Nasional

Beredar Dokumen Kontroversial Kepengurusan Pertama PBNU, Begini Fakta Sejarahnya

Rab, 15 Maret 2023 | 20:30 WIB

Beredar Dokumen Kontroversial Kepengurusan Pertama PBNU, Begini Fakta Sejarahnya

Dokumen kepengurusan pertama PBNU yang memunculkan kontroversi. (Foto: Dok. Perpustakaan PBNU)

Jakarta, NU Online

Baru-baru ini tersebar sebuah dokumen kontroversial yang tampak kertasnya sudah kuning kecoklatan berjudul Susunan PBNU 1926. Dokumen itu seperti sebuah kliping yang tertempel di atas kertas putih. Dokumen tersebut menampilkan dua bagian, (1) bagian atas mencatat kepengurusan PBNU dengan aksara Arab dibubuhi stempel Hofdbestur Nahdlatoel Oelama di bagian tengahnya; dan (2) bagian bawah yang menampilkan susunan kepengurusan PBNU dengan aksara latin.

 


Dokumen kepengurusan PBNU 1926 itu jika dilihat sekilas tampak seperti asli karena warna kertasnya yang demikian. Namun, jika diperhatikan secara saksama, tampak ada beberapa kejanggalan yang mengarah pada hasil rekayasa digital.

 


Pegiat Komunitas Pegon Ayung Notonegoro menjelaskan bahwa bagian atas yang menunjukkan kepengurusan PBNU dengan aksara Arab itu sepertinya pernah dibagikan oleh Ahmad Ginanjar Sya’ban, peneliti manuskrip Nusantara.

 


“Bagian atas berupa struktur beraksara pegon itu diambil dari foto yang dimuat di Qonun Asasi yang telah lama disebarkan oleh Dr. Ginandjar Syaban,” ujar Ayung kepada NU Online pada Selasa (14/3/2023).

 

Susunan kepengurusan PBNU pertama. Susunan itu diambil dari foto yang dimuat di Qonun Asasi. (Foto: Ginandjar Syaban)

 

Selain itu, teks latin yang dimuat di gambar tersebut, ada kesilapan jika dibandingkan dengan teks pegon di atasnya. Di antaranya adalah nama Wakil Rais. Di teks pegon terbaca Syekh Amin bin Abdul Syakur Surabaya, sedangkan di teks latin tertulis KH. A. Dahlan Achyat Kebondalem Surabaya.


Begitu juga dengan penyebutan jabatan. Di teks pegon jelas terbaca Haji Hasan Gipo menjabat sebagai “presiden”, sedangkan di teks latin disebut ketua. Begitu juga posisi Vice President (Wakil) dan Kasier (Bendahara).


“Kejanggalan-kejanggalan tersebut, mengindikasikan jika foto tersebut tidak bisa dijadikan rujukan,” tegas Ayung.


Menurut Ayung, viralnya foto tersebut mengandung hikmah tersendiri. Dari sini dapat dipahami, jika warga NU sangat antusias terhadap hal ikhwal kesejarahan organisasinya. Akan tetapi, literasi historiografinya masih terbatas. “Hal ini perlu dipikirkan bersama. Bagaimana memperkuat historiografi ke-NU-an itu sendiri?” katanya.


Mengonfirmasi Ayung, Ginanjar juga menyampaikan bahwa bagian atas merupakan potret yang dimilikinya dan pernah disebarkan melalui akun Facebooknya pada 31 Januari 2019.


NU Online diajak secara langsung untuk melihat dokumen aslinya di Perpustakaan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di gedung PBNU Jalan Kramat Raya 164 lantai 2 pada Rabu (15/3/2023). Ginanjar menjelaskan bahwa dokumen tersebut berasal dari sebuah buku Qanun Asasi halaman 15 dan 16 yang terdapat dalam satu lembar.


Dua halaman yang seperti mata uang itu kemudian difoto dan disejajarkan dalam satu bingkai foto. Kemudian foto tersebut dibubuhi sebuah stempel yang difoto dari Berita Nahdlatoel Oelama Nomor 19 Tahun 6, 23 Jumadal Ula 1356 H/1 Agustus 1937 M.


Ia mengaku bahwa foto hasil editannya tersebut dibubuhi watermark namanya dengan aksara Arab pegon. Namun, bagian watermark tersebut tampaknya dihilangkan dalam dokumen yang tersebar baru-baru ini.


Ginanjar juga mengingatkan agar dalam membagikan informasi harus mencantumkan sumber rujukannya. “Sebenarnya memberikan informasi harus akurat, benar dan didukung dengan data yang tepat. Mencantumkan sumber gambar itu,” kata Pengajar di Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta itu.


Senada, Pengurus Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur Ahmad Karomi menyampaikan bahwa sebetulnya dua data yang tersaji pada dokumen tersebut memiliki dasar. Bagian atas yang beraksarakan Arab pegon bersumber dari Qanun Asasi, sedangkan bagian bawah bersumber dari syair karya KH Abdul Halim Leuwimunding Majalengka. Bagian bawah ini tidak ditampilkan secara lengkap.


“Bagian atas dan bawah tidak sinkron. Yang atas bersumber pada Qanun Asasi. Bagian bawah data dari KH Abdul Chalim,” ujarnya.


Pewarta: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad