Wawancara

Alissa Wahid: Jangan Sembarang Percaya Info di Sosmed

Rab, 12 November 2014 | 11:31 WIB

Media sosial memungkinkan yang jauh menjadi dekat. Orang yang berada di Papua bisa sapa-sapaan langsung dengan orang Aceh. Bahkan dengan tempat-tempat lain di ujung dunia. Santri yang malu-malu ketemu di “darat” juga bisa sahut-sahutan dengan kiai idolanya di Twitter.
<>
Lebih dari itu, medsos bisa menjadi gerakan perubahan sosial seperti di Mesir dan negara-negara lainnya. Diskusi-diskusi yang selama ini dilakukan secara bertatap mata di dunia nyata juga mulai beralih ke dunia maya. Oleh karena itu, medsos menjadi salah satu ujung tombak gerakan pemikiran dalam mendorong terjadinya perubahan sosial di tengah masyarakat.

Tapi medsos, di tangan orang-orang tertentu, bisa menjadi ajang permusuhan, caci-maki, dan fitnah. Netizen pasti ingat akun yang memaki kota Yogyakarta atau Bandung. Prof. Merasakan pula bagaimana gencarnya berita-berita dari medsos pada pemillihan presdien lalu. Salah seorang ulama kita, Prof Quraish Shihab pernah mengalami pahitnya difitnah. Untuk mengetahui apa dan bagaimana bergaul di medsos, dan bagaimana tipsnya, Abdullah Alawi mewawancarai Alissa Wahid. Berikut petikannya.      

Pengguna media sosial seperti Twitter dan Facebook dan lain-lain, di Indonesia makin banyak. Apa manfaat dan mafsadat dari medsos?

Kesatu, medsos itu hal yang bermanfaat di tangan orang baik, tidak bermanfaat di tangan orang jahil. Ia bisa jadi media belajar dan berbagi. Kedua, misalnya kita bisa tahu ada aplikasi Majmu Lathif yang bisa dipasang di HP ya karena ada medsos. Kita juga bisa berkesempatan berkomunikasi langsung dengan Rais 'Aam Syuriah PBNU via akun Twitter @gusmusgusmu atau FB Simbah Kakung.

Ketiga, sayangnya, ini yang menjadi mafsadat, karena sifat anonim medsos, maka orang berniat buruk juga bisa memanfaatkannya untuk menyebarkan rasa benci dan takut melalu fitnah atau framing (pemaknaan) sesat terhadap sesuatu. Contohnya yang terjadi kepada Prof Quraish Shihab. Di pilpres lalu fitnah ini berhamburan. Rasanya setiap detik ada orang terkena fitnah. Misalnya saja, Mas Aiun Najib yang membuat kawalpemilu.com dituduh dibayar oleh capres tertentu.

Orang-orang, terutama anak muda, bersosmed itu umumnya karena kebutuhan, gaya, atau hanya memenuhi syarat saja sebagai orang yang memiliki akun sosmed?

Pada umumnya orang Indonesia suka bergaul. Pada santri, bukan hanya suka bergaul, tapi cara hidupnya memang komunal. Jadi medsos seperti memberi ruang berkumpul yang lebih besar. Apalagi memang kultur nahdliyin memang khas: erat ikatan silaturrahminya, bukan hanya keanggotaannya. Ada memang yang hanya untuk gaya hidup, utamanya mugkin pada remaja, tapi kalau yang nahdliyin-nahdliyin dewasa sepertinya menggunakan medsos untuk menyambungkan diri dengan nahdliyin yang lain.

Sepengetahuan Mbak, selama bergaul di medsos, bagaimana tingkah anak muda NU di medsos?

Saya melihat anak-anak NU secara pribadi tidak berbeda dengan kebanyakan anak-anak muda lain. Ada yang berbagi pikiran, ada yang galau, ada yang marah-marah melulu. Tetapi saya juga mengamati pemanfaatan medsos oleh santri-santri NU sangat mengagumkan. Di FB misalnya, kita bisa temukan akun khusus mulai dari kitab Safinatun Naja sampai pengajian yang live-streaming. Itu bagus sekali.

Karena belakangan ada kecenderungan medsos dijadikan ajang fitnah atau menyebarkan berita yang tak bisa dipertanggungjawabkan, mohon bisa memberi tips buat nahdliyin supaya tidak tergelincir ke stu.

Tips buat nahdliyin: kesatu, jangan sembarang percaya informasi apa pun yang muncul di medsos. Cari sumber yang bisa kita percaya. Kan di NU kita terbiasa untuk hormat dan memilih kepada kiai siapa kita belajar. Misalnya siapa ulama fiqh, siapa yang ahli tasawuf, dst. Nah, di medsos juga begitu: percayalah kepada sumber yang bisa dipercaya integritasnya. Kalau soal agama, ya hanya percaya kepada ulama yang kesehariannya kita yakin integritasnya.

