Wawancara

Perkembangan Pemikiran NU Kontemporer (1)

Rab, 22 Oktober 2003 | 15:16 WIB

Selama ini NU terutama kalangan mudanya telah mengembangkan pemikiran sangat progresif. Tetapi belakangan perkembangannya kurang semarak dibanding decade 1990-an yang lalu. Berikut ini wawancara A. Kosasih dari NU Online dengan salah seorang intelektual muda NU yang juga dosen IAIN Surabaya Drs. KH Ghazali Said MA.

Pemikiran NU berkembang pesat bersamaan dengan gagasan organisasi ini kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984, bagaimana perkembangan pemikirannya sekarang ?

<>

Saya kira perkembangan pemikiran merupakan perjalanan yang alami, bisa saja kita hitung sejak tahun 1984 ketika Muktamar di Situbondo. Tetapi sebelumnya sudah ada  produk  kurikulum pesantren, dari basis pesantren yang murni oleh pemikiran-pemikiran ulama salaf lalu diadopsi dengan pemikiran baru atau  pemikiran yang modern, hanya waktu itu belum kelihatan kekurangannya. Sekarang ini NU dalam pola pemikiran berpegang teguh pada pemikiran ulama-ulama. bersamaan itu juga muncul didalam NU juga tumbuh sekularisai yang kuat dan fundamentalis dalam internal NU juga. Hanya ini tidak dapat tempat sekarang,

Kenapa mereka  tidak mendapat tempat di lingkungan pesantren dan NU pada umumnya ?

Mereka tidak berkembang karena mainstream yang lebih kuat adalah pemikiran yang plural dan agak sekuler ini yang mendapat tempat. Gagasan ini dulu dirintis oleh Gus Dur, ketika itu Gus Dur di kenal orang yang tidak mau formalisasi hukum, maka konsekuensinya orang yang sama dengan visinya dengan gusdur itu yang dapat tempat, sedangkan yang fundamentalisme tidak mendapat tempat. Jadi sekarang orang seperti Masdar, Said Agil yang mendapat tempat, tetapi harus di ingat di beberapa daerah muncul pemikiran yang  berlawanan dengan pendapat itu. Para pemikir progresif kurang mendapat tempat di daerah 

Dipermukaan perkembangan pemikiran NU sekarang kurang semarak dibanding periode 80 hingga 90-an kenapa itu terjadi ?

Sekarang ini kita lihat semaraknya itu gimana pada tahun 1980/1990 itu posisi NU pada saat itu ditekan oleh kekuasaan Orde Baru. Orang ketika apresiasinya ditekan adalah cenderung ke pemikiran, nah ketika kran kebebasan dibuka dan NU punya partai, partainya juga tidak hanya satu akhirnya orang berlomba-lomba --yang sebenarnya merupakan godaan. Maka disitulah potensi anak muda NU banyak yang tersedot ke partai politik yang akhirnya bukan idealisme kepemikiran yang ditekuni, tetapi ke pragmatisme kehidupan yang mereka raih atau ingin mereka capai. Pada akhirnya dari sisi kualitas sangat bagus dalam sisi pemikiran, tetapi dari sisi kuantitas jumlahnya mengecil sebab yang di daerah-daerah itu sudah sibuk dengan partai-partai politik. Menurut saya di satu sisi hal itu menguntungkan. Karenanya banyak anak muda NU yang tercover menjadi bagian kehidupan, sehingga mudah mendapatkan kesempatan bekerja, katakanlah kalau di partai politik itu bekerja dalam kehidupan fragmatis tapi di sisi lain merugikan sebab dinamika pemikiran itu bisa macet atau mandek.

Kemudian apakah penerapan mazhab manhaj yang dicanangkan beberapa tahun lalu itu bias diterapkan oleh kelangan NU dan pesantren ?

Untuk tingkat elitis yang mainstream itu dilaksanakan tapi di pesantren NU menurut saya belum menjadi mainstream mereka masih memakai pola-pola pikir teologis dan bukan dalam pengertian manhaj (dinamis). Kalau manhaj kan sebenarnya dinamis dan harus membuat pola baru sesuai dengan keadaan itu. Menurut saya masih belum.  Kita hanya elitis, yang punya pola pikir seperti itu adalah kelompok Ulil cs itu hasil dari elitis sedang kan di tingkat bawah belum ada atau belum menyentuh,

Kalau mau dikatakan siapa sebenarnya elemen pendukung dan penghambat pemikiran NU ?

Kalau pendorongnya itu karena kita anak muda NU, tidak bisa tidak, karena berkehidupan dengan dunia nyata, berkehidupan dengan konstalasi pemikiran. Anak muda NU tidak hanya berada di suatu komunitas yang tunggal tapi sudah berada dalam komunitas beraneka ragam (plural) contoh di luar negeri, banyak  kawan saya berstatus muslim tapi istrinya katholik dan tetap dalam ke katholikannya si suaminya itu adalah anak NU. Ada juga anak perempuan yang muslimah nikah dengan orang barat suaminya ikut masuk islam, jadi banyak sekali benturan-benturan.  Ada juga yg suaminya asalnya  muslim kemudian cerai, dia katolik balik lagi ke katolik. Makanya wacana dalam perkawinan antar g