Kantor PBNU dari Masa ke Masa: Pernah di Surabaya, Pasuruan, dan Madiun
Kamis, 31 Juli 2025 | 13:52 WIB
Juli 1947, tentara Belanda yang hendak menduduki kembali Negara Indonesia yang telah merdeka, melakukan sebuah aksi serangan yang dikenal sebagai first police action atau Agresi Militer Belanda I. Serangan ini tepatnya terjadi antara 21 Juli dan 4 Agustus 1947. (Adrian Vickers, A History of Modern Indonesia, Cambridge University Press, 2013, p. 103)
Agresi Militer I ini ternyata juga berdampak pada perpindahan Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang saat itu berada di Pasuruan, dipindahkan ke tempat yang dirasa lebih aman yakni Madiun, yang nantinya dalam perjanjian Renville (17 Januari 1948) wilayah Madiun ini masuk dalam wilayah Republik Indonesia (George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, Cornell University Press, 1952, p. 233)
Sebelum peristiwa Agresi Militer I, PBNU sempat berkantor di Pasuruan selama hampir dua tahun. Dalam buku Sejarah KH A Wahid Hasyim (Abu Bakar Atjeh, 1958, hal 607) disebutkan:
"Semenjak revolusi 10 November 1945 di Surabaya, Kantor PBNU dipindahkan ke Pasuruan dan setelah Pasuruan diduduki oleh Belanda pada waktu clash pertama, kantor PB dipindahkan ke Madiun, dan kantor Muslimat pun ikutlah berhijrah."
Kemudian dalam Berita Nahdlatoel Oelama (BNO) edisi No 3 Tahun I (Ramadhan 1365/Agustus 1946) tertulis alamat lengkap berikut nomor telfon Kantor PBNU sewaktu di Pasuruan yakni Djalan Pengadangan 3 Pasoeroean, No Tilfoen 123.
Rupanya, bangunan yang dijadikan sebagai Kantor PBNU sewaktu di Pasuruan, yakni milik Ketua Umum PBNU pada masa itu, KH M Dachlan. Rumahnya dijadikan kantor PBNU, beserta kantor PB Muslimat NU, yang kebetulan juga dipimpin oleh istrinya, Nyai Chadijah Dachlan.
Kantor PBNU di Pasuruan
Kantor PBNU di Pasuruan kini terletak di Jalan Diponegoro No 5 Kota Pasuruan. Tampak tak terawat. Sangat kontras dengan keindahan bangunan-bangunan di alun-alun Kota Pasuruan yang berjarak kurang dari 1 Km tersebut.
Beberapa bagian bangunan sudah rubuh serta warna pada tembok yang didominasi warna putih dan hijau tampak kusam. Kemudian, di depan rumah ditumbuhi tanaman liar yang bahkan menutupi hampir seluruh halaman rumah, pagar rumah yang digembok, dan papan iklan yang menginformasikan bahwa rumah tersebut disewakan.
Kondisi tersebut tentu sangat disayangkan, mengingat bila kita lihat dari sisi historis dan usia, bangunan ini sebetulnya sudah layak masuk sebagai cagar budaya. Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2010, bangunan yang sudah terdaftar sebagai cagar budaya mesti dilindungi dan dilestarikan keberadaannya karena memiliki arti penting bagi suatu daerah atau bangsa. Khususnya bagi NU, bangunan ini tentu memiliki nilai historis yang sangat tinggi.
Kantor NU dari Masa ke Masa
Selain Pasuruan, Surabaya terlebih dahulu menjadi Kantor PBNU. Kota Surabaya sekaligus juga menjadi kota kelahiran NU yang dibentuk pada 31 Januari 1926. Berikut sekilas riwayat kantor pusat NU dari awal didirikan hingga sekarang:
1. Surabaya (1926-1945, 1948-1950)
Alamat lengkapnya berada di Jalan Sasak Nomor 23 (ada pula yang menyebut Nomor 66, sesuai alamat majalah Berita Nahdlatoel Oelama) Surabaya. Di lokasi bangunan yang berdekatan dengan Masjid Ampel inilah, kantor pusat pertama PBNU berdiri, yang kala itu masih disebut HBNO (Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama).
Lokasi ini tentu berbeda dengan alamat Jalan Bubutan VI Nomor 2 Surabaya, yang di beberapa sumber menyebutkan sebagai kantor HBNO pertama. Meski mengandung nilai sejarah yang tinggi baik bagi NU maupun Indonesia termasuk ketika dicetuskan Resolusi Jihad 1945, Kantor Jalan Bubutan bukanlah kantor HBNO, melainkan Kantor Pemuda Ansor.
2. Pasuruan (1945-1947)
Kedatangan Pasukan Sekutu yang diboncengi Belanda ke Surabaya, yang kemudian disusul dengan meletusnya Perang Surabaya 10 November 1945, memaksa para pimpinan NU untuk memindahkan kantornya ke daerah lain, yang sekiranya lebih aman.
Saat itu, Ketua PBNU KH Muhammad Dachlan, diperintahkan untuk memindahkan kantor pusat NU dari Surabaya ke rumahnya di Jalan Pengadangan 3 Kabupaten Pasuruan. Dipilihnya Pasuruan selain lokasinya yang dekat dengan Surabaya, juga didukung banyaknya pesantren dan tokoh NU yang ada di sana.
Sementara itu, di berbagai daerah, para anggota NU diakitifeer, bergabung bersama Hizbullah dan Sabilillah ikut mengangkat senjata melawan musuh. Kaum perempuan dari Muslimat pun seakan tak mau kalah, mereka berjuang di garis belakang, dan bahkan ada yang ikut memanggul senjata.
3. Madiun (1947-1948)
Untuk kedua kalinya, Kantor NU terpaksa harus ikut hijrah dari Pasuruan ke Madiun. Seperti yang dipaparkan KH Saifuddin Zuhri dalam buku Berangkat dari Pesantren: “Karena gangguan militer Belanda, akhirnya (NU) hijrah buat kali kedua dari Pasuruan ke Madiun, bertempat di Jalan Dr Sutomo 9 Madiun.”
Gangguan militer yang dimaksud, yakni Agresi Militer Belanda pertama yang terjadi pada tahun 1947. Zaman itu lazim disebut sebagai zaman darurat atau zaman Renville. Kepindahan Kantor NU pusat ini, juga diikuti beberapa banom seperti PB Muslimat NU. Namun, hanya setahun setelah pindah ke Madiun, menyusul terjadinya pemberontakan PKI/FDR di Madiun ditambah dengan Agresi Militer Belanda kedua, PBNU memindahkan kantornya kembali ke Surabaya
4. Jakarta (1950-sekarang)
Setelah melewati berbagai masa sulit, bangsa Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaannya. Ibu kota negara yang sempat dipindah ke Yogyakarta, kini kembali lagi ke Jakarta. Tahun 1950, kantor pusat NU berpindah ke Jakarta. Selain faktor ibu kota, menurut KH Saifuddin Zuhri, hal ini juga dikarenakan banyaknya tokoh-tokoh PBNU yang berjuang (menjadi menteri dan lain sebagainya) di Jakarta.
Di Jakarta, Kantor PBNU terletak di Jalan Menteng Raya 24, kira-kira 300 m sebelah Timur Stasiun Gambir. Setelah beberapa tahun, kantor pusat NU kemudian dipindahkan ke Jalan Kramat Raya Nomor 164, yang masih bertahan hingga sekarang.
Ajie Najmuddin, pemerhati sejarah NU