Kedua, hati-hati termakan fitnah. Banyak orang berniat buruk, atau setidaknya berpaham hasud, yang ada di medsos. Karena itu, jangan mudah membagikan informasi, sebelum kita cek ulang. Misalnya di medsos ada info ada orang sudah melihat hilal di suatu tempat, jangan langsung dishare. Tunggu info dari pihak yang kredibel misalnya dari @nu_online (Twitter) dan facebook.com/situsresminu.

Ketiga, jangan latah, gampang ikut-ikutan. Sekarang yang dipuja-puja si A, lalu kita ikut memuja-muja. Sekarang si B sedang di-bully, kita ikut-ikut menghakimi. Santai saja. Ini medsos, biasanya sih kita tidak kenal orang itu to? Ngapain ikut benci-bencian?

Keempat, orang yang kita kenal di medsos bisa kita anggap teman bila kita sudah berkomunikasi melalui japri secara langsug, bukan hanya sapa-sapaan di jalur publik. Soalnya karakter di medsos sering berbeda dengan yang nyata. Misalnya rame banget di FB, nggak taunya setelah ketemu orangnya diam.

Kelima, yang penting selalulah pakai kacamata prinsip Aswaja NU dalam berinteraksi dan berpendapat di medsos. Tidak ekstrem, adil, seimbang, dan toleran kepada orang lain.

Soal orang yang dengan gampang fitnah atau ngeshare berita yang tidak kredible asal sepaham, apa itu mencerminkan watak asli seseorang atau kelompok?

Sebetulnya medsos cenderung melipatgandakan ciri karakter. Kalau dasarnya murah hati, di medsos akan lebih murah hati. Kalau dasarnya suka fitnah, di medsos makin kenceng memfitnah. Karena anonim dan tidak berhadapan langsung dengan yang diajak bicara. Yang memfitnah Prof Quraish kalau bertemu langsung, ya saya yakin tidak bakal berani memfitnah.

Orang yang di medsos beda dengan dunia nyata, kalau yang tidak disadari, bisa saja itu kecenderungan topeng peran yang berbeda. Tapi yang disengaja, untuk kepentingan khusus, itu sih jahat.

Setiap kelompok memang ada nilai-nilai khusus yang ditumbuhkan. Misalnya nilai-nilai tasamuh, tawazun, i’tidal, tawasuth, dalam NU. Pada kelompok lain ya ada nilai-nilai "tujuan menghalalkan segala cara" sehingga fitnah dianggap sebagai cara yang halal demi mendapatkan tujuan. Kelompok-kelompok seperti ini tahu betul bagaimana dinamika mental psikis seseorang, bagaimana mempengaruhi pikiran-pikiran dan seterusnya. Jadi fitnah-fitnah itu memang disengaja, untuk melakukan indoktrinasi.

Sebenarnya gejala apa orang atau kelompok tertentu yang gampang mefitnah atau menuduh orang atau kalangan lain?

Soal tuduh-menuduh, menunjukkan gejala banyak hal. Satu, betapa trust (sikap saling percaya) dalam masyarakat kita terkikis habis sehingga saling menuduh dan menghasud. Dua, gejala kesombongan yang merajalela. Kesombongan ini muncul dalam bentuk: tak cukup ilmu merasa berilmu, lalu sembarangan mengeluarkan fatwa agama, misalnya. Ini bahaya! Tiga, gejala klaim kebenaran. Seakan-akan kebenaran hanya milik mereka, sehingga semua yang berbeda boleh dinistakan. Semua itu jauh sekali dari semangat prinsip-prinsip Aswaja NU yang biasa menghormati pendapat yang berbeda dilandasi prinsip-prinsip tawasuth (pertengahan), tasamuh (toleran), tawazzun (seimbang), ta’adul (adil).

Apa komentar Mbak dengan kehadiran dua gus di jagat Twitter, yaitu Gus Mus dan Gus Sholah?

Keberadaan para ulama senior seperti Gus Mus dan Gus Sholah, juga Gus Ali Tulangan, di Twitter sangat bermanfaat. Sebagai figur ulama yang otoritatif karena kredibilitas keilmuannya, beliau-beliau dapat memberikan pandangan-pandangan yang menyejukkan di tengah derasnya kelompok Islam yang mempropagandakan kebencian. Bukan hanya santri NU tetapi khalayak umum dapat berkomunikasi langsung kepada beliau-beliau. Kita tentu berharap lebih banyak lagi kiai yang berkenan untuk meluangkan waktu untuk membimbing umat melalui medsos ini.