Cerpen

Terkaparnya Pengasah Golok

Ahad, 19 Januari 2020 | 10:30 WIB

Terkaparnya Pengasah Golok

Ilustrasi golok (Shopee)

Oleh Abdullah Alawi
 
Pagi, seseorang ternganga di tepi kolam. Geleng-geleng kepala. Lalu menutup mata dengan telapak tangannya, menjerit, kemudian lari sambil beteriak mengelilingi kampung itu. 

Kabar tersiar dengan cepat. Orang-orang kampung berdatangan ke tepi kolam itu. Yang mau ke sawah, tak jadi. Yang ke pasar, urung. Yang bepergian jauh, batal. Anak-anak tidak pergi ke sekolah meski dimarahi ibunya. Seisi kampung kini berdesakan di sekitar kolam. 

Pandangan mereka pada satu arah, sebujur tubuh kaku menelungkup di atas batu asahan. Tubuh itu mandi darah. Pakaian hitamnya yang masih melekat di tubuhnya, sobek-sobek seperti bekas sabetan golok. 

Orang-orang yang dekat dengan tubuh itu melihat sebilah golok berdarah. Mereka mengenal golok itu. 

Untuk beberapa saat, mereka tak melakukan apa-apa atas tubuh itu. Hanya memandangi dan memperhatikan. Pikiran mereka dipenuhi macam-macam perkiraan dan kemungkinan.
***
Setiap pagi, ketika masih remang-remang tanah, Jalu sudah jongkok di depan batu asahan. Mengasah golok. Terus-menerus setajam-tajamnya. Sesekali dia berhenti mengasah, memperhatikan mata golok dengan saksama senti per senti, disapu rata sorot matanya yang setajam elang. Sesekali mengguyurkan air ke batu asahan dari ember di sampingnya. Kemudian mengasah lagi. Terus-menerus. Padahal orang-orang di kampung itu belum melakukan apapun. Hawa dingin pegunungan membuat bermalas-malasan dengan selimut di tempat tidur. 

Hari mulai terang mengusir bersih sisa-sisa gelap malam. Suhu berangsur-angsur hangat. Matahari telah muncul di timur, memastikan benar-benar akan terjadi siang. 

Di pematang kolam, seseorang mengasah golok, terus-menerus. Ia tidak lain Jalu yang sejak pagi buta mengasah, tak bosan-bosannya. Sekarang sosoknya kelihatan. Dia berpakaian serba hitam, kepalanya diikat kain hitam. Di pinggangnya terbelit tali pengikat sarung golok yang juga berwarna hitam. Serba hitam sesuai dengan warna kulitnya yang kehitaman. Di sekitar pipi dan dagunya, juga di bawah hidungnya, tumbuh bulu-bulu liar tak terurus yang juga hitam.

Dia masih terus mengasah, seperti mendapat kesenangan dengan kebiasaannya itu. Seperti ada dunia khusus yang hanya dia dan goloknya yang tahu dan merasakan. 

Sesekali dia berhenti mengasah, menimang-nimang golok tersebut yang berkilauan menantang cahaya matahari. Pandangan matanya yang tajam menyapu rata setiap senti mata golok tersebut. Kemudian kembali mengasah seolah golok itu memintanya untuk terus dipertajam. 

Sesekali dia mengguyur batu asahan dari ember di sampingnya. Kadang-kadang dia mengambil air dari kolam ketika embernya kosong. Setelah puas mengasah, kemudian dia menyarungkan golok itu dengan perlahan. Dia lalu pergi ke arah kemauannya. Keesokan paginya ia akan berada di batu asahan itu lagi.

"Buat apa mengasah golok terus-terusan?" tanya seorang pemuda, suatu waktu.

Jalu berhenti mengasah sebentar. Dia berpaling pada sumber suara dengan tatapan sekilas. Telinganya seolah baru mendengar pertanyaan demikian. Tapi dia tak menanggapi. Malah mulai mengasah kembali.

"Buat apa mengasah golok terus-terusan?" kembali pemuda di sampingnya bertanya dengan nada yang lebih keras. 

"Kamu tidak tahu buat apa orang mengasah?" Jalu balik bertanya. 

"Buat apa mengasah golok terus-terusan?" sekarang suara itu bernada mengejek. Tiga pertanyaan dengan kalimat yang sama, dengan intonasi berbeda.

