Wawancara

Karen Armstrong: Islam Tak Punya Kaitan dengan Kekerasan

Kam, 22 Januari 2015 | 05:01 WIB

Serangan teroris yang terjadi di Paris beberapa waktu lalu membuat buku terbarunya, Fields of Blood: Religion and the History of Violence, mendadak menjadi begitu penting. Dalam buku lebih dari 500 halaman tersebut Karen Armstrong, mantan biarawati yang merupakan penulis buku laris “A History of God” dan “The Case for God” menjawab pertanyaan mengenai apakah ajaran agama memang menjadi penyebab utama dari kekerasan.
<>
Field of Blood bukanlah buku yang berisi cerita indah. Darah mengalir deras dari setiap halamannya. Dalam buku tersebut, Karen Armstrong menjabarkan secara rinci bagaimana kekerasan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan kebudayaan maupun negara bangsa. Namun Field of Blood adalah buku yang diperlukan, sejenis reality check yang dengannya kita menyadari bagaimana setiap peradaban berakar dari praktik penindasan dan eksplotasi, termasuk peradaban Barat. Dan inilah saat yang tepat untuk menyuarakannya.

Meski merupakan penulis buku-buku berat, Karen Armstrongadalah sosok wanita yang anggun, dengan sejumput rambut pirang yang seringkali jatuh menutupi matanya. Ia pun mudah tertawa, meski sedang membahas hal yang menyedihkan. Berikut percakapan situs W!J Belanda dengan Karen Armstrong, tentang Islam dan teroris, tanggung jawab Dunia Barat dan dunia di mana kita hidup bersama di dalamnya.

Adakah perbedaan antara Isa dan Muhammad dalam hal kekerasan – atau dengan kata lain, bagaimana Anda menjelaskan mengapa sebagian besar aksi terorisme dilakukan atas nama Islam?

Aksi terorisme tidak ada hubungannya sama sekali dengan Muhammad, seperti halnya Perang Salib tidak ada hubungannya dengan Yesus. Tak ada satupun dalam ajaran Islam yang lebih keras dibandingkan ajaran Kristen. Semua agama pernah melakukan kekerasan, termasuk Kristen. Tidak yang sejenis anti Semit dalam dunia Islam di masa lalu; hal itu muncul di masa modern. Mereka mengenalnya dari kita (Barat). Para misionaris membawanya. Lalu disusul dengan berdirinya negara Israel. Yudaisme kemudian menjadi identik dengan kekerasan dalam dunia modern, dampak dari negara bangsa.

Lantas apa yang menjadi penyebab terorisme umat Islam? Anda menulis dalam buku Anda bahwa umat Islam telah diperkenalkan kepada modernitas dengan cara yang lebih memaksa…

Cara yang lebih keras. Saat George Bush dan Tony Blair mengirim pasukan ke Iraq, mereka berpikir bahwa modernitas akan membawa semua orang pada demokrasi begitu saja. Masalahnya tidak selalu seperti itu. Demokrasi bisa jalan di Barat, sebab demokrasi baik bagi kemajuan industri. Kebebasan, yang sering kita dengar, amat penting bagi perekonomian dan juga bagi hal lainnya. Kebebasan diperlukan untuk menciptakan inovasi, untuk menjamin produktivitas negeri. Namun di negara-negara tersebut (negara muslim), modernitas diiringi dengan penindasan kolonial. Tidak ada kemandirian berpolitik. Di Mesir, telah berlangsung 17 pemilu selama tahun 1922 hingga 1952, yang seluruhnya dimenangkan oleh Partai Wafd,namun oleh (penjajah) Inggrishanya dijinkan  untuk memerintah selama lima periode. Demokrasi seperti lelucon yang buruk.

