Wawancara

Agus Sunyoto Berbicara Tradisi Lebaran dan Sejarah Ketupat, Seperti Apa?

Sel, 5 Juli 2016 | 03:12 WIB

Agus Sunyoto Berbicara Tradisi Lebaran dan Sejarah Ketupat, Seperti Apa?

KH Agus Sunyoto/channel164

Setiap tiba Hari Raya Idul Fitri, masyarakat muslim di Indonesia mengisinya dengan beragam kegiatan, seperti mudik ke kampung halaman, membagikan makanan, dan ziarah kubur. Dipandang dari segi kebudayaan, tradisi tersebut tidak berasal dari Arab, negara di mana agama Islam berasal.

Budayawan dan Sejarawan Agus Sunyoto, memiliki perspektif tersendiri. Terkait hal itu, Kontributor NU Online Kendi Setiawan mewawancarai kiai yang juga Ketua Lesbumi PBNU tersebut. 

Soal Lebaran Idul Fitri ini, kalau kita amati terutama masyarakat Jawa sangat heboh misalnya dengan agenda beli baju baru dan pulang kampung. Ini bagaimana asal muasalnya?

Ini sebenarnya pengaruh China. Sebelum warga pribumi memeluk agama Islam, orang China yang tinggal di Majapahit sudah memeluk Islam lebih dulu. Di China sana ada kebiasaan kalau lebaran pulang kampung. Termasuk menyulut petasan, bagi-bagi angpao, itu kan pengaruh Bangsa China. Kita sekarang menganggap Bangsa China itu beragama Konghucu. Padahal sebelum pribumi menjadi muslim, Bangsa China sudah menjadi muslim lebih dahulu.

Tradisi-tradisi yang mereka selenggarakan selama beratus-ratus tahun di Indonesia mempengaruhi orang Indonesia.

Apakah pengaruh tersebut ada sisi baiknya?

Pasti, pasti ada sisi baiknya. Tradisi pulang kampung lebaran membuat orang bersilaturahim. Orang yang bermusuhan dan berada di tempat jauh dapat menjalin silaturahim. Juga orang-orang dari desa terangkut ke daerah baru sebagai pekerja. Jadi ini dilihat dari interaksi sosial mereka. Hampir sebelas bulan uang beredar hanya di Ibu Kota. Selama Idul Fitri, atau sekitar 7 hari sebelum dan 7 hari sesudah Idul Fitri, uang beredar sampai ke desa-desa. Dari situlah devisa itu menyebar.

Jadi tradisi lebaran ini lebih banyak sisi positifnya?

Saya kira banyak sisi positifnya. Sisi positif atau negatif kan tergantung ada manfaatnya atau tidak. Tradisi itu berkembang tergantung pendukung tradisi, bila merugikan dan tidak bermanfaat, ya ditinggalkan saja. Selama ini masyarakat masih konsen dengan tradisi ini. Dari tingkat atas sampai bawah masih akrab dengan halal bihalal. Ini memang sesuatu yang baru yang tidak ada di tempat lain. 

Tradisi yang khas dan tidak ada di tempat lain juga adalah membagi-bagikan makanan. Negara Indonesia itu negara yang berlimpah makanan. Karena itu dalam kosakata di bahasa Melayu, Bali dan bahasa daerah lainnya tidak ditemukan kosakata yang sama artinya dengan ‘miskin’. Kosakata ‘miskin’ itu asalnya dari bahasa Arab. ‘Fakir’ juga dari bahasa Arab. 

Di Indonesia peristiwa apa pun diperingati dengan membagikan makanan. Sudah naluri orang Indonesia. Orang baru melahirkan anak, semua tetangga diundang untuk makan; kemudian setelah tujuh hari ada lagi makan bersama. Lalu setelah anak mengalami fase puput puser (mengeringnya kulit atau ujung pusar pada bayi) ada doa-doa. Nanti ada selapanan, makan-makan lagi.  Wilayah Indonesia itu tidak ada gurun, jadi tidak ada kemiskinan.  Ya aslinya Indonesia tidak ada orang miskin, karena negara ini berlimpah makanan. 

Lebaran Idul Fitri juga sama. Jangankan Idul Fitri, pada malam likuran di bulan puasa juga orang-orang sudah berbagi makanan. Ini wujud kesyukuran orang Indonesia. Hanya saja mental orang Indonesia yang sering memiskinkan diri. Padahal aslinya kaya, terbukti dengan saling berbagi makanan. Di kota Malang tempat saya tinggal, di beberapa titik muncul pasar takjil selama bulan Ramadhan, dan selalu habis.

Nah, kalau tradisi membuat ketupat itu bagaimana?

Itu asli sini (Indonesia). Di luar negeri tidak ada. Itu sebetulnya diambil dari satu hadits. Man shoma ramadhana tsumma atba‘ahu syi’ta minsyawwalin fakaana shama kasiyaamidahron. (Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian dilanjutkan dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka seperti telah berpuasa selama setahun penuh). 

Orang yang berpuasa seperti itu disebut kafah atau kafatan, artinya sempurna. Nah, orang Indonesai menyebutnya kupat (ketupat). Itu sebabnya orang Indonesia setelah berpuasa Syawal, ada hari raya ketupat, artinya hari raya sempurna.

Bila diamati dari satu sisi tradisi Idul Fitri itu kadang-kadang membuat orang seperti berbuat pamer. Antisipasinya bagaimana bagi orang Muslim?

Sebetulnya budaya pamer itu adalah ciri masyarakat petani. Ahli Antropologi dan  Sosial pasti tahu bahwa masyarakat petani ketika panen ingin memamerkan hasil kerja mereka. Kita tidak mendapati budaya pamer di kota-kota besar, seperti di Surabaya pamer itu tidak ada. Di desa-desa kuat dengan karakter pamer. Itu yang memang harus diluruskan. Tapi memang dari hal ini lebih banyak sisi positinya, seperti pengembangan ekonomi.

Jadi bisa dikatakan dalam perayaan Lebaran Idul Fitri banyak pertunjukan budaya, begitu?

Ya, itu ekspersi orang setelah hampir setahun penuh sibuk bekerja. Juga sebagai ungkapan kerinduan kepada tanah leluhur. Satu hal yang terjadi juga menjelang Idul Fitri atau pada Hari Raya Idul Fitri itu ada ziarah kubur. Saya saja yang sekarang tinggal di Malang harus balik ke Surabaya untuk menziarahi makam bapak, kakek, dan nenek. Semua orang saya rasa begitu, itu yang tidak bisa dicegah. Dan saya kira bagi NU ini tidak masalah, justru tradisi-tradisi lebaran seperti ziarah kubur ini memperkuat NU.

(Kendi Setiawan)