Cerpen

Datang dan Perginya Seorang Wali

Ahad, 26 Maret 2023 | 16:00 WIB

Datang dan Perginya Seorang Wali

Ilustrasi: NU Online

Cerita Pendek Badrul Munir Chair
Masjid di pesantren kecil kami itu mendadak disesaki ratusan santri ketika matahari mulai terbenam. Tepat ketika suara sirine panjang dari masjid—tanda bahwa hari telah memasuki waktu maghrib—berbunyi, kabar duka itu tersiar melalui speaker masjid, terdengar ke seluruh sudut perkampungan di sekitar pesantren, mengundang belasungkawa dan perasaan kehilangan orang-orang yang pernah mengenalnya. Lahir seorang wali dan tenggelam beratus ribu, bisik salah seorang Ustadz kami, menyiratkan bahwa keberadaan lelaki tua yang kini sudah meninggal dunia itu akan sulit tergantikan. Lelaki tua yang akhir-akhir ini kerap menjadi bahan perbincangan para santri itu kini telah berpulang, mengembuskan nafas terakhirnya di masjid yang selama dua bulan belakangan ini telah menjadi tempat tinggalnya.


Ketika matahari benar-benar tenggelam dan kegelapan mulai menyelimuti pesantren kami, ratusan santri dan kerumunan pelayat dari sekitar pesantren semakin memenuhi lingkungan masjid. Selepas maghrib, kalimat tahlil dan lantunan doa-doa terus berkumandang tak putus-putus dari bibir para pentakziah.


Tidak ada yang mengira bahwa lelaki yang semula kami anggap orang gila itu akan meninggal di pesantren kami. Sore tadi, lelaki tua itu masih sempat mengumandangkan azan Ashar sebagaimana hari-hari sebelumnya. Namun menjelang maghrib, tartil yang biasa ia lantunkan sesaat sebelum maghrib tidak terdengar, cukup aneh mengingat selama dua bulan terakhir lelaki tua itu selalu melantunkan tartil dan mengumandangkan azan tepat waktu. Pertanyaan kami pun akhirnya terjawab, tepat ketika azan maghrib mulai terdengar dari masjid-masjid lain di sekitar pesantren, yang terdengar dari speaker masjid pesantren kami justru bukan kumandang azan, melainkan berita duka yang mengabarkan bahwa lelaki tua itu telah meninggal dunia.


Tiba-tiba kami dilanda perasaan kehilangan. Lelaki tua itu, dalam waktu yang tergolong singkat, telah mampu membuka mata hati kami dan sedikit-banyak telah membawa perubahan di pesantren kecil ini. Semenjak ia pertama kali datang ke masjid pesantren sekitar dua bulan lalu, begitu banyak hikmah kehidupan yang dapat kami petik, terutama melalui tingkah-polahnya yang ganjil dan sulit dimengerti oleh santri awam seperti kami.


Masjid pesantren kami barangkali adalah tempat tinggal yang nyaman bagi lelaki tua itu. Semenjak kedatangannya yang secara tiba-tiba dua bulan silam, ia begitu betah berdiam diri di dalam masjid, menghabiskan hampir seluruh waktunya di lingkungan masjid. Semula, kami mengira bahwa lelaki tua itu merupakan peziarah atau musyafir yang sedang mencari berkah di pesantren kami. Pesantren kami memang sering dikunjungi oleh para musyafir dan para peziarah. Meski pesantren kami terbilang kecil, namun pendiri pesantren ini merupakan seorang Ulama’ kharismatik yang jasadnya dikuburkan di komplek pesantren, sehingga wajar jika banyak peziarah atau musyafir yang datang ke pesantren kami.

 

Namun berbeda dengan kebanyakan musyafir atau peziarah yang berkunjung ke pesantren kami, tingkah laku lelaki tua itu tergolong ganjil, sehingga wajar jika sebagian besar santri menganggap lelaki tua itu gila.