Sekularisme saat itu diperkenalkan oleh para pejabat militer, melalui begitu banyak kekerasan:

para pemuka agama ditahan gajinya, ada yang ditembak mati atau disiksa sampai mati. Pemerintahan Shah (Iran) menembak mati ratusan demonstran tak bersenjata di dalam sebuah rumah ibadah di Iran karena mereka tidak bersedia mengenakan busana sekuler. Dan Dunia Barat secara konsisten mendukung penguasa seperti Saddam Husein yang mengabaikan hak kebebasan berekspresi bagi rakyatnya. Semua ini telah mendorong Islam menuju jalan kekerasan. Manakala orang-orang diserang, mereka selalu bersikap ekstrim. Namun hanya sebagian kecil saja dari mereka yang sesungguhnya menyetujui terorisme : 93% menjawab ‘tidak’ ketika ditanya dalam jajak pendapat Gallup apakah serangan 11 September 2001 (WTC) dapat dibenarkan atau tidak. Dan alasan-alasan yang mereka sampaikan seluruhnya bersifat agamis. 7% lainnya yang menjawab ‘ya’, yang alasan-alasannya seluruhnya bersifat politis.

Pesan saya bukanlah bahwa agama tidak memiliki kaitan dengan aksi kekerasan. Hal itu akan selalu menjadi bagian darinya. Berusaha mengeluarkan agama dari politik dan peperangan barangkali sama seperti membuang unsur gin dari cocktail. Keduanya akan selalu berkelindan. Hingga tahun 1700, tak seorang pun berpikir tentang pemisahan agama dari politik; agama merasuk dalam seluruh aspek kehidupan. Dan tetap saja mereka yang belum pernah mengalami modernisasi seperti di Dunia Barat menganggapnya sebagai sebuah perbedaan yang kebetulan saja. Sebab permasalahan seperti keadilan, kesusahan kaum papa, penderitaan–semua ini pertanyaan politis, dan sekaligus juga permasalahan agamis. Maka Yesus tak punya waktu bagi para pendoa yang mengabaikan mereka yang kekurangan atau tertindas. Tapi kita seperti memisahkan kedua hal itu. Pemisahan itu penting bagi kita dan dalam banyak hal juga baik bagi agama itu sendiri, karena terbebas dari kekerasan oleh pemerintah.

Kesimpulan setelah membaca buku ini adalah: semua peradaban berakar pada kekerasan.

Begitulah adanya pada sebagian besar sejarah peradaban. Tanpa penindasan yang dilakukan oleh golongan ningrat terhadap rakyat jelata, maka Dunia Barat mungkin tak akan pernah menguasai ilmu pengetahuan dan seni yang menjadi gantungan hidup. Perekonomian membuat petani bisa bekerja tapi pihak lain yang menikmati keuntungannya, sementara para petani tetap ditempatkan di level subsisten. Hal itu sekaligus juga untuk menurunkan tingkat populasi penduduk. Sungguh hal yang teramat buruk.

Kita melihat peradaban sebagaimana yang tumbuh di Athena. Padahal Kuil Parthenon didirikan berkat pajak dari seluruh kota lainnya di Yunani saat itu. Jadi pajak dibebaskan dari salah satu kota tapi tidak bagi yang lain. Praktik semacam itu masih ada hingga hari ini. Tidak ada negara yang tegak tanpa tentara. Itu masih terus berlangsung. Akan tetapi, selalu ada mereka yang berani mengatakan “Ini salah”. Dan hal tersebut nyaris seperti halnya sebuah Perang Suci atau Jihad dalam agama.

Ayaan Hirsi Ali menulis di sebuah surat kabar bahwa saat inilah waktu yang tepat untuk menegaskan bahwa aksi terorisme oleh Muslim adalah bagian dari Islam. Haruskah ia membaca buku Anda?

