Cerpen

Pernikahan Rasmin

Ahad, 28 Januari 2024 | 08:00 WIB

Pernikahan Rasmin

Ilustrasi (Freepik)

Cerita Pendek: Susanto
"Assalamu'alaikum," kata Rasmin dengan dua tangannya menenteng dua ember adukan semen pasir saat bekerja membantuku membangun dapur rumah Si Dul. Sementara aku adalah tukang batu yang biasa menggunakan jasa Rasmin sebagai pembantuku. 


"Wa'alaikum salam," kata Si Dul menjawabnya dari dalam rumah, tak mengira kalau yang mengulukkan salam itu adalah Rasmin. 

 

"Oh kamu Ras, wa'alaikum salam," jawab Si Dul sekenanya dengan suara lirih sambil memegang HP dan 'ngeloyor' masuk ke dalam rumah kembali. 

 

Setelah salam itu dijawab, Rasmin pun bergegas masuk mengantarkan adukan material itu untukku yang tengah membuat dinding dapur. Sesudah itu, Rasmin kembali keluar dapur, mengambil adukan kembali. 

 

"Assalamu'alaikum," kata Rasmin kembali mengucapkan salam sebelum masuk ke dapur sebagaimana pertama ia mengantarkan adukan semen pasir untukku. 


Mendengar itu, Si Dul dari dalam rumah keluar lagi.  Namun kali ini roman mukanya berubah agak merah. 

 

"Wa'alaikum salam. Oh, kamu Rasmin? Aku kira orang lain. Kalau masuk langsung saja, tidak usah salam. Kalau tidak dijawab nanti saya yang dosa," kata Si Dul. Aku yang mendengarnya dari dalam dan melihat itu hanya tersenyum. Rasmin pun tersenyum, setelah Si Dul kembali menjawab salamnya. 

 

Ya begitulah, Rasmin, setelah ditegur dua kali oleh Si Dul, tetap saja Rasmin mengucapkan salam ketika masuk rumah Si Dul tempat ia membantuku membuat dapurnya. Si Dul diam saja dan terpaksa akulah yang menjawab salam Rasmin setiap masuk dapur. Bagiku bukan masalah dosa atau tidak dosa, tetapi jika tak dijawab, pastilah Rasmin akan tetap berdiri mematung dengan dua tangan menenteng ember isi adukan penuh. 


Ya kuhitung, lima puluh kali ia masuk ke dapur Si Dul maka lima puluh kali pula ia mengulukkan salam. Ya, kejadian itu pun terjadi hingga dinding rumah Si Dul rampung kukerjakan. 

 

"Kok bisa ya?" kata Si Dul geleng-geleng kepala mempertanyakan keluguan dan tingkah sopan Risman saat istirahat tiba.

 

"Ya, bisa. Namanya juga Rasmin," kataku tersenyum sambil mengangkat kedua bahu. 

 

Dan dari pekerjaan membangun dapur rumah Si Dul, seluruh upahku dan Rasmin diberikan kepadaku. Olehku, jatah Rasmin memang sebagian kuambil untukku. 

 

"Kamu segitu cukup, ya Ras," kataku sambil memberikan jatah upah Rasmin yang sebagian telah 'kusunat' untuk uang rokokku. 

 

"Ya Kang, nggak apa-apa. Terima kasih," katanya sambil tersenyum tanpa protes. 

*

 

Itu belum seberapa aneh, karena Rasmin sendiri di rumah selalu minta izin terlebih dulu kepada sang ibu ketika hendak makan. Sebelum dipersilakan oleh ibunya, ia akan menahan makan meski cacing di dalam perutnya terus-terusan menggelitik. 

 

Suatu kali aku mendapatkan cerita ibu Rasmin usai rampung membangun rumahnya. Rumah dengan bangunan separuh bata itu dibangun dengan tabungan Rasmin saat bekerja pada Bos Gatot yang menjadi kontraktor listrik di Kalimantan selama satu setengah tahun. 

 

"Dulu itu selama enam bulan lebih, Rasmin tak pernah mengirimkan uang sepeser pun pada kami. Padahal bekerja di Bos Gatot yang terkenal pemurah itu, honornya cukup besar. Dulu kami minta bertanya pada Pak Katum, paman Bos Gatot kenapa Rasmin tak pernah mengirimi uang ke kami," kata Tukirah, ibu Rasmin. 