 

Bagaimana tidak? Ia—lelaki tua yang hingga hari kematiannya tidak kami ketahui nama dan asal-usulnya secara pasti itu—seringkali bertingkah aneh. Pada hari kedatangannya, ia sudah membuat keributan kecil ketika berebut microphone masjid yang akan digunakan untuk mengumandangkan azan Zuhur. Muadzin yang mendapat giliran tugas azan pada hari itu sontak kesal sebab ketika ia sudah bersiap untuk mengumandangkan azan, lelaki tua itu serta-merta merebut microphone dari tangan sang muadzin. Perdebatan kecil antara sang muadzin masjid pesantren dengan lelaki tua yang sedang berebut microphone itu dapat didengar oleh seisi pesantren sebab ketika mereka sedang berdebat, microphone masjid dalam keadaan sedang menyala. Perdebatan yang kami dengar melalui speaker masjid itu sontak membuat kami tertawa di ruang kelas madrasah.


Namun tawa kami seketika terhenti ketika sesaat kemudian kami mendengar suara azan yang sangat merdu dari speaker masjid pesantren kami. Kami tahu, azan yang kami dengar saat itu luar biasa indah, sehingga kami tidak menyadari bahwa selama beberapa saat kami terkesima dan sejenak benar-benar melupakan perdebatan konyol antara dua orang yang sedang berebut microphone yang kami dengarkan dan kami tertawakan sesaat sebelumnya. Suara azan yang semerdu dan semenyejukkan itu tidak pernah kami dengar sebelumnya.


Lelaki tua itu mengambil-alih tugas muadzin masjid pesantren pada waktu-waktu shalat berikutnya. Para pengurus masjid pesantren kini tidak lagi menghalangi ketika lelaki tua itu hendak azan, sebaliknya malah mempersilakan lelaki tua itu untuk mengumandangkan azan di setiap waktu shalat. Maka pada hari-hari berikutnya, hari-hari kami di pesantren dihiasi oleh suara merdu lelaki tua itu.


Meski suara merdunya ketika sedang azan mampu menyejukkan hati dan telinga, bukan berarti tingkah ganjil lelaki tua itu tidak membuat para santri merasa jengkel bahkan marah. Suatu ketika, salah seorang santri bertengkar mulut dengan lelaki tua itu sebab lelaki itu mengambil baju dan sarungnya yang sedang dijemur. Asrama-asrama santri memang tidak jauh dari masjid, sehingga jemuran pakaian santri dapat terlihat dari emperan masjid. Lelaki tua itu, tanpa merasa bersalah, dengan seenaknya mengambil dan memakai baju dan sarung kawan kami seakan-akan adalah miliknya sendiri. 

 

Bukan hanya baju dan sarung, bahkan jatah makan santri pun tidak jarang diambil dan dimakan oleh lelaki tua itu. Di pesantren kami, para santri diberi jatah sarapan berupa nasi bungkus yang dibagikan per kamar dan disesuaikan dengan jumlah anggota masing-masing kamar. Jika ada satu bungkus saja jatah sarapan diambil oleh lelaki tua itu, maka dapat dipastikan akan terjadi keributan kecil di kalangan para santri yang saling berdebat tentang siapa yang harus mengalah mengikhlaskan jatah sarapannya untuk dimakan lelaki tua itu. Masalahnya, bukan hanya satu bungkus yang diambil oleh lelaki tua itu, tidak jarang ia mengambil dua hingga tiga bungkus jatah sarapan santri, sehingga wajar jika banyak santri yang merasa kesal.

 

Semakin hari, tingkah ganjil lelaki tua itu makin menjadi-jadi. Bukan hanya mengambil pakaian yang sedang dijemur, lelaki tua itu bahkan mengambil bantal dan kasur santri yang sedang dijemur dan memindahkannya ke salah satu sisi teras masjid dan dijadikan sebagai tempat tidurnya. Namun, tidak satu pun Ustadz kami yang berani mengambil tindakan tegas pada lelaki tua itu, antara segan karena dari segi usia lelaki itu tentu jauh lebih tua dibandingkan dengan Ustadz-ustadz kami, juga mungkin tidak enak hati sebab suara lelaki tua itu ketika azan dan mengaji sangatlah merdu. Namun di sisi lain, Ustadz-ustadz kami juga harus mengambil tindakan sebab tingkah ganjil lelaki tua itu sudah menimbulkan keresahan di kalangan santri.