Saya rasa dia tidak mau melakukannya. Ia menikah dengan Niall Ferguson, lelaki mengerikan yang merupakan arsitek Perang Irak. Dan sungguh perang itu adalah bencana. Memberikan bantuan teramat besar bagi Al Qaeda. Serangan terhadap majalah (Charlie Hebdo) tidak serta merta diilhami oleh pemujaan fanatik terhadap Nabi. Tidak murni agamis: sekali lagi, (memahami) politik sangat penting. Al Qaeda sangat paham politik. Ini adalah sebuah serangan strategis terhadap sebuah simbol suci. Kebebasan berbicara adalah simbol keramat bagi peradaban Barat, sama sucinya dengan kedudukan Nabi bagi mereka. Dan mereka ingin kita menjadi marah. Mereka akan senang sekali. Dan mereka akan sangat senang dengan adanya edisi baru tentang Nabi di halaman muka. Sebab hal ini akan berdampak pada bertambahnya anggota baru (Al Qaeda). Saya tidak mengatakan bahwa perbuatan itu salah, namun mereka akan memanfaatkannya. Semua ini secara politis telah disusun.

Apa yang semestinya terjadi?

Saya tidak tahu! Tapi saya pikir salah satu yang harus kita perbuat adalah turut berduka atas kematian dari mereka juga. Belum lama ini 165 anak-anak Pakistan ditembaki oleh Taliban. Dua ribu penduduk desa di Nigeria dibantai oleh Boko Haram. Namun kita tidak turun ke jalan demi mereka. Sehingga kesan yang kita tunjukkan adalah kita memang tidak peduli, bahwa nyawa mereka tak berarti bagi kita. Maka saya pikir kita harus menyadari bahwa bukan hanya kita (Barat) saja yang dibunuhi oleh para ekstremis. Jauh lebih banyak lagi umat Islam yang sekarat.

Apakah kebanyakan teroris mengalami trauma?

Sebagian dari mereka mengalaminya dan sebagian lagi memang jahat saja. Osama bin Laden adalah seorang penjahat biasa. Meski begitu, ada ketakutan dan keputusasaan hebat di antara mereka. Pernah dilakukan beberapa survey oleh psikiater forensik yang mewawancarai para terdakwa terorisme sejak serangan 11 September 2001. Mereka mewawancarai ratusan tahanan di Guantanamo dan penjara-penjara lainnya. Dan salah satu psikiater forensik yang juga bekerja di CIA – jadi ia tak selunak saya! – menyimpulkan bahwa Islam tak ada kaitannya sama sekali dengan tindakan mereka. Masalahnya justru kurangnya pemahaman tentang Islam. Andaikan mereka sebelumnya mendapatkan pelajaran yang benar tentang Islam, mereka tak mungkin melakukan aksi terorisme. Hanya 20% saja dari mereka yang memang dibesarkan oleh keluarga Muslim biasa. Sisanya ada yang baru memeluk Islam – contohnya yang baru-baru ini menyerang Gedung Parlemen Kanada, ada yang tidak begitu mempedulikan ajaran agamanya, artinya mereka tidak pernah sholat di masjid – seperti para pengebom di Lomba Lari Maraton Boston, ada pula yang mempelajari Islam tanpa pembimbing. Dua pria muda yang meninggalkan Inggris untuk bergabung dengan organisasi jihad di Suriah memesan buku dari Amazon berjudul “Islam Bagi Pemula”. Itu menjelaskan segalanya, Anda lihat.

Orang-orang pergi ke sana karena merasa tidak berarti. Menarik saat mendengar warga Paris membicarakan tentang hal ini. Sebagian dari mereka berkata : Begini, kita belum pernah mengunjungi wilayah-wilayah pinggiran ini, dimana terdapat keputusasaan dan ketiadaan harapan. Kita telah diingatkan ketika terjadi berbagai kerusuhan di sana dan kita tak berbuat apapun. Ini merata. Mereka tak merasa nyaman dalam masyarakat kita. Kehidupan mereka baru memiliki arti saat mereka keluar dari sana. Di sini  mereka tak punya jalan keluar. Dan pemerintah Perancis sangat tidak bersahabat terhadap ekspresi keagamaan apapun. Hal itu membuat orang jadi risih, sehingga ada perasaan putus asa. Saya sempat berbicara dengan salah satu sejarawan terkemuka beberapa bulan yang lalu dan ia mengatakan bahwa hal terpenting yang selalu mendorong anak-anak muda untuk pergi berperang adalah rasa bosan. Bosan luar biasa. Dan keadaan semacam itu dalam masyarakat kita harus dipedulikan dengan sungguh-sungguh, sama halnya dengan cara kita bersikap terhadap kebebasan berbicara. Kesedihan dan perasaan hampa, utamanya dengan keadaan ekonomi yang menurun. Kita harus ingat betapa beruntungnya kita. Saya semakin paham, melalui berbagai perjalanan dan studi saya, betapa saya amat beruntung. Dan hal itu datang bersama dengan tanggung jawab. Jika anda telah diberkahi dengan sebuah tangan yang bagus, anda harus berbuat sesuatu yang baik dengannya.

