Cerpen

Dongeng Enteng dari Pesantren (4): Ibu Ajengan

Ahad, 1 Maret 2020 | 04:15 WIB

Dongeng Enteng dari Pesantren (4): Ibu Ajengan

Ibu Ajengan bernama Nyi  Djuriah mengajar santri-santri putri dari kampung sekitar

Oleh Rahmatullah Ading Affandi 

Ketika aku berpapasan dengan Ajengan di sebuah tepi jalan, ia sempat menceritakan istrinya yang jompo. Aku tidak kaget mendengarnya. Bukan hanya karena usia lanjut, tapi dari dulu Ibu Ajengan memang sakit-sakitan. 

Keadaannya tambah parah karena Nyi Halimah, anak satu-satunya bertahun-tahun tiada rimbanya. Padahal Nyi Halimah sangat dimanja sejak kecil. Ibu Ajengan satu-satunya istri ajengan di pesantrenku. Ajenganku tak pernah poligami dua apalagi tiga seperti umumnya ajengan di kampung. Ibu Ajengan sangat menyayangiku. Dulu ia punya anak laki-laki (kakak Nyi Halimah). Cuma usianya tidak panjang. 

Jika masih hidup anaknya sepantaran denganku. Ia meninggal usia 9 tahun, tenggelam di sungai saat berenang bersama santri-santri. Ketika mereka pulang di pondok pesantren, baru sadar si Ujang, putra Ajengan, tiada. Mereka kemudian mencarinya, tapi sayang ia ditemukan tewas di sebuah batu di bawah jembatan gantung. Tidak tahu yang sebanarnya, menurut Ibu Ajengan, anaknya mirip denganku. Ganteng katanya. Sebab itulah Ibu Ajengan begitu menyayangiku. 

Menurut kabar lain, katanya Ibu Ajengan ingin mengambilku jadi menantunya. Masya Allah, padahal waktu itu aku masih sangat kanak-kanak. Tapi menurutku, karena aku datang ke pesantren diantar orang tua seperti yang entar akan kuceritakan di depan. Akulah satu-satunya santri yang diantar orang tua. Disamping itu, Ajengan dan istinya segan pada orang tuaku, lebih-lebih pada kakekku. Singkat kata, di pesantren aku dianggap “pangmenakna*”. Mereka menyebutku Aden*. 

Pernah Ibu Ajengan meminta supaya aku tidak memasak nasi sendiri. Beberapa bulan aku mengikuti permintaannya. Aiku mengiyakannya, beberapa bulan “indekos” di ajengan. Tapi setelah bersahabat dengan si Atok, aku masak sendiri. Tapi sebenarnya si Atoklah yang masak. Sebagai imbalannya, makan si Atok aku yang menanggung. Ibu Ajengan tidak banyak bicara, tapi kalau sudah marah tidak habis dua hari. Sudah ada dua tiga santri pulang karenanya. 

Ibu Ajengan bernama Nyi  Djuriah mengajar santri-santri putri dari kampung sekitar. Tempatnya mengajar ngaji santri putri disebut pangwadonan. Haram laki-laki masuk ke situ, kecuali ketika kosong. Ia mengajar selalu di tempat yang sama, di samping tiang dekat gorden. Kerudung kuningnya samar-samar membayang di balik gorden. 

Ibu Ajengan mengajar lebih ayem jika dibanding Ajengan. Ajengan sering membentak. Suaranya bisa terdengar ke mana-mana. Sementara Ibu Ajengan tidak, tapi sering mencambuk dengan sapu lidi. Aku tahu seperti itu karena sering mengintip dari balik gorden jika ia sedang berpaling ke arah lain. Selepas mengajar, Ibu Ajengan sering memberi petuah santri putri. Sampai sekarang masih terdengar petuahnya yang rutin ditanamkan. 

“Perempuan harus lebih tebal tauhidnya kepada Pangeran. Sebab kalau tauhid perempuan tidak tebal, mustahil punya anak yang rajin beribadah. Sebab dalam sebuah rumah tangga, ibu paling dekat dengan dengan anak. Sementara laki-laki selewatan saja.” 

Perkataannya tidak persis seperti itu, tapi maksudnya begitu. Belakangan, aku sering membaca buku pengajaran. Tak beda sedikit pun bahasan hubungan antara perempuan dan keluarga dengan petuah Ibu Ajengan yang rutin disampaikan itu. Petuah Ibu Ajengan lain yang rutin disampaikan, “Kata Nabi, sorga di telapak kaki ibu, dan ibu itu adalah perempuan.” 

Dari situ, Ibu Ajengan kemudian mengisahkan mustika-mustika istri dari sejarah Nabi seperti Siti Khodijah, Siti Aisyah, Siti Fatimah. Petuah Ibu Ajengan pada santri putri tidak kalah kendati dibandingkan dengan pidato-pidato pemimpin di kota yang sedang memperingati pahlawan-pahlawan perempuan. Aku tahu pidato mereka didapat dari buku, sementara petuah Ibu Ajengan lahir dari sanubarinya sendiri. Kepada yang sudah bersuami, Ibu Ajengan sering menekankan seperti ini, “Ingat, kewajiban perempuan itu patuh pada suami. Membangkang kepadanya sama dengan membangkang pada kedua orang tua. Doraka dunia akhirat. Nanti berada di neraka Wailul tempatnya.” 

Ibu Ajengan bertubuh gemuk. Meski sudah berumur, tampak sisa-sisa kecantikan di masa mudanya. Tidak usah jauh-jauh, lihat saja paras Nyi Halimah yang anggun. Orang-orang sependapat Nyi Halimah yang cantik itu tidak lain Ibu Ajengan saat belia. Waktu aku menulis cerita ini, Ibu Ajengan sudah menghembuskan napas terakhir di sebuah rumah sakit akibat serangan jantung. Robbana, semoga iman Islamnya diterima, terang benderang keadaan alam kuburnya.   

Cerpen ini diterjemahkan dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia oleh Abdullah Alawi dari kumpulan cerpen Dongeng Enteng dar Pesantren. Kumpulan cerpen tersebut diterbitkan tahun 1961 dan memperoleh hadiah dari LBBS di tahun yang sama. Menurut Adun Subarsa, kumpulan cerpen otobiografis tersebut digolongkan ke dalam kesusastraan Sunda modern sesudah perang. Nama pengarangnya Rahmatullah Ading Afandie sering disingkat RAF. Ia lahir di Ciamis 1929 M. Pada zaman Jepang pernah nyantri di pesantren Miftahul Huda Ciamis. Tahun 1976, ia muncul dengan sinetron Si Kabayan di TVRI, tapi dihentikan karena dianggap terlalu tajam. Ketika TVRI cabang Bandung dibuka, RAF muncul lagi dengan sinetron Inohong di Bojongrangkong.