 

Mendengar kabar itu, Bos Gatot langsung bertanya pada Rasmin: Kenapa tak pernah kirim uang gaji pada ibunya di kampung? Dengan lugas Rasmin mengatakan ia telah memberikan uang gajinya penuh pada pengemis yang datang tiap bulan ke rumah Bos Gatot. Ya, seluruh gajinya diberikannya kepada pengemis itu. Tanpa syarat, tanpa beban. Bos Gatot hanya geleng-geleng kepala. 


"Saya kan sudah punya uang mingguan," kata Rasmin enteng. 

 

Setelah itulah Bos Gatot langsung menyimpan uang gaji bulanan Rasmin. Sementara Rasmin mendapatkan uang operasional mingguan dari Bos Gatot. Maka terkumpullah uang dari Bos Gatot itu hingga cukup banyak dan bisa dimanfaatkan untuk membangun rumah. 

 

Usai pulang dari Kalimantan, Rasmin aktif di organisasi kepemudaan dan pasukan serba guna tingkat desa bersamaku. Dia juga menjadi marbot masjid serta memelihara kambing. Ia tak pernah mengambil rumput pakan kambing di pekarangan orang lain. Kerja serabutan hingga buruh cangkul sawah ladang ia lakoni. 

 

Sebagai marbot masjid, ia begitu rajin membersihkan masjid. Setiap sudut masjid dibersihkannya dengan teliti. Kolong angin, keramik masjid, gorden dan kaca selalu bersih dan wangi. Ia pun selalu mengecek baterai di mikrofon masjid selalu menyala. Untuk keperluan operasional masjid itu, ia selalu melaporkan kepada bendahara masjid. 

 

"Mas, itu semut biarkan dulu untuk lewat. Jangan disapu. Biar nanti saya yang menyapu, tapi biarkan semut itu pindah dulu," katanya ketika aku membantu membersihkan masjid. Aku mengelus dada. Tapi Rasmin hanya tersenyum. 

 

Tak hanya itu, saat masjid dibersihkan sejumlah anak-anak dengan kaki belepotan tanah masuk masjid dan bermain ke sana kemari. Namun oleh Rasmin hanya didiamkan saja. Setelah mereka pergi, dialah yang kembali membersihkannya. Hal itu juga berlaku ketika ia mengajari 'ngaji' anak-anak. Ketika anak-anak akan pulang meski belum mengaji, ia mempersilakan. Tak pernah ada kata keras dari Rasmin, namun yang terbit di mukanya hanya senyum, salam, maaf dan terima kasih. 


Dalam pengajian rutin ormas kepemudaan, Rasmin menjadi yang pertama datang dan paling akhir pulang. Ialah orang yang mempersiapkan karpet tergelar. Teh kopi serta lauk pengajian, ia yang mempersiapkan dan menyajikan. Sontak Rasmin selalu menjadi andalan setiap kegiatan organisasi kami. 


"Ras, kamu merekam ceramah Ustadz Solih?" kataku memperhatikannya saat meletakkan HP di depan Ustadz Solih. Sementara rekan pemuda lain, tetap mengutak-utik HP sambil jempol mereka melakukan skroll. Entah ceramah Ustadz Solih tentang pemuda yang dirindukan masjid itu masuk atau tidak ke telinga mereka. 

*

 

Sayang, kesabaran, keluguan, kepolosan Rasmin selalu menjadi olokan warga. Saat menarik iuran untuk pengajian, Risman dituding menjadi biang tak berhasilnya menarik iuran hingga panitia 'tombok'. Pengeluaran pengajian lebih banyak daripada pemasukan dari sumbangan warga. Rasmin sebagai seksi usaha dana yang terlalu pasrah, menerima berapapun sumbangan yang diterima panitia pengajian. 

 

"Mbok ya, yang Haji Tri, Pak Katum itu ditodong saja, biar keluar setengah jutanya. Jangan diminta amal seikhlasnya. Orang itu kalau dibilang ikhlas maka yang keluar sedikit amalnya. Soalnya kita butuh banyak," kata Tarso, bendahara panitia masjid. Dimarahi Tarso, Rasmin hanya menunduk, tak membalas apa pun. 

