Wawancara

UIN Bandung Harus Kembali pada Kultur Pesantren

Sel, 2 Juli 2019 | 07:00 WIB

UIN Bandung Harus Kembali pada Kultur Pesantren

Guru Besar Ilmu Hadits UIN Sunan Gunung Djati Moh Najib

Survei SETARA mengenai model keberagamaan mahasiswa Indonesia, berdasarkan rilis 30/6/2019, menempatkan mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung sebagai yang paling fundamental dalam beragama. Satu kondisi yang dapat menjadi benih bagi kekerasan ekstremisme atas nama agama. Survei SETARA ini melengkapi survei tahun-tahun sebelumnya yang menempatkan Jawa Barat sebagai provinsi paling tidak toleran di Indonesia. 

Apa yang sebenarnya terjadi di UIN Bandung? Berikut wawancara Iip D. Yahya dari NU Online dengan Prof. Dr. Moh Najib, MA., guru besar Ilmu Hadits UIN Sunan Gunung Djati. 

Alumnus Pesantren Tambak Beras Jombang ini menganggap bahwa hasil survei tersebut sebagai “lampu kuning” bagi cara keberagamaan masyarakat Jawa Barat sekaligus cara pengelolaan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Karena itu, UIN Sunan Gunung Djati Bandung harus kembali menjadikan kultur pesantren sebagai budaya pembelajarannya. Kultur pesantren diyakini sebagai benih toleransi beragama yang bisa menghapus stigma Jawa Barat sebagai propinsi intoleran dan fundamentalisme beragama.

Apa tanggapan Anda mengenai Riset SETARA mengenai pola keberagamaan mahasiswa yang menempatkan mahasiswa UIN Bandung pada posisi tertinggi dalam fundamentalisme?

Tentu saja mengejutkan. Semula saya kira fundamentalisme itu hanya menjangkiti mahasiswa umum, tapi survei SETARA kali ini menemukan fenomena lain. Aneh juga ya? Tapi izinkan saya mencermati hasil survei SETARA itu secara agak kritis.

Fundamentalisme yang menjadi ukuran SETARA meliputi 5 aspek. Mengenai jalan keselamatan dunia dan setelah mati hanya terdapat dalam ajaran agama yang dianut, keyakinan bahwa  ajaran agama yang dianut bisa menjawab tuntas segala kebutuhan rohani setiap manusia,  keyakinan bahwa agama Islam  sudah sempurna sehingga tak memerlukan pedoman tambahan di luar agama, keyakinan bahwa  ajaran agama Islam  yang dapat mewujudkan keadilan bagi masyarakat Indonesia, dan keyakinan bahwa Indonesia akan menjadi aman jika semua penduduknya seagama dengan mahasiswa yang jadi responden.

Empat dari pertanyaan ini dijawab oleh mahasiswa UIN Bandung dengan nilai persetujuan tinggi, karena itu dianggap sebagai fundamentalis. Mungkin mahasiswa terjebak pada model pertanyaan begini, lalu memberikan jawaban poin tinggi, mungkin juga menggambarkan tingkat keyakinan yang tinggi pada ajaran Islam. 

Pertanyaan terakhir pada survei itu, saya kira tidak akan mendapatkan jawaban yang tinggi dari mahasiswa UIN Bandung. Karena UIN dirancang untuk mengajarkan cara beragama yang inklusif, atau sebut saja cara berislam yang menghargai keberbedaan. Semenjak namanya IAIN, kurikulumnya dikonstruksi sedemikian rupa untuk bersikap plural. Semua jurusan misalnya wajib belajar mata kuliah filsafat dan teologi.Kedua mata kuliah ini akan mendorong  mahasiswa bersikap kritis dan menghargai keberbedaan. 

Ini yang saya rasakan ya. Karena saya ini produk resmi IAIN, S1, S2, dan S3 saya dari IAIN. Saya benar-benar merasakan, semakin dalam mempelajari ilmu agama Islam, semakin mendorong saya untuk toleran pada perbedaan. 

Tetapi sangat mungkin ada pergeseran akhir-akhir ini saat telah berubah menjadi UIN. Terutama karena saat ini lebih banyak mahasiswa umum yang bisa jadi juga kurikulum agamanya tidak seperti IAIN  dulu. 

Apakah itu artinya UIN Bandung tidak perlu khawatir mengenai hasil survei ini?

Tentu saja harus khawatir. Saya menyebutnya kita telah mendapatkan lampu kuning, semi-bahaya. UIN Bandung harus memeriksa ulang seluruh proses pembelajaran dan pembinaan mahasiswa. UIN Bandung harus kembali pada khittahnya, mengurusi mahasiswa. Bisa jadi akhir-akhir ini dosen dan lembaga sibuk mengurusi publikasi jurnal yang harus terindeks scopus sehingga lupa fungsi dasarnya. Sekali lagi, kita berada di ambang bahaya. 

Apakah diperlukan peninjauan ulang kurikulum?