"Ya supaya tajam."

"Terus-terusan? Setiap pagi? Dengan lama pula?" 

Jalu diam. Tanda tanya beruntun itu di telinganya terdengar seperti gugatan dia dengan goloknya sekaligus. Tapi dia belum berkata-kata lagi.

"Dasar orang tak ada kerjaan!" kata pemuda itu lagi. 

Jalu tetap mengasah golok.

"Yang diasah seharusnya bukan golok itu, tapi otakmu. Oh ya, jangan-jangan kamu tak punya otak. Ha...ha...ha..."

Jalu mengasah golok dengan cepat, bolak-balik tak beraturan menimbulkan suara berdesing-desing.

"Atau yang mesti diasah wajahmu itu yang penuh bintil-bintil supaya lembut dan rata. Supaya perempuan tidak takut ...ha...ha..ha..."

Jalu semakin cepat mengasah. Telinganya merah.

"Sekali-kali ingin merasakan ketajaman golok yang sering diasah itu."

Jalu langsung berhenti mengasah. Dia bangkit dengan gesit sambil membabatkan goloknya.

“Cras...” mata golok tajam berkilauan itu menghantam makhluk di hadapannya. Sosok itu terkulai lemas kemudian jatuh ke bumi selama-lamanya hanya dalam satu kali tebasan saja. Tak bisa berkutik dan tanpa suara. Sebatang pohon pisang yang hendak berbuah itu ditebas Jalu. Ternyata pemuda tadi telah kabur karena dia melihat gelagat yang tak beres. Dia lari tunggang langgang. Jalu mengejar dengan golok dihunus. 

Kejar-mengejar itu tidak berlangsung lama karena Jalu kehilangan jejak. Mata golok yang berkilauan membuat matanya kabur. Sementara orang dikejar yang sudah memperhitungkan kejadian itu, bersembunyi di sebuah lumbung padi kemudian menindihnya dengan butiran-butiran gabah. 

Jalu yang amarahnya di ubun-ubun tetap mencari sasaran. Goloknya ditebaskan pada setiap yang ditemuainya. Dia ngamuk habis-habisan selama satu hari satu malam. Orang-orang mengungsi ke kampung tetangga. Kampung dikosongkan.

Dua hari selanjutnya, amarah Jalu reda. Ia kelihatan mengasah golok lagi tiap pagi. Seperti biasa. Dia seperti melupakan kejadian kemarin. Orang-orang kembali dari pengungsiannya. Aparat setempat memperingatkan mereka supaya tidak mengolok-olok Jalu lagi. Dia tak akan mengganggu jika tak diusik. Kalau diajak ngobrol harus dengan sopan.  

“Apa golok itu dijual?” tanya seorang pagi itu kepada Jalu. 

Jalu hanya menoleh sebentar sumber suara, kemudian mengasah lagi.  
 
“Apa golok itu dijual? Aku berani bayar mahal. Berapapun maumu.”

Jalu menatap sumber suara lekat-lekat. Dua sorot mata beradu.  

“Golok ini akan kuberikan, tapi setelah memakan satu nyawa,” jawab Jalu. 

***
Pagi, dengan cepat, kabar tersiar. Orang-orang berdatangan ke tepi kolam. Pandangan mereka pada satu arah, tubuh kaku menelungkup di atas batu asahan. 

"Jalu pasti ada yang membunuh," kata seseorang.

"Ya. Jalu dibunuh," kata yang lain.

    "Pengasah golok dibunuh dengan goloknya sendiri. Kita tahu golok Jalu paling tajam di antara golok siapa pun."

    "Golok yang membunuh tuannya?"

    "Mungkin dia bunuh diri, bukan dibunuh."

    "Tidak mungkin! Ini ada orang yang tidak suka padanya kemudian membunuhnya. 

    "Kenapa dia dibunuh?" 

    “Itu golok bagus,” kata seseorang yang baru datang, “aku akan mengambilnya.”

    “Jangan, itu aku yang akan menyimpannya. Aku RT di kampung ini,” kata seseorang. 

     “Aku orang yang paling tua di kampung ini. Golok itu aku yang pegang!” tegasnya.
    “Tidak, akulah yang menggunakan pertama kali golok itu membunuh orang. Itulah golokku.” 
Sukabumi, 2006