Saat membaca buku ini saya menyadari bahwasungai darah dan air mata telah mengalir sepanjang sejarah dunia kita.

Dan penderitaan dan penindasan, serta ketidakadilan. Ketidakadilan yang hebat dan kita masih bersikap tak adil. Karena kita berbicara tentang Pencerahan seolah Al-Masih telah turun… Dan itu hebat, itu sangat penting bagi kita. Tapi coba lihat Bapak Pendiri Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa semua manusia diciptakan setara; tetapi mereka merasa tak punya masalah memiliki budak-budak Afrika. Kesetaraan hanya berlaku bagi bangsa Eropa, dan masih seperti itu sampai sekarang, disebabkan keserakahan atas minyak bumi. Kita memberikan dukungan yang luar biasa terhadap pemerintah Saudi, yang tidak mendukung hak asasi manusia bagi warganya.

Ada seorang blogger Raif Badawi yang terancam dengan hukuman cambuk setiap hari Jumat…

Kita tidak berkeberatan dengan kasus itu selama kita tetap mendapatkan minyak. Memang ada Amnesty International, ya, namun kita harus terus mengingatkan semua orang. Kita harus konsisten.

Tidakkah Anda merasa sedih saat menulis buku ini?

Ya, tapi kan ada bagian lainnya. Seseorang seperti Konfusius yang berbicara tentang Kalimat Hikmah, Yesus, Paul yang mencoba untuk…banyak orang terus berusaha. Dan kita perlu menciptakan suara alternatif yang sama kuatnya, yang berdasarkan pada kenyataan dan juga keadilan.

Dan sekarang kita perlu melakukannya tanpa agama?

Ya bisa saja… Negara Anda sekuler tapi Amerika Serikat tidak sekuler. Pada saat saya mengajar di sana dan berbicara pada orang-orang, tanggapannya cukup berbeda. Mereka tak mau melakukannya tanpa agama. Amerika disebut sebagai negara paling agamis kedua di dunia setelah India. Namun buatlah bentuk yang sekuler darinya, menghormati setiap manusia. Tiap orang adalah berharga, bermartabat dan tak boleh diubah semaunya. Tak peduli apakah mengganggu ekonomi atau tidak.

Jadi menurut Anda agama menjadi kambing hitam?

Kita menumpuk semua kekerasan yang terjadi pada abad ke-21 yang disebabkan oleh agama, membuangnya jauh-jauh, mengatakan bahwa tak ada hubungannya dengan agama. Sementara kita masih harus berhadapan dengan situasi politik. Penyerangan supermarket di Paris adalah tentang Palestina, tentang ISIS. Tak ada kaitannya dengan paham anti-Semit, bahkan banyak dari mereka sendiri adalah Semit. Namun mereka berusaha untuk menaklukkan Palestina dan kita tidak sedang membicarakan hal itu. Kita terlalu terkait dan tak tahu harus berbuat apa.

Sungguh naïf jika berpikir bahwa kita akan memiliki dunia tanpa perang. Tapi saya menulis buku ini karena saya dipenuhi oleh perasaan ngeri atas langkah kita ke depan. Kita telah menciptakan bom yang dapat meratakan bumi, dan hal itu diterima oleh hukum internasional bahwa jika negaramu diancam maka diperbolehkan untuk menembakkan senjata nuklir, meskipun itu sama saja dengan menghancurkan bangsamu sendiri. Ini sama saja dengan permintaan bunuh diri. Maka ini sama saja dengan para pengebom bunuh diri yang melakukan aksinya dengan menyadari bahwa ia juga akan mati. Ini adalah bentuk yang primitif dari itu.

