Cerpen

Golok Penghabisan

Ahad, 30 Juli 2023 | 07:00 WIB

Golok Penghabisan

Ilustrasi (Freepik)

Cerita Pendek: Susanto Aboge
Ketika embun masih memeluk rerumputan, lelaki tua berambut putih itu sudah mulai mengasah goloknya. Ia akan memakai golok itu empat hari ke depan. Dengan goloknya, ia menjalankan amanat warga kampung tepi sungai itu untuk mensyahkan ritual ibadah kurban. Goloknya adalah, golok yang paling dipuji di kampung itu. Bentuknya pipih ramping, mengkilat dan ketajamannya tak diragukan siapa pun. 


Semua orang paham, Kiai Sukri begitu lincah ketika menghunus dan menembuskan goloknya memutus batang tenggorokan dan nadi sapi kurban. Telah bertahun-tahun, dengan ketajaman golok itulah, sapi-sapi kurban segera membelalakan mata, mengejang dan mati dengan cepat. 


"Jangan sampai mata golok itu lepas dari leher hewan kurban itu sampai engkau memutus batang kerongkongan dan nadi hewan kurban. Jangan sampai salah sembelih dan daging kambing ini menjadi haram,” kata Kiai Sukri kepada Rustam yang belajar menyembelih hewan kurban.


Sukri muda adalah seorang guru, tepatnya kepala sekolah. Namun dalam perjalanan pulang malam hari, mobilnya dihadang dua sosok bertopeng. Mereka tiba-tiba muncul dari rimbun rumpun bambu tepi jalan dan memaksa menghentikan mobil Sukri. 


Secepat kilat Sukri melompat dari mobil dan berkelahi dengan dua sosok itu. Sukri berhasil melukai salah satunya. Bahkan golok Sukri bersarang di dadanya. Seorang yang lain melarikan diri. Namun dalam peristiwa itu, Sukri yang membela diri justru dipenjara karena dituduh main hakim sendiri. Sebilah golok tajam yang menewaskan pria bertopeng itu menjadi barang bukti.


Mendekam di balik jeruji besi, Sukri meninggalkan anak istrinya. Ia kehilangan pekerjaan. Banyak yang menyayangkan, tapi vonis penjara lima belas tahun dijatuhkan. Dipotong remisi, Sukri bebas setelah menjalani hukuman 12 tahun. 

 

Anehnya golok yang menghabisi pria bertopeng itu, ia dapatkan kembali dari seorang polisi sekeluar dari penjara. Polisi itu muridnya sendiri. 


Ya, pagi ini, ia mengasah golok kesayangannya itu. Pikirannya menerawang saa ia menjadi guru, kepala sekolah hingga ia dipenjara. Seakan peristiwa yang berjalin bekelindan itu baru saja terjadi kemarin. 


**

"Kamu itu kepala sekolah yang paling goblok di kota ini. Kepala sekolah lain, sengaja 'sowan' kepadaku. Kamu itu kepala sekolah yang tak tahu rekomendasi! Tolol" kata lelaki berbaju safari abu-abu yang tiba-tiba masuk tanpa permisi ke ruang kerja Sukri siang itu.


Sosok itu berperawakan tinggi besar. Wajahnya merah mirip tokoh wayang Baladewa. Siang itu Sukri melihat semerah merahnya wajah. Wajah orang yang disegani di kota ini. Orang yang mampu mendulang suara rakyat terbanyak di antara wakil rakyat lainnya. 


"Kalau kamu persulit urusan ini, ya sudah! Nanti aku obrak-abrik sekalian kamu. Sekali aku maju, aku tak kenal mundur. Camkan itu!" katanya menimpali.


"Kalau tak bisa diselesaikan di atas meja, saya siapkan selesaikan kamu di jalan!" tambahnya sambil melotot.


"Silakan, Saya tunggu Pak. Lagian untuk apa aku menghadap Bapak!" kata Sukri tak kalah lantang. Ia tak menunduk bahkan mendongak karena memang tubuhnya lebih kecil dari pria itu. 