 

Tak hanya itu, Rasmin pun kena semprot Lihun, komandan satuan pasukan serba guna, karena parkir kendaraan saat pengajian semrawut. Oleh Rasmin yang merupakan bertugas di bagian parkir kendaraan, semua orang bebas dipersilakan untuk parkir di mana saja. 


"Lha wong setiap ada pengunjung membawa motor atau mobil mau parkir di mana saja, dipersilakan. Makanya mobil dan motor semua campur jadi satu. Akhirnya ketika pulang yang terjadi crowded, semrawut, tak bisa saling keluar," kata Lihun. 

 

"Sudah pernah aku bilang, urusan narik sumbangan ataupun parkir itu jangan diserahkan ke Rasmin. Kan awal kumpulan aku pernah bilang seperti itu Pak Ketua. Tapi tetap saja dipaksakan. Masa aku harus menjelaskan alasannya," kataku kepada Ketua. 

 

"Dasar, sampeyan selalu membela Rasmin," kata Lihun kepadaku. Memang akulah yang selalu membela Rasmin dari berbagai perundungan warga dan anggota organisasi pemuda itu. Bagiku Rasmin adalah wali penyelamat organisasi dan tentunya penyelamatku juga. 

*

 

Malam ini Rasmin akhirnya menikah juga setelah umurnya menginjak kepala empat. Ia menikah dengan Nurul, gadis lulusan tsanawiyah yang enam bulan lalu pulang bekerja dari Saudi. Aku menyaksikan Rasmin duduk berdua dengan Nurul di pelaminan. Ia tersenyum. Tetapi agak malu-malu juga. 

 

Ya kami dan teman-teman ormas pemuda menghadiri resepsi Rasmin yang sederhana itu di rumah orang tua Nurul. 

 

"Kamu bisa bayangkan bagaimana ya nanti kalau Rasmin menjalani malam pertama," bisik Supri padaku. 

 

"Hush, jangan ngeledek. Rasmin pasti shalat dulu dua rakaat setelah itu baca Qur'an satu jus. Baru kemudian mulailah malam pertama," kataku. 


"Ya keburu Si Nurul ketiduran kalau gitu," kata Supri diikuti tawa renyah yang lain. 


Ya, Rasmin selalu menjadi perbincangan, tepatnya olok-olok bagi sesama anggota organisasi pemuda di desa kami. Keluguan perilaku hidupnya dianggap aneh bagi kami. Kebaikan dan kebenarannya sering membuat geleng-geleng kepala kami. Ya, jaman sekarang kebenaran, keluguan, kejujuran telah menjadi barang aneh. Yang jujur selalu ditinggal, yang lugu pasrah tak pernah kebagian.  

 

"Ras, tolong belikan saya rokok Jamur satu bungkus ya," kataku sambil mengulurkan uang Rp10 ribu kepadanya. Padahal harga satu bungkus rokok Jamur itu Rp20 ribu. Dari awal niatku ingin mengusili dia. 

 

Setelah kusuruh itu, Rasmin tak kunjung kembali. Setelah rapat ormas pemuda hampir selesai ia baru kembali. 

 

"Maaf Kang, tadi saya pulang dulu. Tadi sampeyan ngasih uang ke saya Rp10 ribu, padahal harga sebungkus rokok itu Rp20 ribu. Jadi saya pulang dulu ambil uang," katanya sambil mengulurkan sebungkus rokok Jamur kepadaku. Padahal lokasi rapat itu setengah jam jauhnya dari rumah Rasmin. Aku geleng-geleng kepala. Di hatiku sebenarnya merasa bersalah, tapi aku gengsi untuk mengungkapkannya. 

 

"Ras, Rasmin. Ayo ngerokok," kataku kepada Risman yang sebenarnya separuh isi rokok itu miliknya. 

