Cerpen

Baliho

Ahad, 7 Januari 2024 | 06:00 WIB

Lelaki muda itu bernama Jatmiko. Asalnya dari sebuah desa kecil di pinggiran Kabupaten M. Jatmiko tidak punya riwayat susah menjalani hidup. Almarhum bapaknya lama menjadi perangkat desa. Sedari kecil, Jatmiko sudah diberi macam-macam fasilitas agar kelihatan lebih gagah dari kawan-kawan sebayanya. Ketika usia SD, di kala teman-temannya wara-wiri jalan kaki, Jatmiko sudah diberi sepeda BMX. Di tahun-tahun itu juga, rumah Jatmiko jarang sekali sepi lantaran kawan-kawannya hobi mampir buat main Pe-es. Saat SMA, sementara teman-temannya pulang pergi sekolah naik angkot, Jatmiko sudah naik motor ber-cc tinggi. Duhai, nyaman sekali hidup manusia satu ini.


Tapi namanya hidup, pasti ada saja kejutannya. Dua tahun lalu, ayah Jatmiko meninggal mendadak. Harta peninggalannya memang besar; ada sawah, tambak, ruko, sampai warung makan. Sayangnya, sang pewaris tidak ahli mengurus. Biasa hidup gampang, Jatmiko gelagapan ketika harus memelihara usaha-usaha bapaknya. Belum lagi hobi senang-senangnya masih tetap ada. Perlahan sedikit demi sedikit aset warisan mulai terlepas.


Orang-orang yang dulu dekat dengan bapaknya datang silih berganti. Banyak di antara mereka yang menawarkan bantuan kerja sama. Jatmiko yang masih buta bisnis seringkali mengiyakan tawaran-tawaran tadi. Dia percaya-percaya saja, karena beralasan yang mengajak itu sahabat bapaknya. Jatmiko lupa, yang jadi sahabat orang-orang tadi adalah bapaknya, bukan dia. Berkali-kali, bisnis yang dijanjikan bubar jalan. Modal yang ditanamkan Jatmiko habis entah buat apa. Jatmiko buntung, orang lain untung.


Salah seorang kawan bapaknya mengajaknya untuk berbenah. Abud namanya, seorang lelaki paruh baya keturunan Arab. Abud mengarahkan Jatmiko untuk bekerja seperti bapaknya saja, mengabdi untuk rakyat. Jatmiko awalnya terkejut dengan saran Abud. Tentu saja dia menolak! Selain tidak punya pengalaman, Jatmiko juga tidak yakin orang-orang percaya atau bahkan kenal dengan dia. Namun, Abud tampak sangat sungguh-sungguh membujuk Jatmiko. Sekali, dua kali, berkali-kali, Abud terus menerus membujuk Jatmiko. Beragam janji Abud tawarkan untuk Jatmiko. Dari mulai siap mengenalkan ke pengurus partai, siap mengajari Jatmiko bikin program, siap wara-wiri mengurus kampanye, semuanya Abud ucapkan agar Jatmiko percaya. Diberi janji ini itu, perlahan mulai tampak kepercayaan dalam hati Jatmiko. Akhirnya, di tahun 2023, dengan mantap Jatmiko memberanikan diri mendaftar sebagai calon legislatif!

 

Abud segera bergerak. Ke sana kemari dia membawa nama Jatmiko. Beberapa kali, Abud meminta bekal dana agar urusan dengan pengurus partai bisa berjalan lancar. Hingga tiba suatu hari, giliran Abud meminta Jatmiko melakukan promosi. Dia bilang, kalau mau dikenal, muka Jatmiko harus nongol di banyak tempat. “Ente harus pasang baliho, Jat! Orang-orang harus hapal sama nama dan muka ente,” kata Abud.


“Modalnya kira-kira berapa, Om?” Jatmiko menjawab dengan tanya.

 

“Alah, ga mahal. Kasih ane 200 juta aja. Ente bisa dapet 1000 baliho. Pokoknya ente terima beres!” timpal Abud.

 

“Waduh, gede bener angkanya, Om?” Jatmiko mendadak resah.

 

“Ente usaha lah, Jat. Nyaleg kan kaya bisnis, butuh modal. Ente cari lah modal!”

 

“Tapi duit udah tipis abis setoran kemarin. Warisan bapak juga udah tinggal ruko doang ini, Om”.

 

“Ente kan bisa pinjem ke bank. Jangan takut lah. Ini kan buat pengabdian juga. Biar almarhum bapak ente tenang,” Abud membawa bapak Jatmiko agar yang dibujuknya menjadi yakin.

