Warta RESOLUSI JIHAD DAN HARI PAHLAWAN

PWNU Jatim Terus Gali Sejarah

Sel, 10 November 2009 | 11:09 WIB

Surabaya, NU Online
Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur terus menggali sejarah seputar peristiwa Resolusi Jihad 1945 yang ditengarai memicu terjadinya peristiwa 10 November 1945. Resolusi Jihad yang digelorakan pada 22 Oktober 1945 adalah momentum besar peranan ulama dalam membangkitkan semangat bangsa Indonesia.

Selasa (10/11) pagi tadi PWNU Jawa Timur menggelar seminar nasional bertajuk “Peranan Resolusi Jihad Terhadap Perang 10 Nopember 1945” di lantai III Kantor PWNU Jatim. Hadir sebagai pembicara KH A Muchith Muzadi (Mustasyar PBNU dan pelaku sejarah), Prof Aminuddin Kasdi (Guru Besar Sejarah Unesa) dan Ir Bambang Sulistomo (putra tokoh Perang 10 Nopember 1945 Bung Tomo).<>

Disinyalir, Resolusi Jihad menjadikan bangsa Indonesia menjadi gagah berani karena ada iming-iming mati syahid bagi mereka yang gugur. Resolusi ini berisi fatwa fardlu ain bagi kaum muslimin yang berada dalam batas diperbolehkannya menqashar shalat untuk maju berperang, sedangkan mereka yang di luar batas itu tetap diwajibkan membantu mereka yang berada di garis depan.

Resolusi Jihad, menurut NU, erat kaitannya dengan perang 10 Nopember 1945 yang monumental itu. Karena fatwa itulah menjadikan orang-orang berani mati dalam peperangan. Namun sayang, hingga kini “sejarah formal” di Indonesia belum mencatat peran penting Resolusi ini. Ada beberapa sejarawan asing yang mencatat keterlibatan kiai, dantri dan massa pesantren dalam peristiwa-peristiwa menjelang 10 November 1945 namun masih sepotong-potong dan tercecer beberapa bab.

Seminar merekomendasikan PWNU terus menggali sejarah Resolusi Jihad ini, kaitannya dengan peristiwa 10 November. Rais Syuriyah PWNU Jatim, KH Miftachul Akhyar, meminta agar warga NU terus mencari data otentik peristiwa Resolusi Jihad yang tidak masuk ke dalam sejarah bangsa, karena minimnya bukti pendukung.

Di sinilah pentingnya dokumentasi setiap peristiwa dan kegiatan yang dilakukan oleh NU. “Ikhlas penting, tapi dokumentasi juga tidak kalah penting, bahkan harus,” katanya.

Aminuddin Kasdi, salah seorang sejarawan yang diundang dalam seminar PWNU itu malah menyatakan belum berani menyimpulkan adanya peristiwa penting itu, mengingat minimnya bukti-bukti sejarah, baik tulisan, lisan maupun material.

Menurut anggota tim penulis sejarah Indonesia itu, perlu adanya bukti-bukti yang otentik dan bisa di-cross check dengan bukti-bukti dan sejarah yang lain sebelum menjadi bagian dari peristiwa sejarah. (sbh)