Desa Patemon bergejolak. Desa yang terkenal adem ayem dan religius itu mendadak geger. Usut punya usut ternyata penyebabnya adalah perihal pemasangan poster gambar salah satu caleg yang terpampang di depan masjid. Diiringi pula bendera partai yang mengusung dia terpasang di sepanjang pagar masjid.
<>
Warga yang hilir mudik sehabis shalat shubuh di masjid mulai rasan-rasan membincangkan pemasangan poster caleg.
āWah, masjid kita telah disusupi partai,ā ujar salah seorang warga.Ā Ā Ā
āIya itu... masak masjid yang seharusnya harus jadi tempat ibadah malah dijadikan tempat kampanye,ā timpal yang lain.
Perbincangan seputar poster caleg semakin berkembang. Mereka bergerombol di warung seberang jalan masjid itu.
āSemalem ada mobil sedan dan mobil pick up yang parkir di dalam masjid,ā ujar Mbok Nah, si pemilik warung.
Sambil melayani pembeli, Mbok Nah melanjutkan ceritanya.
āSekitar jam sebelasan mereka keluar dari masjid. Mungkin sedang ada rapat. Pagi-paginya sudah kepasang gambar itu,ā lanjut Mbok Nah sambil menunjuk poster caleg itu.
āWah, nggakĀ beres ini,ā sahut orang-orang yang mendengar cerita Mbok Nah.
Perbincangan pagi tentang poster caleg di warung Mbok Nah berkembang menjadi desas-desus yang terus bergulir di masyarakat Patemon. Dari mulut ke mulut berita itu menyebar dengan beragam isu yang semakin menarik, bombastis, dan simpang siur.
Dari beragam isu yang yang berkembang di tengah masyarakat, isu tentang pemberian bantuan yang menjadi topik utama.
āYu, jarene masjid entok seket juta?ā ujar Painem yang sedang mencuci baju di kali.
āJare sopo awakmu, Nem?ā jawab teman nyuci Painem yang berbunyi pertanyaan.
āWong-wong iku, Yu.ā
āSak endi akeāe duwik sak mono iku yow?āĀ sahutnya dengan nada heran dan wajah melongo membayangkan seberapa banyaknya uang lima puluh juta.
Lain ibu-ibu lain pula bapak-bapak.
āEroh nggak awakmu Sur?ā teriak Parman dari atas pohon kelapa kepada Suryanto yang juga sedang nderes.
āOpo, Cak?ā
āMasjid disogok seratus juta oleh salah satu caleg.ā
āOh.. tahu saya, Kang. Bahkan saya dengar nanti orang-orang sehabis shalat isya mau ngelurugĀ ke ketua taāmir di masjid.ā
āWah rame berarti ntar malem, Sur?ā
āIya. Jangan sampai tidak hadir.ā
***
Tidak seperti biasanya. Jamaah shalat isya di masjid malam itu nampak penuh. Yang biasanya hanya sak lonjor sebelah depan saja makmum yang jamaāah untuk malam itu sampai meluber ke belakang. Bahkan setelah shalat isya selesai semakin ramai warga yang berkunjung. Laki-laki perempuan, tua muda, semua tumplek blekĀ di pelataran masjid.
āSeperti ada pengajian maulid Nabi yang mubalignya dari luar kota saja,ā komentar salah satu warga.
Setelah selesai shalat sunnah baāda isya, sang imam yang juga ketua takmir masjid desa Patemon di kerubung oleh para jamaah. Sebelumnya Pak Haji Dul Hamid, si ketua takmir, kebingungan melihat jamaah yang begitu banyak, namun setelah dijelaskan oleh salah satu pengurus takmir yang lain akhirnya paham.
āMemang benar masjid mendapat bantuan sebesar lima puluh juta dari caleg yang posternya terpampang di depan masjid,ā terang Haji Dul Hamid lansung pada pokok permasalahan.
āHuuu...ā teriak para hadirin.
āKenapa terus? Kan ini demi kebaikan masjid.ā
āBegini Pak Haji. Sebelumnya saya mohon maaf. Bukankah hal demikian termasuk risywah alias suap menyuap,ā ujar Durrahman, seorang ustad muda lulusan salah satu pondok terkemuka di Jawa Timur.
āJangan berpikir terlalu jauh!ā ujar Pak Haji.
āJika boleh diumpamakan hal ini seperti penyu. Daging penyu itu haram karena hidup di dua alam, tapi telurnya halal kan?ā
Hadirin mengangguk.
āBegitu pula politik. Memang mekanisme perpolitikan saat ini syubhat. Rentan dengan tindak korupsi, tapi uang yang diberikan oleh orang-orang partai kan belum tentu haram, iya kan? Persis kayak telur penyu tadi,ā pungkas Pak Haji.
āItu qiyas akal-akalannya Pak Haji,ā tandas ustad muda tadi.
āApa-apa yang diberikan dengan disertai sarat yang mengikuti selanjutnya dengan tujuan untuk menguasai salah satu pihak itu namanyaĀ suap. Barangsiapa yang menyuap maupun yang disuap sama-sama akan masukkan neraka,ā lanjutnya dengan menyitir salah satu hadist Nabi.