 

Jatmiko tak punya solusi lain. Akhirnya, Jatmiko memberanikan diri pinjam uang. Bukan ke bank konvensional, tapi ke bank plecit! Jatmiko tidak bisa memenuhi perkara administrasi. Sementara, waktu kampanye semakin sempit. Terlebih Abud terus menagih dana ke Jatmiko. Dengan hati di kuat-kuatkan, Jatmiko memberanikan diri meminjam ke rentenir.

*

 

“Abis ini ane kirim 150 juta, ente bikinin 1000 baliho,” begitu bunyi pesan singkat Abud kepada Nasir, seorang vendor baliho.


“Siap, 86 bosku!” balas Nasir.

 

Nasir tersenyum senang. Kabar baik ini segera dia sampaikan ke anak buahnya. Musim kampanye memang mengundang berkah tersendiri buat Nasir. Order-an baliho datang tak berhenti. Setiap hari, ada saja tim kampanye yang memesan baliho ke perusahan digital printing miliknya. Tidak hanya dirinya yang sumringah, anak buahnya juga senang dengan pesanan-pesanan desain dari para caleg. “Gampang desainnya, Bos. Tempel-tempel doang, kelar!” begitu ujar salah satu anak buah Nasir.


Dalam lima hari, baliho dengan muka Jatmiko selesai dicetak. Terpampang muka Jatmiko sedang tersenyum lebar. Gestur tangannya mengepal, khas 'caleg banget', seolah ingin meneguhkan tekad untuk berjuang. “Bulan Februari, pilih yang tidak ingkar janji. Nomor 5! Jatmiko Suryono dari Partai Tembadau Berjuang!” begitu isi tulisan dalam baliho.

 

Lembaran baliho yang sudah jadi lalu dipasang pada potongan-potongan bambu. Agar cepat terpasang, lembaran buru-buru dipaku atau diikat dengan kawat. Usai terpasang semua, Abud ganti mengutus Cahyo bersama timnya untuk memasang baliho-baliho di pinggir jalan.

*

 

“Hooaahhmm…” sopir pick up di sebelah Cahyo menguap lebar.

 

“Jangan ngantuk! Kita cuma dibayar dua malem buat masang-masang balihonya,” ujar Cahyo.

 

“Sori, Bos. Masangnya malem banget soalnya, kan wajar saya ngantuk,” jawab Si Sopir.

 

“Ya emang kudu malem, biar ga ketahuan orang-orang. Makin malem makin aman,” jawab Cahyo sedikit emosi.

 

Si Supir manggut-manggut. Dia paham, tidak bisa kalau pasang baliho siang-siang. Bisa-bisa diprotes warga setempat. Kalau diprotes, tidak jadi deh baliho dipasang.

 

Tepat pukul 01.45 WIB, tim Cahyo mulai memasang baliho ke penjuru kota. Tanah digali, pohon dipaku, tiang dikawat, apa pun dilakukan biar baliho bisa terpasang.

 

“Eh, kamu, minggir. Balihonya mau tak foto!” teriak Cahyo kepada salah satu tukang yang memang.

 

“Ikatan kawatnya ga mau dicek, Bos?” tanya Si Tukang.

 

“Ga usah. Yang order ga minta macem-macem. Pokoknya kepasang,” jawab Cahyo.

 

“Oke, deh, Bos!” Si Tukang Manut

 

“Lagian, kamu juga pasti males tho ngerjainnya dua kali. Wes tho, masang baliho caleg itu enak. Sing penting ngadeg, rampung!” ujar Cahyo sambil mesem.

*

 

“Baliho sdh trpasang,” begitu tulisan chat dari Abud kepada Jatmiko.


“Oke, Aq cek siang ini y Om,” balas Jatmiko.

 

Siang hari, dengan sedan miliknya Jatmiko mengelilingi kota. Dadanya sedikit membusung melihat mukanya bertebaran di sepanjang jalan. Tidak sia-sia dia mengeluarkan banyak uang. Orang-orang akan kenal dia. Sebentar lagi, cita-cita untuk meniru bapaknya akan terwujud.

 

Tanpa Jatmiko sadari, saat malam menjelang beberapa balihonya tertimpa kemalangan. Beberapa tim sukses caleg lain ada yang memasang baliho dengan menutupi baliho Jatmiko. Lebih parah lagi, ada pula yang melakukan kampanye kotor dengan menyobek bagian muka Jatmiko di baliho. Belum lagi baliho Jatmiko ada yang ambruk karena diikat asal-asalan.


