Warta BIOSKOP LINTANG SANGA

Warga Brebes Sambut Film Indonesia

Sab, 21 Januari 2012 | 23:55 WIB

Brebes, NU Online
“Kakean lewa kiye bocah. Dibantu kaa ora gelem. Tinggal ditampani bae kaa. Apa angele sih?” “Kebanyakan polah ini anak. Dibantu kok tidak mau. Tinggal diterima saja kok. Apa susahnya sih?”

Kalimat berbahasa Brebes itu keluar salah seorang guru SMPN 2 Wanasari-Brebes. Dia tidak sedang marah pada anak di depannya, melainkan sedang merespon adegan dalam film Pengejar Angin besutan Hestu Saputra dan Hanung Bramantyo yang diputar di gedung Korpri Jalan MT Haryono Brebes, Jawa Tengah.

<>

“Saya larut dengan adegan itu Mas. Lama saya tidak menonton film yang mengaduk-aduk emosi,” demikian kata guru yang tidak mau disebut namanya pada NU Online, mengomentari adegan di rumah tokoh utama Dapunta (Qausar Harta Yudana).  Guru Damar (Lukman Sardi), Nyimas (Siti Helda Meilita), datang ke rumah kecil di tengah hutan, untuk memberi bantuan uang, dan ditemui ibunda Dapunta (diperankan Wanda Hamidah). Tapi setelah Dapunta datang, bantuan itu ditolak, Damar dan Nyimas diusir.

Guru itu menonton film bersama 200 muridnya, kelas tujuh dan delapan. “Kebetulan kelas sembilan sedang try out, jadi kelas tujuh dan delapan kita rekomendasikan menonton film yang katanya mendidik ini. Eh iya, ternyata bagus, menghibur dan mendidik,” jara Ibu Eni (40), guru Bahasa Indonesia SMPN 2 Wanasari saat ditemui seusai nonton.

Film ini mengisahkan anak seorang bajing loncat di hutan Sumatra Selatan yang punya cita-cita tinggi, ingin meneruskan kuliah. Tapi, bapaknya (Mathias Muchus) ingin anaknya meneruskan pekerjaannya sebagai perampok.

Bagi Bioskop Lintang Sanga, pemutaran film di Brebes ini adalah yang kali kedua. Bulan Oktober 2011 di gedung PCNU Brebes, mereka memutar Tendangan dari Langit selama tiga hari, dan ditonton oleh 2300 orang. Pemutaran kali ini, Pemda Brebes mendukung pemutaran dengan menyewakan gedung Korpri yang berkapasitas 600 penonton.

“Hingga hari ketiga, Pengejar Angin berhasil mendatangkan lebih dari 1579 pasang mata, dengan tujuh kali tayang. Film kami masih diputar hingga hari Senin, tanggal 23 Januari,” jelas sutradara Pengejar angin Hestu Saputra.

Seperti yang dikatakan Ibu Eni, tampilan bioskop belum sempurna, ruangan belum gelap betul, sound system kurang prima, dan pendingin kurang banyak. Bahkan, sewaktu pemutaran berlangsung, kabel yang menguhungkan ke proyektor putus. Pemutaran dihentikan sekitar sepuluh menit. Tapi 200 penonton sabar menanti, mereka tidak protes. Dan calon penonton yang ada diluar gedung pun menanti dengan sabar. Harga tanda masuk 5000 rupiah per penonton. Penonton yang diluar cuma bertanya, "Om, manjinge jam pira? Ganeng suwe temen? (Om, masuk pukul berapa? Kok lama banget?).

“Kami suka sekali. Film seperti ini penting untuk daerah pinggiran seperti Brebes. Film ini suasana desa, tokohnya orang tidak mampu. Jadi film ini dekat dengan realita kami,” jelas Ibu Eni dengan dialek Brebes yang kental. Ibu Eni datang ke gedung Korpri menggunakan sepeda motor, sedang par muridnya diangkut dengan dua truk, sisanya memakai sepeda pancal. Mereka menempuh sekitar 7 kilometer, pulang pergi.

Pada pemutaran hari pertama (19/1), Bioskop Lintang Sanga menyelenggarakan apresiasi film di gedung PCNU Brebes. Lebih dari tiga puluh orang hadir dalam diskusi itu. Mereka adalah guru kesenian, guru Bahasa Indonesia, siswa dan wartawan. Kepala Bidang Humas Brebes Atmo Tan Sidik dan sutradara Hestu Saputra bertindak sebegai pembicara.

Atmo Tan Sidik dalam diskusi itu menyatakan dukungannya atas Bioskop Lintang Sanga. “Kami Senang. Ini bermanfaat sekali, makanya Pemda Brebes mendukung acara semacam ini. Kita harus menonton film Indonesia yang bagus seperti ini. Selain ini hal baru dalam kesenian di Brebes, juga rupanya ramai sekali pedagang dawet dan bakso di lokasi pemutaran film. Semoga bermanfaat bagi banyak orang,” ungkap Tan Sidik.

 

Penulis: Hamzah Sahal