Warta PERINGATAN HARI KARTINI

Putri KH Hasyim Asy’ari Pelopori Gerakan Perempuan di NU

Sab, 21 April 2007 | 10:34 WIB

Jakarta, NU Online
Gerakan pemberdayaan perempuan di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) pun tidak mudah dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Adalah Hindun, putri pendiri NU Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari, yang memelopori gerakan perjuangan kesederajatan perempuan dengan laki-laki di NU.

Dcmikian disampaikan Direktur Eksekutif The Wahid Institut Ahmad Suaedy dalam paparannya saat menjadi narasumber pada Sarasehan dan Gelar Budaya bertajuk “Akar Budaya Kepemimpinan Perempuan Indonesia” di Kantor Pengurus Besar NU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Sabtu (21/4)

<>

Suaedy, demikian panggilan akrabnya, menjelaskan, perjuangan Hindun dalam memperjuangkan pemberdayaan perempuan dimulai dari gagasannya mendirikan organisasi yang menghimpun kaum perempuan, Muslimat NU. “Awalnya banyak kiai-kiai yang menolak gagasan Ibu Hindun itu,” ungkapnya.

“Kiai Hasyim Asy’ari awalnya tidak menolak atau mendukung gagasan itu. Beliau hanya meminta Ibu Hindun untuk menjelaskan gagasan tersebut di hadapan para kiai-kiai. Setelah dijelaskan, sebagian kiai menerima, termasuk Kiai Hasyim Asyari juga menerima,” jelas Suaedy.

Namun demikian, lanjutnya, keberadaan Muslimat NU dan perjuangan pemberdayaan perempuan di lingkungan NU belum selesai. Menurutnya, budaya yang didominasi kaum laki-laki atau budaya patriarki yang masih kuat merupakan salah satu penyebab perjuangan tersebut mengalami banyak kendala.

“Butuh sekitar 15 tahun untuk memperjuangkan gagasan tersebut bisa diterima lebih luas di kalangan NU, tepatnya ketika Muslimat NU dimasukkan dalam AD-ART (Anggaran Dasar-Anggaran Rumah Tangga) NU. Juga sudah mulai ada program pemberdayaan perempuan,” terangnya.

Dalam acara yang digelar Pengurus Besar Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri dan Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Putri NU itu, Suaedy juga mengungkapkan, perkembangan menggembirakan dalam pemberdayaan kaum perempuan di NU terjadi pada era 1940-an. Pada era tersebut, mulai muncul pemimpin pondok pesantren dari kalangan perempuan.

“Sebelumnya, terutama pada era 1920-an sampai 1930-an, pesantren umumnya dipimpin oleh laki-laki atau kiai. Tapi pada era 1940-an itu, mulai ada perempuan atau disebutnya ‘nyai’ yang mulai mengajar para santri dan menjadi pimpinan di pesantren,” jelasnya.

Baru kemudian pada era 1950-an, tambah Suaedy, mulai muncul pesantren-pesantren yang sepenuhnya dipimpin oleh perempuan. “Walaupun ada nyai yang memimpin pesantren setelah kiainya meninggal dunia, demi meneruskan pendidikan di pesantrennya,” tandasnya.

Laki-laki-Perempuan Masih Bermasalah

Dr Gadis Arivia, Ketua Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, yang juga menjadi narasumber pada sarasehan itu, menyatakan keprihatinannya pada kondisi perempuan Indonesia dewasa ini, terutama dalam bidang pendidikan. Menurutnya, kesenjangan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia masih bermasalah.

“Perempuan melek huruf hanya mencapai 87 persen, sedangkan laki-laki mencapai 94 persen. Pada pendidikan sekolah dasar, masih ada kesenjangan 93 persen untuk anak perempuan dan 95 persen untuk anak laki-laki. Dan kesenjangan ini semakin lebar ketika sampai pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi,” terang Arivia.

Selain itu, ujar Arivia, terjadi penurunan partisipasi kerja perempuan dibanding laki-laki. Di tahun 2006, partisipasi kerja perempuan menurun bila dibandingkan di tahun 2005. “Partisipasi perempuan bekerja di tahun 2005 telah mencapai 50.65 persen, sedangkan di tahun 2006 menurun menjadi 48.63 persen,” pungkasnya. (rif)