Cerpen

Cerita Pendek: Nyeser

Ahad, 20 November 2022 | 15:00 WIB

Cerita Pendek: Nyeser

Banjir tak lagi mengalirkan berkah bagi para penambang pasir. Pemandangan jajaran gunungan pasir dan batu koral tak lagi tampak. (Foto: ilustrasi/Kendi Setiawan)

Setiap kali pulang sekolah aku menyempatkan diri turun ke sungai. Tujuan pertama ke sana adalah mencari ikan. Ini aku lakukan karena kerap kali saat tiba di rumah, tak kutemukan lauk di meja makan.


Lumayan saja jika pulang dengan membawa ikan atau udang. Tinggal goreng atau bakar. Cukup buat teman nasi di santap siang.


Kalau cuma buat cari ikan, rasanya terlalu sederhana. Jernih air sungai itu menarik aku 'tuk kembali mandi, meski seusai ngaji Subuh di rumah Pak Kiai atau tepat sebelum berangkat sekolah, aku sudah melakukan itu. Tapi rasanya kurang afdal jika sungai yang bermuara ke laut utara Jawa ini tidak kuselami.


Kuletakkan plastik kresek yang menyimpan buku tulis dan pensil yang di ujungnya melingkar karet guna menghapus kesalahan penulisan itu di batu paling besar yang ada di pinggir sungai. Batu itu bisa memuat dua orang tiduran. Saking besarnya.


Lalu kutanggalkan pakaianku, celana; sarung; baju; dan peci. Kubiarkan tubuhku telanjang bulat. Terjun dari batu-batu kali. Jungkir balik.


Seringkali aku ditemani rekan sebayaku. Tapi kadang aku juga sendirian di sana. Sungai bukan saja menawarkan sejuk dan bening airnya, ataupun ikan dan udang dalam kandungannya, tapi juga sepoi angin yang menenangkan dan cericit burung-burung yang syahdu. Belum lagi gemrisik daun yang saling bersentuhan dan gemricik air semakin membuatku betah berlama-lama di tempat itu.


Pernah juga sebelum menangkap ikan, aku berburu blengkunang lebih dulu. Buah yang berbentuk seperti melinjo itu aku petik dari kebun di ujung barat desa yang kutinggali. Lebih tepatnya ujung timur desa seberang. Aku ambil, lalu kutumbuk sampai hancur. Buah yang telah hancur itu aku masukkan ke dalam sungai. Biar mengalir bersama arusnya.


Sebab itulah, ikan-ikan akan mabuk dalam jangka pendek. Pendeknya waktu itu membuat aku harus langsung menyergap beberapa ekor ikan atau udang yang mulai kliyengan atau menyamping. Dengan begitu, aku lebih mudah nyesernya.
Biasanya jika sedang liburan atau sengaja dari rumah, aku nyeser dengan menggunakan sangku plastik bekas berkat yang didapat orang tua dari acara selamatan tetangga. Memanfaatkan barang yang ada saja. Yang penting keinginan mendapat ikan atau udang dapat tercapai.


Luap sungai pun menghasilkan berkah. Mereka yang tinggal dekat dengan sungai itu biasanya langsung turun jika tinggi air mulai surut. Dengan ceting, mereka mengambil pasir-pasir yang terbawa arus deras sungai hingga mengendap. Mereka menjualnya pergerobak.


Sebagian dari mereka ada juga yang mengambil batu-batu sebesar genggaman tangan atau lebih besar sedikit. Mereka memecahkannya menjadi kecil-kecil. Lalu, jika sudah terkumpul sampai satu gerobak, barulah mereka jual.


Untuk menjualnya, mereka cukup membiarkan tumpukan batu itu di pinggir sungai. Pembeli akan datang menawarkannya sendiri. Atau terkadang pula ada yang membeli secara borongan untuk dijual dalam satuan yang lebih besar, satu bak truk.
Pernah juga pada pertengahan dekade 90-an, masjid di desaku mulai direnovasi, tanpa mengubah bentuk fisiknya. Sebelumnya masjid itu hanya beralaskan kayu.


Masyarakat ramai-ramai bergotong royong. Ada yang menyumbang biaya. Sebagian menyumbang tenaga. Para penambang pasir itu menyumbangkan pasir yang mereka peroleh dari sungai itu. Masjid yang dulu berbentuk panggung itu berubah tak lagi memiliki ruang di bawahnya yang biasanya digunakan anak kecil untuk jadi tempat persembunyian saat permainan petak umpet. Setiap kali sujud, masjid panggung menghasilkan irama yang menarik. Benturan dahi dengan lantai yang masih berupa kayu itu menimbulkan suara yang khas.

