Cerpen

Percakapan-percakapan yang Tertinggal 

Ahad, 9 Juli 2023 | 08:00 WIB

Percakapan-percakapan yang Tertinggal 

Ilustrasi (Freepik)

Cerita Pendek: Anis Hidayatie

Aku melihat mendung dalam matamu. 


"Apakah kamu akan merebut malam-malamku?" tanyamu khawatir sambil menatap lekat pupilku.

 

Bagiku, malam adalah tempat bagaimana aku menghidupkan lampu. Juga tempat menumpahkan keriuhan di keheningan hatiku.

 

Malam bagiku pula adalah kesempatanku mempunyai air mata, mengalirkannya, sederas yang kusuka. 


"Bagaimana mungkin?" jawabku. 

 

"Aku akan selalu teringat dengan gambar sepasang angsa di danau. Kitakah itu?" kataku melanjutkan dengan sepotong tanya.

 

Lalu angsa di gambar itu seperti menertawakan kesunyian yang makin merajam sukma. Hujan air mata selalu saja tumpah sebelum kau menandakan kehadiran di penghujung malam. Kuseka segera ketika aroma tubuhmu mulai tercium. Menyiapkan tungku terhangat dari hati yang diamuk keinginan bertemu.  

 

"Apakah kamu menungguku?" tanyamu dengan senyum penuh kemenangan. Mencabik keangkuhan yang selalu saja kupertontonkan.  Malam betul-betul telah merampasmu hanya untukku. 

 

Pelukan tererat menjawab ketidakberdayaan sendiri ini.  Lampu-lampu memang selalu kunyalakan ketika tiba temaram, tak percaya pada sinar bulan meski bulat purnama dengan cahaya benderang. Takutku tak bisa menangkap bayang kedatanganmu.  

 

Padahal ketika kau datang, lemah lunglai seringkali menimpa persendian tulang. Tak mampu menatap hujaman pandangan pada mata yang kupunya. Hingga pejam menjadi satu-satunya sikap yang bisa kupersembahkan untuk menyambut belaianmu.  

 

Anak-anak rambut di keningku tak henti menantikan usapan, juga garis rahang dan rona pipi ini. Enggan berpisah menafikan keinginan kuat menolak hidup berpasangan lagi. Sungguh aku tak inginkan itu pada mulanya, meski kamu rajin menghampiri. Kukatakan, cukup lukisan itu saja penawar hasrat terpendam dada ini. Jangan ada legalitas, karena dunia siang pasti akan menghujatku habis-habisan jika tahu aku bersuami lagi. 

 

Ternyata kini, tak hanya malam yang ingin kurampas dari waktumu. Juga pagi, siang, sore atau senja. Kuingin seluruh waktu bersekutu demi keberadaanmu. Angsa yang bersama itu, mauku tak hanya untuk diingat. Namun, keindahan dengan segala rupa ingin kececap nyata. Mengorbankan martabat tinggi menjadi satu satunya pilihan bila itu terjadi. 


Tak lagi dianggap suci atau terhormat lagi. Kesetiaan yang mereka minta dariku untuk mendiang pendampingku seumur hidup menjadi tuntutan tak terbantahkan. Mereka tak rela aku mendua. Karena di dalam pandangan mereka ini adalah aib. Noda dari tuntutan kesetiaan sehidup semati, bahkan maut tak boleh memisahkan. Harus berlanjut hingga dunia berganti alam. 


"Kalau begitu kita menikah sekarang," katamu dengan penawaran sama seperti malam-malam terdahulu. 

 

"Aku ingin sekali, kamu tahu itu. Tapi bagaimana dengan alasan-alasan yang kupunya? Baiklah aku bisa menerima makian dan cibiran orang, tapi bagaimana dengan buah hati semata wayangku? Arjun akan dikucilkan teman-temannya di sekolah. Menjadi sumber gunjingan yang tiada habisnya."

 

Tatapanmu menelisik dua bola mata, lalu satu telunjuk menutup bibirku untuk tak lagi berkata-kata.  


"Kita akan lewati semua, aku akan pastikan kamu akan tetap menjadi perempuan terhormat, lebih dari sekarang, juga Arjun. Dia akan baik-baik saja dengan pernikahan kita."


"Bagaimana caranya?" aku masih ragu.


Senyummu mengakhiri percakapan malam. Satu bisikan lembut membuai telinga. 

 

"Percayakan semua padaku, langkah awal menuju pelaminan akan kumulai ketika mentari menyapa fajar nanti. Kamu lihat saja apa yang bisa aku buat untuk terwujudnya pernikahan kita," katamu.


Pintu kedatangan kubiarkan terbuka lebar. Kali ini tidak dengan air mata, namun dengan ribuan bunga bermekaran, menanti janjinya segera ditunaikan.


Anis Hidayatie, aktivis NU tinggal di Malang Jawa Timur, juga bergiat sebagai jurnalis di media online.