Cerpen

Dongeng Enteng dari Pesantren (5): Jadi Santri

Sab, 7 Maret 2020 | 23:15 WIB

Oleh Rahmatullah Ading Afandie

Puji syukur kepada Yang Maha Kuasa yang membuatku pernah menjadi santri. Terima kasih kepada temanku, si Unung, yang mengiming-imingiku menjadi santri. Terima kasih juga kepada ibu bapakku yang menyebabkan aku menjadi santri. Tidak lama aku menjadi santri, cuma dua tahun.

Perlu aku bersyukur sebab sekarang merasakan beruntungnya menjadi santri. Aku bersyukur dalam sejarah hidupku pernah mengalami kehidupan pesantren. Terasa banyak gunanya. Dan tentu saja punya kisah yang tak dimiliki anak-anak kota yang tak mengenal pesantren.

Kuakui, sebelumnya sering malu kalau orang lain mengetahuiku pernah jadi santri. Kadang sering mangkir pernah jadi santri. Tapi belakangan malah bangga. Aku bangga sebab punya pengalaman hidup yang lebih dari anak-anak kota pada umumnya. Dari pesantren memang tak sebarapa banyak bertambah ilmuku. Soalnya aku nyantri cuma dua tahun. Sementara santri lain bisa sampai belasan tahun.

Waktu Belanda dikalahkan Jepang, sekolah-sekolah tutup. Anak-anak menganggur. Si Unung, teman sebangku di sekolah, ikut kakaknya nyantri di pesantren P. Ketika pulang, ia menceritakannya dengan menarik. Katanya, mengaji di pesantren lebih cepat ketimbang ngaji di Ajengan Enoh, di Kampung. (Aku dan si Unung mengaji di Ajengan Enoh). Lalu timbul keinginanku menjadi santri. Semakin bertambah setelah mendengar ceramah Ajengan Ma’mun ketika Rajaban.*

“Sekarang kebanyakan manusia memburu harta dunia seolah-olah akan hidup selamanya. Padahal maut tak diketahui kapan datangnya, bisa besok, bisa nanti, tak ada yang tahu. Saudara-saudara, ilmu itu cahaya, al-ilmu nurun. Orang tak berilmu ibarat di dunia gelap tak tahu jalan yang harus ditempuh. Itulah sebabnya menuntut ilmu itu wajib bagi setiap mukmin. Tholabul ilmi faridlotun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin...” begitu kata Ajengan Ma’mun.

Niatku semakin bulat untuk ke pesantren. Ibuku tak kurang sepuluh kali mengucapkan alhamdulillah ketika aku mengatakannya. Ia kemudian bercerita ke hampir setiap orang kampung. Lalu para orang tua ingin juga memiliki anak sepertiku, menjadi santri.

Aku lupa tanggal persisnya mulai menjadi santri. Tapi tak akan lupa harinya, Rabu. Sebab itu perhitungan kakekku.

Menurut dia, mencari ilmu harus dimulai hari Rabu. Aku lupa alasannya, tapi katanya Rabu hari terbaik mulai tholabul ilmi. Tidak seperti Yogaswara dalam Mantri Jero**, ia berangkat ke pesantren sendirian.

Keberangkatanku seperti calon haji yang akan pergi ke Makkah. Seperti Purnama Alam*** pergi ke Pesantren Gurangsarak. Berduyun-duyun pengantar. Kedua pamanku mengapit di kiri kananku, ibu, bapak, dan kakek. Beriringan Mang Ihin dan si Uha, tukang kebun dan anaknya. Keduanya memikul perbekalanku dan oleh-oleh buat ajengan. Ajengan menyambut hormat kedatangan rombonganku. Apalagi kepada kakek, ia sangat hormat sekali. Sebab kakekkulah yang dulu menikahkannya. Aku menjadi santri istimewa di pesanten itu. Sampai ditawari, mau tinggal di rumah ajengan atau mau di kobong****.

Aku memilih di kobong supaya banyak teman. Kalau di rumah ajengan, takut ketahuan aku tak pintar. Di kobong, aku diberi tempat yang enak. Tak jauh dari jendela. Tempat tidur di atas ranjang. Kopor disimpan di atas. Malam pertama di pesantren aku merasa takut. Mungkin karena belum ada yang kenal. Dan ternyata susah kenal dengan mereka. Santri yang tidur di bawah ranjangku sepertinya sedang sakit. Dia berselimut terus. Ketika orang lain ke masjid, dia masih saja berselimut.

Selepas Isya kuberi paha ayam dan nasi timbel. Betapa gembira menerimanya. Santri yang tidur di sebalah kiriku, dari tampangnya saja tampak songong. Di hadapanku, ia membaca Safinah keras-keras. Tambah menyebalkan ketika ia bertanya dengan bahasa Arab, “Man ismuka?”

Sepertinya dia menyangka aku tak mengerti sama sekali bahasa Arab. Padahal yang seperti itu aku pernah belajar kepada Ajengan Suganda. Aku menjawab pertanyaan dengan menyebutkan namaku, ia tidak songong lagi.

“Kamu pernah ngaji ya?” tanya teman yang tiduran di bawahku, sementara giginya menggerus tulang.

“Belum,” kataku.

Nah, dengan merekalah aku pertama kali kenal. Pertama si Atok, yang tidur di bawahku. Kedua si Aceng, yang songong, di sampingku, yang bertanya dengan bahasa Arab. Ketika mulai ngaji, aku diperkanalkan ajengan.

Para santri, ini Den Anu, putranya juragan Anu, putunya juragan Hatib, di B. Mulai saat itulah aku hidup di pesantren.    

 

Cerpen ini diterjemahkan dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia oleh Abdullah Alawi dari kumpulan cerpen otobiografi Dongeng Enteng ti Pesantren. Kumpulan cerpen tersebut diterbitkan tahun 1961 dan memperoleh hadiah dari LBBS di tahun yang sama. Menurut Adun Subarsa, kumpulan cerpen tersebut digolongkan ke dalam kesusastraan Sunda modern sesudah perang. Nama pengarangnya Rahmatullah Ading Afandie sering disingkat RAF. Ia lahir di Ciamis 1929 M. Pada zaman Jepang pernah nyantri di pesantren Miftahul Huda Ciamis. Tahun 1976, ia muncul dengan sinetron Si Kabayan di TVRI, tapi dihentikan karena dianggap terlalu tajam mengkritik. Ketika TVRI cabang Bandung dibuka, RAF muncul lagi dengan sinetron Inohong di Bojongrangkong.

 

* peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW ** novel karya Memed Sastrahadiprawira * ** wawacan karya sastrawan R. Suriedireja **** kamar-kamar di pesantren Sunda, gutekan di Jawa