***


Semua berubah mulai dari pembangunan besar-besaran gedung sekolahku. Gedung yang berdiri di bantaran sungai bagian selatan itu dibangun dengan material batuan sungai. Batu-batu besar yang dulu jadi tempat menaruh pakaian dan plastik kresek itu dihancurkan.


Batu-batu besar lainnya juga bernasib sama. Mereka semua menjelma gedung yang kini kumasuki sebagai tempat belajar.
Karena itu, arus sungai semakin deras mengalir. Ikan tak lagi sebanyak dulu. Pasir pun turut terbawa arus karena tak ada lagi penangkal yang menghalangi ia sampai muara.


Pepohonan yang berjajar rapi pun terpaksa harus berganti dengan tanaman bernama gedung sekolah. Bahkan di sisi utaranya kini berjajar rumah-rumah.


Toilet kini sudah masuk ke rumah-rumah. Limbahnya bermuara ke sungai itu melalui comberan yang hitam pekat dengan bau busuk yang menyengat ke mana-mana. Walhasil, comberan-comberan itu menyatu dalam sungai yang dulu, dulu ayahku selami.


Hal ini diperparah sebelumnya dengan pemortasan. Zat kimia cair yang terbungkus botol kecil itu dituangkan penuh pada sungai. Bukan lagi teler, ikan dan udang itu bahkan tewas mengenaskan. Sampai ke bibit-bibitnya.


Biasanya, jika ada pemortasan oleh satu dua orang, puluhan warga menyerbu sungai itu. Mereka juga ingin mendapat ikan tanpa harus bersusah payah sendiri. Semuanya serba instan.


Padahal dulu, kakekku melarang orang tuaku menangkap ikan dan udang yang sedang mengandung. Jika mereka terjaring, orangtuaku akan melepaskannya kembali, membiarkan mereka berkembang biak.


Semenjak plastik semakin menjadi tren sebagai pembungkus sesuatu, ia juga tren mengalir di sungai. Dia paling rajin hadir balapan sampai muara dengan ikan-ikan.


Tak ayal, banjir tak lagi mengalirkan berkah bagi para penambang pasir. Pemandangan jajaran gunungan pasir dan batu koral tak lagi tampak. Lebih dari itu, murka masyarakat mengutuk keadaan yang dibuatnya sendiri.


Banjir tidak sekadar air mengalir deras dari hulu ke hilir, tapi juga menggenangi rumah-rumah. Apalagi sekolah yang tak berjarak dengan sungai itu. Pasir pun melimpah di atas keramik yang baru dipasang dua minggu lalu.


Tidak sekali. Tidak juga dua kali. Banjir datang berkali-kali. Volume air sungai seakan jadi momok baru bagi masyarakat daerahku. Bukan hanya warga desa, tetapi warga kecamatan lain juga menjadi terhambat aksesnya.

 

Desaku menjadi wilayah salah satu jalan alternatif bagi masyarakat yang berada di dataran yang lebih tinggi jika mau pergi ke pasar terdekat. Atau bahkan ke kota untuk mengurus administrasi negara yang memakan biaya besar jika diurus oleh pegawai desanya.


Jika sudah demikian, perekonomian pun lumpuh. Sebab desaku yang diapit dua sungai. Masyarakat di dalamnya tidak lagi bisa ke mana-mana jika tamu tak diundang itu datang melahap semuanya.


Perekonomian pun mati. Pedagang dan pembeli tak punya akses ke pasar. Sawah pun tergenang yang berakibat gagalnya panen. Hingga pendidikan pun lumpuh, sebab siswa tidak lagi mendapat pelajaran dari gurunya. Mereka bersama membersihkan sisa lumpur atau bahkan menambang pasir dari ruang kelasnya masing-masing.


Sepertinya aku harus nyeser lagi seperti yang ayah lakukan dulu. Bukan ikan yang aku seser. Jelas bukan. Toh ikan sudah tak lagi hadir bersaing dengan plastik-plastik itu.


Iya. Aku mesti menyeser sesuatu yang memenangkan pertarungan berenang itu. Mengentaskannya atau melarangnya kembali berenang. Toh dia tak lagi punya lawan.

***


Penulis Syakir NF, pelayan di Perpustakaan Cipujangga, Padabeunghar, Kuningan, Jawa Barat.

*Nyeser: menangkap ikan dengan alat dapur, seperti sangku, baskom, atau semacamnya.
*Ceting: sebuah wadah nasi yang terbuat dari anyaman bambu.