melepas sepatu di dalam kelas sehingga kelas tetap bersih. Hormatnya kepada guru bahkan sampai level kasih sayang antara guru dengan murid. Kekuatan fisik siswa yang hampir tiap hari dibebani tugas olah raga yang beragam dan tidak membosankan,” terang Agus—begitu panggilan akrabnya—kepada NU Online di Hiroshima, Jepang, Senin (15/1)

<>

Sebagaimana diberitakan situs ini beberapa waktu lalu, pemerintah Jepang membuka kesempatan bagi para guru yang bernaung di bawah Lembaga Pendidikan (LP) Maarif NU menerima beasiswa untuk mengikuti PPG di negara pimpinan Perdana Menteri Shinzo Abe tersebut.

Program non-gelar yang berlangsung selama 18 bulan tersebut memang dirancang khusus oleh pemerintah Jepang bagi para guru untuk meningkatkan kualitas pengajaran sesuai bidangnya. Pendaftaran akan segera ditutup pada 31 Januari 2007.

Hanya saja, kata Agus, meski mirip, namun efeknya yang berbeda. Para siswa di Jepang begitu disiplin, baik waktu maupun aturan, padahal hal itu dilakukan tanpa ancaman. Demikian juga tingkat ‘persaingan’ yang begitu tinggi di antara para siswa yang membuat prestasi yang tinggi pula.

“Siswa di Jepang sangat sedih saat liburan, mereka kangen sekali ingin segera masuk sekolah. Mengerjakan PR-nya penuh tanggung jawab bahkan dengan suka cita,” ujar Agus yang juga kandidat doktor di Universitas Hiroshima itu.

Menurut Dosen Program Studi Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya itu, bila keadaan tersebut mampu diterapkan pada pendidikan di Indonesia, maka bangsa Indonesia akan segera menjadi negara maju sebagaimana negara-negara lainnya. Apalagi jika sistem tersebut kemudian digabungkan dengan pendidikan akhlaqul karimah yang diajarkan dalam Alquran dan hadits.
 
Agus berharap, kesempatan tersebut tak terlewatkan begitu saja oleh para guru NU. Pasalnya, program tersebut sifatnya sangat kompetitif. Pembuatan proposalnya pun, menurutnya, harus sempurna. Demikian juga persyaratan administrasinya jangan sampai ada yang kurang. “Kalau ada surat yang kurang satu saja, jangan harap dapat undangan wawancara,” tandasnya.

Untuk keperluan itu, Agus mengatakan, pihaknya siap memberikan asistensi atau bantuan informasi lainnya terkait dengan program tersebut. “Insyaallah saya dan sahabat-sahabat di NU Nihon (sebutan lain untuk PCINU Jepang, Red) bisa membantu. Kirimkan saja email ke agusza @clock.ocn.ne.jp,” ungkapnya. (rif)