Cerpen

Cerita Pendek: Alhamdulillah

Ahad, 24 April 2022 | 14:15 WIB

Cerita Pendek: Baitul Muttaqin Al Majid

Cerita ini bermula dengan alhamdulillah—segala puji hanya bagi Gusti Allah Ta’ala—diucapkan seorang lelaki saat mendapati rezeki dalam bentuk sebotol plastik yang terkapar di tanah beberapa jarak di depannya itu. Sembari berjalan menghampirinya, seiring rasa syukurnya tersebut perasaannya jadi sedemikian peka: mendapati sebatang pohon kersen yang menaungi botol itu sementara musim hujan belum tiba, sekonyong-konyong segaris pertanyaan berkelentab: sebagaimana dirinya—sepagi ini—sudahkah pohon itu mendapat kemurahan-Nya? Mudah-mudahan saja di kedalaman tanah masih terdapat air melimpah, demikian benaknya yang dilanjutkan dengan lagi-lagi mengucap alhamdulillah—begitu mendapati air dalam botol itu masih setengah yang mana kemudian mula-mula ia berniat menyiramkannya pada pohon itu, namun karena sebatang tunas kecil di bawahnya tampak lebih membutuhkannya, maka ia menyiramkannya pada anak pohon itu sembari mengucap bismillah seiring setetes kebahagiaan sekonyong-konyong merembesi dadanya sebagaimana kebahagiannya saat bersedekah. Campur aduk perasaannya tersebut terus terbawa hingga setelah cukup jauh kaki melangkah; hingga mendapati gelas-gelas plastik banyak berserakan di sebuah pekarangan, perasaannya sekonyong-konyong seolah-olah terbelah antara prihatin dan bungah. Prihatin karena banyak sisa air yang turut terbuang itu, senang karena gelas-gelas itu bakal menjelma banyak rupiah. Ia heran dengan kemenduaan ini: selama memulung ia telah beberapa kali mendapati rezeki nomplok seperti ini—yang biasanya sisa acara hajatan seorang warga—namun, kenapa ia baru merasakan kepekaan semacam ini—apa karena lantaran ia memberi air pada si anak pohon kersen tadi? Ia tidak tahu, yang ia tahu dulu saat mendapati gelas-gelas seperti itu ia segera membuang airnya sekenanya kemudian memasukkannya ke karungnya. Berbeda dengan yang kini ia lakukan: setelah mengucap alhamdulillah ia memungutinya, kemudian menyiramkan air itu pada pepohonan sekitar yang sekiranya paling membutuhkan sembari mengucap bismillah untuk kemudian memasukannya ke dalam karungnya. Pengalaman rasa yang tidak terpahamkan ini ia ceritakan pada pemilik warung kopi yang juga teman dekatnya di kampung itu sembari istirahat untuk kemudian mengantar gelas-gelas itu pada juragan rongsoknya. Kendati pemilik warung tidak menanggapi, ia menyimak ceritanya dengan penuh perhatian. Barulah setelah lelaki itu pergi, saat beberapa pelanggannya datang untuk kemudian satu di antara mereka menyalakan televisi di pojok warung itu yang menayangkan sebuah berita bahwa di beberapa wilayah mulai kekurangan air, ia teringat cerita lelaki itu lalu menceritakannya pada mereka.


Sementara seseorang menanggapi dengan menyatakan bahwa lelaki itu mau enaknya saja dalam arti maunya saat menemukan gelas-gelas tersebut dalam keadaan kosong hingga tak perlu repot-repot mengosongkannya, seseorang yang lain berkomentar dengan menyampaikan pengandaian: sisa-sisa air dalam gelas yang rata-rata masih setengah atau bahkan lebih dan—sebagaimana diceritakan—jumlah gelas tersisa air lebih banyak ketimbang gelas yang kosong, berapa jumlah nilai uangnya apabila masih dalam gelas utuh? Atas tanggapan pertama tersebut banyak orang yang menyetujuinya, sementara atas tanggapan kedua tersebut bahkan ada orang yang buru-buru mengeluarkan hape untuk kemudian membuka aplikasi kalkulator lalu mengkalkulasi uang perandaian tersebut yang hasilnya ternyata cukup banyak hingga-hingga beberapa orang ber-oh secara bersama-sama. Kemudian, saat seseorang menanggapi dengan menyatakan bahwa hal tersebut adalah sebentuk perilaku pemborosan orang-orang—menyia-nyiakan air minum dengan cara tidak menghabiskannya atau belum habis satu gelas air sudah mengambil gelas kemasan yang lain—sementara sebagaimana mereka saksikan di layar televisi tadi bahwa di beberapa wilayah mulai kekeringan, serempak orang-orang itu pada terdiam; seorang pun tidak ada yang menanggapi sehingga susah diterka apakah mereka tidak atau setuju atas tanggapan tersebut atau jangan-jangan diam-diam mereka setuju, hanya saja boleh jadi karena mereka masih melakukan hal seperti itu hingga tidak menanggapinya.