Suasan hening beberapa detik kemudian riuh kembali. Hadirin yang datang ke masjid terbelah dua, ada yang mendukung Pak Haji ada pula yang mendukung Ustad Muda.
āNggak usah naif toh kita juga bayar pajak. Jadi kita berhak untuk mendapat kembali uang yang telah dikorup oleh para politikus-politikus itu,ā ujar pendukung Pak Haji.
āBiarkan mereka saja yang masuk neraka, kita tidak usah ikut-ikutan masuk neraka,ā sahut pendukung Ustad muda.
āApa gunanya masjid mewah dan besar jika tidak semakin makmur, tapi malah tambah sepi karena dibangun dari uang yang tidak jelas halal haramnya,ā lanjutnya.
Debat kusir semakin seru antar dua kelompok. Pendukung Pak Haji tetap bersikukuh dengan pragmatisme kontekstual, sedangkan kelompok ustad muda juga tetap berpegang teguh dengan pemahamanĀ keagamaannya yang idealis formalistis.
Tiba-tiba seorang pemuda bangkit lalu mencoba menenangkan massa untuk memberikan kesempatan pada dirinya sendiriĀ menagar dapat mengemukakan pendapat.
āMaaf sebelumnya, setelah saya membaca dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali menjelaskan bahwa pemberian sesuatu oleh seorang atasan tidak pasti disebut dengan suap. Ada kriteria-kriteria tertentu yang menyebabkan demikian,ā jelasnya.
āApa itu?ā
āLebih lanjut Imam Ghazali menjelaskan jika pemberian tersebut dengan disertai harapan yang sifatnya tidak mengikat maka itu diperbolehkan, tetapi bagiĀ si penerima hukumnya adalah makruh syadidah.āĀ jawabnya.
āBerarti tidak haram dong?ā tanya yang lain.
āBenar. Tapi itu bisa haram apabila ada ikatan perjanjian untuk memperoleh sesuatu. Maka hukumnya sama dengan risywah dan haram.ā
āBerarti jika bantuan itu hanya bersifat sumbangan dan ada kampanye untuk mengimbau memilih salah satu calon maka hukumnya hanya makruh, tapi jika disertai dengan kontrak politik tertentu maka hukumnya haram, begitu?ā tanya yang lain.
āTepat. Sekarang tanyakan saja sama Pak Haji, apakah bantuan itu bersifat sumbangan saja ataukah ada kontrak politik untuk pemenangan salah satu calon?ā tanya si Pemuda.
Pak Haji yang sejak tadi menyimak dengan seksama apa yang dikatakan oleh si pemuda tetap duduk tenang . Sebelum Pak Haji menjawab tiba-tiba hujan deras mengguyur lebat. Warga yang tadi banyak di luar berduyun-duyun masuk ke masjid untuk berteduh. Sayang yang di dalam masjid pun sibuk pula mencari tempat untuk berteduh karena banyak atap masjid yang bocor.
āEhm..Ehm..Ehm..ā Pak Haji berdehem tiga kali sebagai tanda menenangkan hiruk pikuk hadirin.
āMasjid kita sudah tua, banyak genteng yang sudah bocor dan tembok-temboknya telah banyak yang rontok. Tapi dengan kondisi perekonomian kita saat ini, sulit sekali rasanya untuk merenovasi hanya dengan mengandalkan iuran dari kita sendiri. Oleh karena itu, maka apalah salahnya jika kita menerima sumbangan parti politik untuk membangun masjid yang kita cintai ini,ā terang Pak Haji diplomatis.
Warga terdiam mendengar curahan hati Pak Haji. Ketika urusan ekonomi dikedepankan tak ada lagi keteguhan prinsip. Seakan semua bertekuk lutut kepada uang. Argumentasi-argumentasi keagamaan harus berhenti jika dibenturkan dengan realita sosial-ekonomi.
Lambat laun seiring redanya hujan para pengujung sidang klarifikasi pemasangan poster caleg di depan masjid bubar satu persatu. Masjid pun menjadi sepi, hanya terdengar rintihan entah dari siapa asalnya, āAstagfirullahal adzimā
AYUNG NOTONEGORO, santri Pondok Pesantren Al-AnwariĀ Kertosri Banyuwangi, Jawa Timur. Aktif di Pimpinan Anak Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Kecamatan Banyuwangi Kota.ā
Terpopuler
1
Khutbah Jumat HUT Ke-80 RI: 3 Pilar Islami dalam Mewujudkan Indonesia Maju
2
Ketua PBNU Sebut Demo di Pati sebagai Pembangkangan Sipil, Rakyat Sudah Mengerti Politik
3
Khutbah Jumat: Kemerdekaan Sejati Lahir dari Keadilan Para Pemimpin
4
Khutbah Jumat: Refleksi Kemerdekaan, Perbaikan Spiritual dan Sosial Menuju Indonesia Emas 2045
5
Sri Mulyani Sebut Bayar Pajak Sama Mulianya dengan Zakat dan Wakaf
6
Khutbah Jumat Bahasa Jawa: Wujud Syukur atas Kemerdekaan Indonesia ke-80, Meneladani Perjuangan Para Pahlawan
Terkini
Lihat Semua