Bisa jadi begitu. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang menjadi panduan penyusunan kurikulum, sebenarnya memberikan peluang untuk memasukkan orientasi keberagamaan yang toleran. Setiap prodi harus menyusun capaian pembelajarannya dengan mempertimbangkan 4 hal: sikap dan tata nilai, kemampuan kerja, penguasaan pengetahuan, lalu wewenang dan tanggung jawab. Toleransi dan cara beragama yang moderat bisa masuk dalam pertimbangan “sikap dan tata nilai” yang harus memuat jati diri bangsa dan negara Indonesia, yang kemudian menjadi wewenang dan tanggungjawab dosen dan mahasiswa saat berada di tengah masyarakat

Di samping itu, mata kuliah agama harus diajarkan secara menyeluruh dan tidak hanya pada aspek normatif saja, harus juga menyentuh aspek historis. Fenomena akhir-akhir ini saat ada orang yang menyalahkan Imam Syafii dengan menggunakan hadits-hadits Bukhari-Muslim, menunjukkan mereka tidak belajar aspek historis dari ajaran Islam. Aspek historis itu penting agar apa yang diterima sebagai ajaran Islam tidak dianggap semuanya sebagai wahyu ilahiah. Hadits-hadits misalnya, sangat historis karena itu tak semua hadits dianggap benar.

Apa yang keliru dalam proses pembelajaran di UIN Bandung selama ini?


UIN Bandung itu dulunya IAIN. IAIN itu dibangun oleh para ulama, Ketua Panitianya KH Muiz Ali yang saat itu, tahun 1968,  menjadi ketua Partai NU Wilayah Jawa Barat. Para ulama ingin UIN itu menjadi ma’had ‘ali yang “mensarjanakan ulama” dan “mengulamakan sarjana”. Santri-santri dari pesantren diharapkan bisa jadi ulama-sarjana yang menguasai agama Islam dengan baik sekaligus ilmu modern dengan baik juga. Lalu, siswa-siswa dari sekolah umum yang lebih siap jadi sarjana melalui UIN harus juga menjadi ulama, ya paling tidak, mewarisi karakter ulama. Spirit ini yang dilupakan. Spirit ulama pesantren yang mendukung NKRI dilupakan, spirit ulama yang beragama secara santun juga mulai ditinggalkan. Oleh karena itu, UIN harus melakukan reformasi cara pembelajaran yang mengenalkan mahasiswa pada kultur pesantren.


Maksud dari pengenalan kultur pesantren bagaimana?

Mahasiswa UIN itu belajar fiqh, kalam, hadits, namun tidak mengenali kitab kuning seperti Safinah dan Qomi’ Thugyan, mereka hanya belajar dari buku. Cara pembelajaran pesantren itu tuntas, misalnya santri yang khatam Safinah dianggap lulus materi fiqh, tidak ada nilai A, B, atau C. Ukurannya khatam dan paham atau tidak? Ini yang membuat lulusan pesantren jadi memiliki pemahaman yang utuh. Sementara cara pembelajaran modern hanya mengandalkan penguasaan materi ajar dengan toleransi pemahaman bagus nilai A, kurang bagus nilai B, agak bagus nilai C. Lha, belajar agama kok mentolerir yang kurang bagus? Hasilnya ya seperti sekarang ini. 


Hal lain dari kitab kuning adalah belajar menghargai perbedaan. Kalau kita baca kitab kuning, cara pengambilan kesimpulan mengenai satu masalah dimulai dengan peninjauan atas pendapat-pendapat yang ada dulu, baik yang pro atau kontra. Semua pendapat dihargai sebagai bahan pertimbangan sebelum memutuskan pilihan penulis kitab kuning. Jadi para pembaca kitab kuning diajari menghargai perbedaan pendapat sekaligus diajari memposisikan pendapatnya sebagai salah satu pendapat saja, bukan satu-satunya pendapat yang benar. Ini yang tak ditemukan dalam kultur modern. 

Kalau UIN kembali pada kultur pesantren, apa sumbangannya pada NKRI?

Akan muncul mahasiswa yang memiliki kearifan seperti para kyai pesantren yang tahu bersyukur dan menghargai perbedaan. Logika beragamanya juga lurus dan ikhlas, tidak emosional. 

Contoh logika emosional dalam beragama seperti apa?

Misalnya tulisan yang disebarkan HTI. “Indonesia ini milik Allah” lalu “Kalau tidak mau berhukum dengan hukum Allah, keluar dari bumi Allah”. Dari situ dibangun kesimpulan, Indonesia harus menjadi negara Islam dan menolak Pancasila. Itu kan logikanya tidak lurus. Saya akan kasih contoh sederhana, istri saya adalah milik Allah sama seperti wanita atau manusia manapun. Namun saya telah akad nikah dengannya, ia tak bisa jadi dimiliki oleh lelaki lain dengan alasan apapun. Bangsa ini sudah berakad dengan para ulama pendiri bangsa menjadi NKRI, jadi tak mungkin dikawin oleh bentuk negara lain. Apapun alasannya, HTI tak bisa diterima, harus dilawan.

Bagaimana masa depan UIN dan cara beragama umat Islam Jawa Barat?

Jika peran UIN ditingkatkan seperti peran Al-Azhar di dunia Islam, cara keberagamaan kita akan semakin baik. Saya bermimpi UIN bisa seperti Al-Azhar, apapun masalah keislaman yang dihadapi umat, UIN Bandung menjadi rujukannya. Jika itu terjadi, dengan syarat UIN kembali menggunakan kultur pesantren, Insya Allah ummat Islam Jawa Barat akan toleran. Akan silih asih, silih asuh, silih asah, dan silih wawangi.