 

Keresahan dan keluhan para santri yang timbul karena disebabkan oleh lelaki tua itu membuat para Ustadz akhirnya menghadap kepada Kiai Jazuli, pengasuh pesantren kami. Namun jawaban Kiai Jazuli justru malah membuat sikap para Ustadz terhadap lelaki tua itu semakin lunak. Kiai Jazuli dawuh bahwa lelaki tua jangan sampai disakiti, para santri harus belajar sabar menghadapi tingkah ganjil lelaki tua itu, sebab lelaki tua itu merupakan tamu yang harus dihormati dan dimuliakan. Lebih jauh, Kiai Jazuli juga mengingatkan bahwa lelaki tua itu merupakan amanat yang dititipkan 'seseorang' kepada beliau, sehingga sudah sepatutnya diperlakukan dengan baik.

 

Dawuh Kiai Jazuli di hadapan para Ustadz, yang kemudian diteruskan kepada para santri, membuat desas-desus seputar asal-usul lelaki tua itu mulai merebak. Ada yang mengatakan, bahwa lelaki tua itu dulunya merupakan santri Mbah Kiai Karnawi, sang pendiri pesantren ini. Ada pula yang mengatakan bahwa lelaki tua itu dulunya merupakan guru mengaji yang menjadi kurang waras sebab gagal naik haji setelah ditipu oleh agen travel haji. Versi ini mungkin mendapatkan pembenaran, sebab faktanya lelaki tua itu mengajinya sangat fasih dan suaranya sangat merdu. Namun desas-desus yang terus bermunculan, justru semakin mengaburkan tentang siapa sebenarnya lelaki tua itu dan dari mana ia berasal. Setiap lelaki tua itu kami tanyai mengenai nama dan asal-usulnya, ia selalu enggan menjawab dan bahkan seringkali marah.

 

Yang benar-benar kami tahu mengenai lelaki tua itu adalah, di luar kebiasaan ganjilnya yang sering membuat kesal para santri, lelaki tua memiliki suara yang sangat merdu. Lelaki tua itu memang sering bertingkah aneh, namun setiap menjelang memasuki waktu shalat, lelaki tua itu sudah rapi dan selalu bersiap untuk mengumandangkan azan. Perilaku ganjilnya seakan tak membekas ketika lelaki tua itu sedang mengumandangkan azan atau ketika sedang mengaji. Ketika azan, suaranya sangat lembut, merdu, dan seakan mampu merasuk ke kedalaman batin setiap pendengarnya. Dan ketika mengaji menjelang waktu maghrib, suaranya sangat merdu. Ayat-ayat suci yang terlantun dari bibirnya seakan mampu membawa kesejukan. Setiap mendengar lelaki tua itu mengaji, entah kenapa kami merasa malu bahwa sebagai santri, kami belum mampu mengaji sefasih dan semerdu lelaki tua itu.


Lambat-laun, kami mulai belajar membiasakan diri dengan tingkah ganjil lelaki tua itu, bahkan mengenali kebiasaannya. Rutinitasnya sehari-hari hanya dilakukan di sekitar masjid. Pagi hari ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berjalan-jalan atau duduk di sekitar masjid, sementara jika malam hari, lelaki tua itu lebih sering menghabiskan waktunya dengan mengaji di makam Mbah Kiai Karnawi. Di luar itu, lelaki tua itu lebih sering menyendiri dan jarang sekali berbicara.

* * *


Suatu malam, secara tidak sengaja kami melihat lelaki tua itu sedang mengendap-endap berjalan ke arah ndalem Kiai Jazuli. Aku dan beberapa orang temanku yang baru pulang dari mengaji di makam Mbah Kiai Karnawi, terkejut ketika melihat dari kejauhan lelaki tua itu memasuki ndalem Kiai Jazuli. Karena curiga dan khawatir lelaki tua itu akan bertingkah ganjil di dalem Kiai Jazuli, kami pun diam-diam mendekati dalem Kiai Jazuli.