 

Ya, tanpa Rasmin, berbagai kegiatan di organisasi kepemudaan yang membutuhkan ketelatenan tak akan jadi. Rasmin lah yang tampil pertama dan utama. Mulai membersihkan jalan, mendirikan posko lebaran, masjid, bedah rumah hingga menarik iuran pengajian. Semua dirampungkan oleh Rasmin, ketika yang lain menyerah. Tanpa banyak berdalih. Rasmin selalu berkata siap. Siap itu selalu dilanjutkan dengan gerakan nyata. 

 

Malam ini adalah malam kebahagiaan bagi Rasmin. Akhirnya ia berhasil mewujudkan cita-cita baktinya kepada ibunya Tukirah. Ibunya yang ingin segera menimang cucu mungkin akan segera terkabul berkat pernikahan Rasmin dengan Nurul. 

 

Selain malam kebahagiaan Rasmin, keluarga dan kerabat, ini juga merupakan malam kebahagianku juga. Ya malam kebahagianku. 

*


Sebulan sebelum malam resepsi pernikahan Rasmin dan Nurul, tak ada angin tak ada hujan Rasmin datang ke rumahku. Padahal aku juga sedang merasa pusing sekali malam itu. Setoran kredit bank bulan itu belum juga penuh aku angsur. Sementara saudara istri ada yang hajatan menikahkan dan harus kuberi sumbangan lebih. 

 

Namun di antara kepusinganku soal setoran bank dan uang sumbangan hajatan pernikahan, belum sepusing persoalanku yang lain. Persoalan ini sungguh karena persoalan kenakalanku yang tak mungkin kuceritakan kepada istriku ataupun kepada orang lain termasuk Rasmin. Tapi aku selalu optimis jika seluruh persoalan pasti selalu ada penyelesaian. 

 

Ia awalnya duduk terdiam selama dua puluh menit tanpa suara. Namun kemudian setelah aku desak, ia bersuara. 

 

"Ada apa Ras? Ceritakan saja. Mungkin aku dapat membantu?" kataku. 

 

"Kang, ibuku mendesak agar aku segera menikah. Padahal saya kan belum punya calon. Mana ada yang mau sama aku Kang. Pengangguran, kerja serabutan, penghasilan pun seadanya. Apa ada yang mau sama saya?" kata Rasmin padaku. Ya tak disangka, Rasmin akan curhat sedalam itu kepadaku. Bicaranya cukup panjang pula, tak seperti biasanya. 

 

Mendengar itu, pusingku serasa hilang seketika. Dari permasalahan yang dialami oleh Rasmin, aku menemukan jawaban dan solusi atas permasalahanku yang membuatku pusing. 

 

"Ras, katanya kamu dulu sempat naksir sama Si Nurul?" kataku dengan cepat membuka pertanyaan. 

 

Mendengar itu Risman hanya tersenyum tanda mengiyakan. Aku tahu, Rasmin itu dulu pernah mengaku suka sama Nurul waktu kecil. 

 

"Tapi apa mau ia sama aku Kang? Lha wong ia baru saja pulang dari Arab. Pasti duitnya banyak, tak mau sama saya," kata Rasmin. 

 

"Mau, pasti mau. Nanti aku yang melamarkan menggantikan almarhum bapakmu," kataku dengan tegas dan mantap. 


Dan secepat kilat, besoknya aku ajak Rasmin berkunjung ke rumah Nurul menemui Markum bapak Nurul. Dengan tegas, aku pun mewakili keluarga Risman melamar Nurul, gadis berumur 35 itu untuk Rasmin. 

 

"Bagaimana Pak, apakah lamaran kami diterima?" tanyaku. 

 

"Kalau saya terserah dengan Si Nurul," kata Markum sambil menengok ke belakang. 

 

Dari balik tirai kamar belakang, Nurul menampakkan wajahnya seraya mengangguk kepada bapaknya, aku dan Rasmin. 

 

Rasmin menggenggam tanganku seraya mengucap terima kasih.

 

Namun, akulah yang sebenarnya berterima kasih pada Rasmin yang mau menikahi Nurul. Pasalnya sejak pulang dari Saudi, ada beberapa peristiwa antara aku dan Nurul yang tidak mungkin aku ceritakan kepada siapa pun.

 

Susanto, bekerja sebagai jurnalis, Ketua LTN NU Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, bergiat di sejumlah komunitas sastra.