Cerpen

Mahasiswa Kere

Ahad, 6 November 2022 | 09:00 WIB

Mahasiswa Kere

Ilustrasi: Freepik

Kere berkuliah di sebuah kampus yang konon katanya dikenal sebagai kampus yang ramah untuk orang miskin. Tetapi itu hanya sekedar isapan jempol belaka. Pada kenyataannya uang kuliah justru malah setinggi langit. Ia bukan tipe mahasiswa berkantong tebal. Pakaian yang ia miliki hanya tiga celana dan tiga kemeja. Itu pun warnanya sudah mulai pudar. Karena itu ia tampak busik dan jorok seperti belum mandi. Rambutnya panjang, berwarna hitam pekat, jika dilihat dari belakang pasti orang akan mengira kalau ia perempuan. Bau rambutnya pun begitu khas sampai-sampai orang yang didekatnya akan pingsan, karena memang sudah tiga bulan ini ia belum keramas. Melihat penampilannya yang seperti itu, sudah barang tentu para mahasiswi pun enggan untuk menjadikannya sebagai pacar.


Ia tinggal di sebuah kost yang sangat jauh dari kampus, dan juga angker. Berkat keangkerannya itu harga sewanya pun menjadi murah, dan pemilik kost pun sering lupa menagih uang sewa. Namun, di balik kemiskinannya itu ia enggan untuk meminjam uang, sekalipun itu untuk makan. Lalu kalau lapar bagaimana? Ya ia akan puasa, kalau di kantongnya ada 500 perak, maka ia akan membeli promag.


Kere bukanlah mahasiswa aktivis, apalagi pandai berorasi. Ia hanyalah mahasiswa kupu-kupu alias kuliah pulang, kuliah pulang. Tempat favoritnya adalah jembatan penyeberangan, ia akan duduk di jembatan penyeberangan pada pagi hari sambil melantunkan syair layaknya penyair sambil berharap mahasiswi yang lewat mau menjadi pacarnya. Tetapi yang terjadi justru para mahasiswi mengira bahwa Kere itu adalah orang gila. Ditambah lagi dengan penampilannya yang kumuh, kuat sudah anggapan tersebut.


Desas desus perihal uang kuliah tunggal yang akan segera naik sampai juga ke telinga Kere. Apakah ia risau dengan hal tersebut? Ragu-ragu, ya ragu-ragu dan tidak itu beda tipis. Tetapi ia masih percaya bahwa rektor masih punya hati nurani, ditambah lagi rumor yang beredar di antara mahasiswa. Konon katanya rektor begitu murah hati, selalu mendengarkan aspirasi dari mahasiswa, bahkan kepada masyarakat sekitar kampus pun ia begitu peduli. Kere memang tidak pernah bersalaman dengan rektor, apalagi bertemu dengannya, rektor pun juga sudah pasti enggan untuk bertemu dengan mahasiswa semacam Kere. Satu-satunya informasi yang Kere tahu tentang Rektor adalah seorang lulusan luar negeri.


Hal tersebut benar-benar terjadi pada suatu hari, benar saja uang kuliah tunggal naik. Para mahasiswa yang dikenal sebagai aktivis hanya diam membisu, tidak ada yang berani bersuara lantang di depan gedung rektorat. Sementara para mahasiswa yang lain hanya berani mengeluh sambil berbisik-bisik. Kepada siapa para mahasiswa biasa berharap? Yang jelas bukan kepada para mahasiswa aktivis, mereka hanya bersuara lantang ketika Pemilihan Mahasiswa. Mereka hanya berharap kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bisa menggerakan hati nurani rektor.


Keluhan juga datang dari para masyarakat di sekitar kampus yang berprofesi sebagai pedagang. Pintu yang menjadi jalan rezeki mereka ditutup oleh sang rektor. Jadi dalam kampus tersebut terdapat sebuah pintu yang begitu melegenda. Pintu tersebut semacam jalan pintas menuju luar kampus; memudahkan para mahasiswa untuk ngeprint tugas kuliah, dan juga mengatasi kelaparan tanpa perlu membuat kantong menjadi tipis.