 

Apa yang kami lihat di dalam rumah Kiai Jazuli benar-benar membuat kami semakin terkejut. Dari sela-sela tirai jendela kami dapat melihat dengan jelas, Kiai Jazuli sedang mengaji di hadapan lelaki tua itu. Kiai Jazuli duduk bersila di hadapan lelaki tua itu layaknya tingkah seorang santri yang sedang belajar mengaji kepada gurunya. Melihat kejadian itu, kami memutuskan kembali ke asrama, dan sepakat untuk merahasiakan kejadian yang kami lihat di ndalem Kiai Jazuli tadi.
Kejadian yang kami lihat di ndalem Kiai Jazuli membuat kami menarik kesimpulan bahwa lelaki tua itu bukanlah orang sembarangan. Bagaimana tidak? Kiai Jazuli yang kami kenal sebagai ahli ibadah, yang tidak kami ragukan karomah kewaliannya, diam-diam malah belajar mengaji kepada lelaki tua yang dulu pernah kami anggap gila itu.


“Bukan tidak mungkin kalau lelaki tua itu adalah Wali yang diutus Allah untuk menguji keimanan kita.”


“Iya. Tidak ada yang mampu mengetahui kewalian seseorang kecuali seorang Wali. Dawuh Kiai Jazuli tempo hari bahwa lelaki tua itu merupakan amanat yang dititipkan 'seseorang' kepada beliau, menyiratkan bahwa lelaki tua itu bukanlah orang sembarangan.”


"Mungkin lelaki tua itu adalah Wali Majnun."


"Betul, memang ada di antara Wali Allah yang jadzab—bertindak di luar kewajaran manusia normal seperti kita, bahkan kelakuannya seringkali mendekati kegilaan."


"Barangkali ia telah sampai pada puncak pencarian akan Tuhannya, sehingga lupa akan dirinya dan tertutupi dari segala hal yang bersifat duniawi."


"Wallahu a’lam."

 

Maka sejak kami melihat Kiai Jazuli belajar mengaji kepada lelaki tua itu, kami tersadar bahwa selama ini kami hanya menilai lelaki tua itu dari tampakan luarnya saja. Kami juga sadar, di balik keanehan yang sering ditunjukkan oleh lelaki tua itu, bukan tidak mungkin jika tingkah ganjil dari lelaki tua itu sengaja dilakukan untuk menyembunyikan kewaliannya.


* * *


Selepas dishalatkan, jasad lelaki tua itu ditandu menuju kompleks pemakaman pesantren. Ratusan santri dan pentakziah ikut mengantarkan jenazah lelaki tua dengan suara yang sangat merdu itu menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Ratusan santri dan para pentakziah yang sejak tadi memenuhi lingkungan masjid mulai merangsek menuju komplek pemakaman pesantren. Riuh-rendah suara takbir dan tahlil terus dikumandangkan di sepanjang jalan dari masjid menuju pemakaman.


Setelah dimakamkan, Kiai Jazuli memberi sambutan singkat di hadapan ratusan santri dan para pentakziah, bahwa: pesantren ini telah kehilangan Muadzin terbaiknya; dan tentang suara merdu lelaki tua itu ketika azan dan mengaji, Kiai Jazuli dawuh bahwa, "Suara lelaki tua itu akan lebih dulu sampai di surga bahkan sebelum ia meninggal dunia."

 

"Saya memiliki keyakinan bahwa Almarhum adalah Waliyullah yang diutus untuk menguji keimanan kita. Seorang Waliyullah akan merasa malu jika derajat kewaliannya mulai diketahui. Mungkin di antara kita ada yang mulai mengetahui rahasia kewalian beliau, karena itulah Allah Swt memanggil beliau kembali. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari kehadiran beliau yang singkat di pesantren ini," begitulah dawuh Kiai Jazuli di akhir sambutan singkatnya.


Dawuh Kiai Jazuli itu sontak membuat kami—aku dan teman-temanku yang menyaksikan lelaki tua itu ketika sedang berada di rumah Kiai Jazuli—terkejut dan merasa bersalah. Di antara kalimat tahlil yang berkumandang, di antara ratusan santri dan pentakziah yang mengantar lelaki tua itu ke peristirahatan terakhirnya, entah kenapa diam-diam aku menyesal karena mengetahui rahasia kecil tanda-tanda kewalian lelaki tua itu. 


Badrul Munir Chair, lahir di Sumenep, 1 Oktober 1990. Bukunya yang sudah terbit antara lain novel Kalompang (2014) dan kumpulan puisi Dunia yang Kita Kenal (2016). Saat ini bekerja sebagai dosen Filsafat Islam di UIN Walisongo Semarang.