Hari berikutnya, di waktu yang hampir sama dengan orang-orang yang hampir sama di tempat yang sama, begitu seseorang rampung menceritakan mimpinya semalam, yang lain serentak pada tercengang karena mereka mengalami mimpi yang sama: didatangi sebatang pohon yang meminta air kepada mereka. Kendatipun mereka tidak sepakat atas dugaan-dugaan arti mimpi tersebut, kejadian yang menurut mereka tidak biasa ini dan seiring menyebar ke warga lainnya di kampung itu, perlahan-lahan mengubah perilaku sebagian mereka dalam berhubungan dengan air: apabila mereka meminum air kemasan, mereka tidak membuang kemasannya sebelum menghabiskan airnya atau memberikan sisanya terlebih dahulu pada tumbuhan sekitar karena mereka mulai menganggap bahwa seperempat gelas air plastik bagi mereka mungkin sedikit atau dengan kata lain tidak bermanfaat—kendatipun tetap bermanfaat—tetapi bagi sebatang pohon kembang kecil di pot amatlah bermanfaat. Sementara itu apabila mendapati tetumbuhan di pekarangan mereka masing-masing tampak kekurangan air—terutama saat musim kemarau—mereka segera menyiraminya. Ini menjadikan: sementara di pekarangan-pekarangan kampung yang lain di sekitar kampung itu tampak lebih banyak pepohonan yang mengering, pepohonan di kampung itu tampak lebih banyak yang menghijau.


Sayangnya, demikan sekonyong-konyong sampean menanggapi cerita saya, semua itu terjadi hanya di dalam cerpen—tidak di dunia nyata. Memang, tanggap saya, akan tetapi kendati demikian saya berharap setelah sampean membaca cerita ini, sampean terinspirasi untuk berbuat seperti itu atau setidaknya menceritakan pada orang lain dan siapa tahu ia tergugah untuk meniru perbuatan orang-orang tersebut lalu ditiru dan ditiru lagi oleh orang-orang lainnya.


Demikianlah, sebagaimana saya membuka cerita ini dengan hamdalah, saya akhiri pula dengan alhamdulillah—segala puji hanya bagi Gusti Allah Ta’ala, yang telah memberi berbagai potensi sehingga saya bisa menuliskannya. Juga selawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa salam, karena Kanjeng Nabi-lah yang mula-mula mengajari para sahabat untuk kemudian mereka mengajari generasi berikutnya dan dari generasi ke generasi sehingga saya tahu bahwa segala puji hanya bagi Gusti Allah Ta’ala, Dzat Pencipta, Pengatur, Pemelihara alam semesta.


Kesugihan, 13:55, 7 November 2021


Tentang Penulis

Pernah membaca dan menulis beberapa cerita—mudah-mudahan akan lagi. Beberapa cerpennya disiarkan duniasantri.co, magrib.id, maarifnujateng.or.id, dawuhguru.com, jurnaba.co, iqra.id, cerano.id, buruan.co, nubanyumas.com, nu online dan termaktub dalam beberapa buku antologi di antaranya: Ragu (CV. Penerbit, Yogyakarta, 2020), Pecahan Asa dalam Kata (Aksara UPI Tasikmalaya, 2020), Pada Sampah Buanglah Tempatnya (Sip Publishing, Purwokerto, 2021), Senandung Cinta dari Pesantren (Diva Press, Yogyakarta, 2022). Karena hidup di dunia cuma sementara, sementara mukim di Doplangkarta, pesisir selatan bagian tengah Pulau Jawa.