Di lapak salah seorang pedagang, duduk berkerumun lima orang pedagang. Tentu itu pemandangan yang aneh, tidak biasanya mereka saling mengobrol, menyapa pun juga tidak. Beginilah obrolan mereka:


"Ya, beginilah nasib menjadi rakyat kecil, hanya bisa pasrah dengan keadaan," kata salah seorang dari mereka. Pedagang dengan postur tinggi, bertopi koboi.


"Bagaimana kalau kita demo di dalam kampus?" celetuk pedagang yang berambut keriting.


"Setuju," timpal pedagang bertopi koboi.


"Sudah gila kalian berdua ini, sudah barang tentu akan diusir oleh para satpam. Biarkanlah mahasiswa saja yang demo, kita tugasnya berdoa," kata pedagang bertopi kupluk.


"Kalau tidak ada mahasiswa yang mau demo gimana?" tanya salah seorang pedagang berambut cepak.


"Harapan itu masih ada selagi kita mau berdoa, mudah-mudahan saja hati nurani para mahasiswa tergerak, syukur-syukur hati nurani rektor juga tergerak," jawab pedagang yang dipanggil Pak Haji.


Kere yang sedari tadi mendengar percakapan mereka, tergerak hatinya untuk melakukan demo di depan gedung rektorat. Ia tidak takut meskipun hanya seorang diri, tidak peduli dengan apa yang terjadi, termasuk sekalipun dia di drop out akibat dari aksi yang ia lakukan. Tetapi setidaknya suatu nanti ada yang bisa diceritakan kepada anak cucunya bahwa dirinya drop out dengan terhormat. Kere pun menghampiri para pedagang tersebut.


"Bapak-bapak saya akan melakukan aksi di depan gedung rektorat meskipun hanya seorang diri. Untuk waktunya nanti siang, bapak-bapak tak perlu khawatir dan risau," ujar Kere dengan mantap.


Para pedagang tersebut tidak langsung menanggapi, tetapi saling berbisik. Meskipun berbisik tetapi terdengar dengan jelas oleh Kere. Salah satu dari mereka bahkan menganggap bahwa Kere ini adalah mahasiswa gila.


"Mungkin ia orang gila yang kebetulan lewat, atau mahasiswa yang depresi karena tidak juga kunjung lulus. Sudah kita abaikan saja," ujar pedagang berambut ikal.


"Kita tidak boleh melihat seseorang dari tampilan fisiknya. Bukannya kita sudah mafhum bahwa tampilan fisik bukan sebuah jaminan. Sudah banyak contohnya. Tampilannya begitu meyakinkan, eh tahu-tahu korupsi," timpal pedagang yang dipanggil Pak Haji.


"Saya mewakili para pedagang yang lain mendukung apa yang kamu lakukan, jika kamu berhasil akan kami berikan bonus makan di tempat kami seumur hidup," kata pedagang dengan postur tinggi, bertopi koboi.


"Tidak perlu. Saya berjuang atas nama kemanusiaaan, tidak mengharapka imbalan," ungkap Kere.


Kere pun bergegas pamit menuju depan gedung rektorat. Meskipun tanpa persiapan apa pun ia bisa berorasi layaknya Soekarno, suara menggelegar bak halilintar. Ia mengawalinya dengan Sumpah Mahasiswa.


Sumpah Mahasiswa
Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu tanah air tanpa penindasan
Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan
Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan.


Cukup lama Kere berorasi dari siang hingga sore ia menuntut agar uang kuliah tunggal diturunkan, dan juga pintu rezeki para pedagang dibuka kembali. Rektor yang melihatnya pun acuh tak acuh. Apalagi rektor, para mahasiswa yang lalu lalang silih berganti pun tidak ada yang peduli.


Dengan tubuh yang penuh peluh, tentu saja bau ia pun pulang ke kostnya langsung merebahkan diri di kasur lantai yang sudah bolong sana sini. Namun, setidaknya ia telah berjuang, meskipun kalah oleh keadaan.


Lamat-lamat terdengar dari kamar sebelah sebuah puisi dari Wiji Thukul


Apa guna punya ilmu
Kalau hanya untuk mengibuli
Apa gunanya banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu
Di mana-mana moncong senjata
Berdiri gagah
Kongkalikong
Dengan kaum cukong
Di desa-desa
Rakyat Dipaksa
Menjual tanah
Tapi, tapi, tapi, tapi
Dengan harga murah
Apa guna banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu

***


Malik Ibnu Zaman, penulis lepas yang lahir dan besar di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.