Salah satu baliho yang ambruk dipungut oleh Usro, seorang pemulung yang setiap hari berkeliling kota dengan menarik gerobak. Di belakang gerobak, istri dan anaknya yang masih kecil sesekali membantu mendorong. Malam itu, mereka hendak pulang ke bangunan bambu reot yang mereka anggap sebagai rumah.

 

“Pak, ngapain diambil balihonya?” tanya istri Usro.

 

“Lho, atap belakang rumah kan udah mulai rembes, Mbok. Balihonya dipasang biar ga bocor lagi,” jawab Usro.


“Iya, Mbok. Lumayan, dapet plastik gede gratis. Hehehe,” anak Usro tersenyum bungah.

 

Pagi harinya, dengan bergotong royong Usro, istri, dan anaknya memasang baliho yang mereka pungut di jalan. Usro memasang baliho tersebut dengan mengarahkan bagian gambarnya di dalam rumah. Istrinya protes.


“Pak, ngapain gambar mukanya dipasang ke dalam rumah?”


“Ga papa, Mbok. Ini bapaknya senyum. Jadi kita bisa disenyumin tiap hari. Biar hepi, Wakakaka,” Usro menjawab sambil ngakak.

 

“Walah, Pak. Malah geli lho aku lihat gambar bapak-bapaknya ini meringis ke aku,” sahut istrinya.

 

“Tenang aja, Mbok. Anggap saja kita ditemenin sama bapak DPR-nya ini tiap hari. Orangnya ga lihat langsung, minimal fotonya yang ngelihatin kita. Hehe,” jawab Usro berusaha menghibur istrinya.

 

Maka sejak hari itu, gubuk reot Usro selalu dihinggapi senyum dari Jatmiko. Usro memasang muka Jatmiko tepat di atas dipan. Setiap menjelang tidur, pandangan Usro dan istri selalu mengarah ke gambar Jatmiko yang tersenyum. Hari demi hari, senyum Jatmiko tidak pernah absen menemani tidur Usro. Hingga waktu pencoblosan akhirnya tiba….

*

 

“Dok, ada pasien baru masuk,” salah satu perawat jaga di Rumah Sakit Jiwa Dr Soerojo membuka ruangan Kalya.


“Oke, sebentar, ya. Saya habisin bekal saya dulu,” jawab Kalya, dokter SpKJ atau spesialis kedoteran jiwa yang kedapatan jatah piket.

 

Bulan ini, perasaan Kalya campur aduk. Harusnya dia senang. Setelah melewati serangkaian tes CPNS, akhirnya dia lolos penempatan di RSJ Dr Soerojo. Namun, bulan awal dia kerja bertepatan dengan seminggu usai pemilu. Tak pernah dia prediksi sebelumnya, pasien-pasien yang dia tangani kebanyakan adalah caleg-caleg gagal.

 

“Sudah ada data pasiennya?” tanya Kalya kepada perawat jaga.

 

“Sudah, Dok. Pasien atas nama Jatmiko. Dari catatan tanggal lahir, umurnya 32 tahun. Asal Kabupaten M. Caleg Partai Tembadau Berjuang. Datanya hanya itu, Dok. Itu pun kita dapat dari kartu nama di sakunya. Soalnya…”

 

“Soalnya apa?” Kalya langsung penasaran dengan kata terakhir yang dilontarkan perawat.


“Tidak ada penanggung jawab pasien, Dok. Tadi pasien diantar bapak-bapak. Mukanya agak kearab-araban. Keluar ambulans, bapak itu langsung hilang. Kami tidak tahu dia ke mana,” jawab perawat menjelaskan keadaan.

 

“Duh… Ya sudah, kita eksekusi dulu. Kasihan ini pasiennya daripada terlantar,” jawab Kayla sambil melihat ke arah Jatmiko.

 

Yang dilihat sedang tersenyum. Tentu, bukan murni senyum bahagia dari hati dan pikiran yang sehat. Karena, Jatmiko telah kalah. Suara di dapilnya menumpuk ke caleg nomor urut satu. Semua kerja keras dan biaya yang dia keluarkan tidak berbalas. Setengah jam setelah pengumuman akumulasi suara, Jatmiko jatuh pingsan. Kekecewaan yang hebat membuat fisik dan mentalnya seketika runtuh.


Sementara Dokter Kayla bersama perawat menanganinya, muka Jatmiko tidak berhenti menyunggingkan senyum. Senyum persis seperti yang ada di baliho. Meski saat ini, senyum tersebut mengandung arti yang berbeda sama sekali.

 

Muhammad Daniel Fahmi Rizal, alumnus Pesantren Ciganjur, penikmat fiksi, menaruh minat kuat pada seni sekuensial.