Tak butuh waktu lama bagi Al-Qaeda atau salah satu dari grup semacam itu untuk memiliki senjata nuklir. Situasi ini sangat berbahaya sehingga kita dipaksa untuk membuka mata dan melihat apa yang terjadi. Dan ini bukan tentang agama, Islam atau tidak.

Tapi banyak yang percaya bahwa, tetap saja: para pengikut Wilders, Marine le Pen…    

Salah satu permasalahan dari negara bangsa adalah selalu tentang ketidakmampuan untuk memahami kaum minoritas. Itulah yang menjadi penyebab sebagian dari kejahatan terburuk di Abad ke-20. Holocaust sebagai contoh. Oleh karena penekanannya pada bahasa dan budaya yang ada di negara bangsa, bangsa menjadi nilai tertinggi. Nasionalisme tidak menolong mengingat kita hidup dalam dunia global. Saat ini kita tidak mampu untuk memikirkan kepentingan negara kita saja – dunia sudah tidak lagi seperti itu. Kita telah menciptakan sebuah perekonomian global dan kita sangat terhubung sehingga jika sebuah pasar saham jatuh di suatu bagian dunia, maka harga saham di seluruh dunia ikut jatuh pada hari yang sama.

Belum lagi berbicara tentang iklim…

Ya, kita saling berbagi kesulitan itu. Dan sekarang kita lihat bahwa apa yang terjadi di Paris hari ini akan berdampak bagi Timur Tengah, dan begitu terus. Kita terhubung secara politik. Sejarah kita berkelindan. Kita sebagai orang Inggris utamanya, membawa sebuah tanggung jawab yang besar atas apa yang telah terjadi di Timur Tengah. Juga India dan Pakistan. Coba lintasi perbatasan dari kedua negara bekas pendudukan itu, betapa mereka begitu sinis dan oportunis. Dan betapa besar kekerasan yang telah ditimbulkan oleh sikap itu.

Anda menyatakan di buku Anda, tanpa disangka-sangka, bahwa Syariah telah menjadi pendorong bagi perdamaian…?

Kita menjelekkan Syariah. Tetapi mengapa mereka di dunia muslim begitu ngotot dengansyariahadalah karena secara tradisional hal itu menjadi penyeimbang bagi tirani negara. Syariah adalah hukum dari Tuhan namun dinyatakan di sana bahwa tak seorangpun berhak untuk memaksakan kehendak pada orang lain. Sebab setiap orang berdaulat dan bertanggung jawab sendiri kepada Tuhan. Tak ada pemerintahan yang dapat berkuasa berdasarkan hal itu, namun mereka harus meyakini bahwa itulah firman Tuhan. Mereka mengembangkan hukum Syariah dengan versi mereka sendiri. Namun semangatnya bukan sekedar untuk memotong tangan.

Dan membungkam kaum perempuan?

Tentang perempuan adalah masalah di seluruh dunia. Salah satu tanda modernitas adalah emansipasi wanita. Dan begitu masyarakat marah terhadap modernitas dan modernisasi, mereka kembali ke sana dan… Anda menghadapinya dalam ajaran Kristen juga. Ada umat Kristen di bagian selatan Amerika Serikat yang menyatakan bahwa wanita seharusnya tinggal di rumah. Gereja Katolik menyatakan bahwa wanita tak boleh menjadi pendeta. Dan demikian pula dalam Yudaisme. Dan satu hal di dunia Islam adalah bahwa penguasa seringkali merasa serba salah, mereka tak memiliki cukup dukungan. Jika mereka membuat peraturan yang membatasi perempuan, mereka menyenangkan kaum lelaki. Namun feminis muslim akan memperbaiki Islam—dari dalam.


Penerjemah: Mauludiah