 

Mendengar perkataan Sukri, lelaki yang semula hendak pergi itu berbalik. Kepala tangan lelaki itu tiba-tiba melayang ke muka Sukri. Tetapi tak disangka, dengan gesit Sukri menggoyangkan kepalanya. Kibasan tangan sang dewan itu hanya menghantam angin hingga membuatnya sempat akan jatuh. 


Di ruang sebelah, para guru hanya terdiam namun menguping. Setelah lelaki itu pergi, beberapa masuk ke ruangan Sukri. Mereka mengingatkan Sukri untuk bisa menuruti kemauan lelaki itu. Tapi Sukri adalah Sukri. Ia bukan kebanyakan kepala sekolah lain. Ia pantang menerima murid titipan. Pantang baginya menyingkirkan siswa berprestasi yang kebanyakan dari keluarga miskin.

 

"Awas ya nanti. Tunggu pelajaranku!" umpatan lelaki itu yang membanting pintu dan pergi itu masih terngiang di telinga Sukri. Sejak peristiwa siang itu, Sukri selalu menyimpan golok di mobilnya ke mana pun ia pergi. 

***


Kumandang takbir Idul Adha telah terdengar dari masjid di kampung itu. Sebelum para jamaah masuk ke masjid, beberapa di antara jamaah Idul Adha itu berkerumun. Pembicaraan mereka mengarah pada sapi kurban yang paling besar.


“Itu sapi kiriman Pak Sumbodo, yang anaknya akan nyalon dewan nanti. Dulu Pak Sumbodo terpilih sebagai dewan pendulang suara paling banyak. Ia juga penyumbang paving, keramik dan semen terbanyak masjid ini,” kata Tarno diiringi anggukan orang-orang di sekitarnya.


Sumbodo dikenal warga pejuang 45. Ia seperjuangan dengan ayah bupati sekarang. Di tangannya, sepur yang ditumpangi Belanda gagal sampai di stasiun Kota Pantai Selatan karena berhasil digulingkan dan dibakar.
Perbincangan tentang Pak Sumbodo itu terhenti saat bilal mengumandangkan panggilan salat Idul Adha. 


"Oh ya, Pak Sumbodo ya. Itu orangnya datang. Beri beliau jalan," kata Sarwin menunjuk seorang tua berbadan gempal berjalan hendak memasuki masjid. Kerumunan jamaah masjid membelah diri. Sosok mantan wakil rakyat maju menuju barisan salat paling depan. 


Usai shalat, khutbah dibacakan Kiai Toha. Namun, lenguhan sapi kurban Pak Sumbodo begitu keras terdengar. Sesekali jamaah yang ada di serambi masjid menengok. Di antara jamaah saling berpandangan dan tersenyum. Mereka saling mengangguk dan kagum dengan besarnya sapi kurban Pak Sumbodo. 


***


Kini penyembelihan hewan kurban pun dimulai. Tahun ini, masjid di tepi sungai itu mendapatkan tiga sapi dan sepuluh kambing kurban warga. Dari tiga sapi, sapi kurban Pak Sumbodo-lah yang paling besar. Sapi itu ditambatkan di pohon sawo besar samping masjid dengan tali dadung. 

 

"Jangan lupa bagi yang kurban untuk menyaksikan kurban ini. Kita berdoa bersama agar kurban kita menjadi penolong kita di akhirat nanti," jelas Aminudin, takmir masjid pemandu prosesi pemotongan kurban. 


Kiai Sukri melenggang ke lokasi arena jagal hewan kurban di samping masjid. Ia kini hanya memakai kaos oblong putih, berpeci hitam, dan melilitkan sarungnya ke pinggang. Tangan kanannya telah memegang golok penghabisan. 
Ia pun memberikan aba-aba orang-orang untuk menggiring sapi sebelum disembelih. Sapi pertama berhasil dirobohkan. Dengan cekatan Kiai Sukri, telah berada di depan sapi, berdoa seraya mengayunkan goloknya. Sapi kurban Haji Said rampung disembelih.


Pun dengan sapi kedua dengan lanca disembelih Kiai Sukri. Sapi kedua, sapi kurban Kiai Duldenan yang anaknya sukses menjadi pengusaha kontraktor listrik di Kalimantan.


Kini giliran sapi ketiga, para jamaah Idul Adha merubung dan ingin melihat bagaimana prosesi penyembelihan sapi kurban dari Pak Sumbodo dilaksanakan. Sebagaimana orang yang berkurban lainnya Pak Sumbodopun datang menyaksikan sapi kurbannya. 


Suara decak kagum karena besarnya sapi kurban Pak Sumbodo terdengar dari para mulut jamaah. Ada yang geleng kepala, ada yang berbisik dan lainnya. Sebelum Aminudin berbicara, mikropon telah direbut Pak Sumbodo. 


"Saya kurbankan sapi terbesar ini di masjid ini. Semoga bermanfaat. Tapi jangan lupa ya, anak saya besok mau nyalon dewan, wakilnya Anda semua. Tolong dibantu," kata Pak Sumbodo kepada para jamaah. 


"Nggih," begitulah serentak jamaah menjawab seperti suara paduan suara.


Sapi Pak Sumbodo adalah sapi yang paling besar dalam sejarah kurban masjid di kampung tepi sungai itu. Usai dilepas dari tambatan, sapi itu digiring para jamaah. Butuh sepuluh orang lebih untuk mengkondisikan sapi itu agar roboh dan sebelum disentuh tajam golok Kiai Sukri. 


"Rupanya sampeyan (kamu) yang akan menyembelih sapi kurban saya," kata Pak Sumbodo. 


Kiai Sukri menjawabnya dengan tersenyum. Wajah Pak Sumbodo mengingatkannya peristiwa berpuluh tahun lalu ketika ia masih menjadi kepala sekolah. Pak Sumbodolah yang membanting pintu ruangannya dan mengancamnya.
Kemudian Kiai Sukri memberikan aba-aba agar sepuluh orang pemegang tali pengikat kaki sapi Pak Sumbodo bergerak. 


"Siap, ayo Bismillah. Satu, dua, tiga, empat," kata Aminudin memberikan aba-aba kepada rekannya untuk menarik tali dan merobohkan sapi besar kurban Pak Sumbodo. 

 

Di saat sapi itu roboh, dengan lincah Kiai Sukri segera mengayunkan golok kecil tajamnya ke leher sapi hingga menembus dan memotong batang kerongkongan sapi itu. Kaki-kaki sepuluh orang pemegang tali itu menolak bumi saat tangan mereka menarik tali pengikat sapi besar itu. Urat-urat leher dan kening mereka menegang dan mulut mereka meringis. 


Sekuat tenaga mereka mengkondisikan sapi itu agar mudah disembelih. Kiai Sukri mulai beraksi memainkan golok kecilnya. Namun sebelum tenggorokan dan nadi sapi itu putus, tak disangka sapi itu meronta. Golok Kiai Sukri pun lepas dari tangannya. 

 

Sepuluh orang yang menarik tali sapi itu terjungkal. Sapi itu bangkit membabi buta hingga menerjang Pak Sumbodo yang tepat berada di depan itu. Warga lain berlarian panik menghindari sapi. Sapi besar itu baru roboh, usai menabrak pohon sawo. 


Teriakan takbir saat penyembelihan berganti dengan teriakan panik jamaah. Apalagi setelah mengetahui, sosok Pak Sumbodo yang terkapar. Matanya terbelalak, baju dan sarung yang dikenakannya bersimbah darah. Ada luka di leher Pak Sumbodo. Tergeletak pula sebilah golok di sisi Pak Sumbodo. Golok yang sangat dikenali para jamaah. 

 

Tak jauh dari Pak Sumbodo, Kiai Sukri masih mematung berdiri. Ia tak berkata apa pun. Tatapan matanya kosong, tetapi ingatannya kembali pada peristiwa perkelahian berdarah dengan dua lelaki bertopeng. Ya, satu orang terkapar tewas. Tapi kali ini lain. Yang terkapar adalah Sumbodo, yang tak sengaja terkena sabetan goloknya. Ya, dengan golok yang sama. Golok penghabisan.


Susanto Aboge, nama pena dari Susanto. Seorang jurnalis. Tinggal di perbatasan dua kabupaten. Banyumas dan Breber. Pegiat Sekolah Kepenulisan LuarKotak dan KOPI. Saat ini juga bergiat sebagai Ketua Lembaga Ta’lif wa Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Cabang Banyumas, Jawa Tengah.