Daerah

3 Tantangan Beragama di Era Digital menurut Ketua PWNU Lampung

Rab, 13 September 2023 | 11:30 WIB

3 Tantangan Beragama di Era Digital menurut Ketua PWNU Lampung

Ketua PWNU Lampung H Puji Raharjo pada sebuah acara di Pondok Pesantren di Lampung. (Foto: Kemenag)

Metro, NU Online
Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Lampung H Puji Raharjo menyebut bahwa di era saat ini setidaknya ada tiga tantangan dalam kehidupan keagamaan. Pertama menurutnya adalah berkembangnya cara pandang, sikap, dan praktik beragama secara berlebihan yang mengesampingkan martabat kemanusiaan.


Di antara faktor penyebab munculnya fenomena ini menurutnya adalah perkembangan teknologi yang menjadikan manusia merasa gagap dan kering dalam jiwanya. Mereka kemudian lari ke agama sebagai solusi untuk menyelesaikan masalahnya dengan belajar agama melalui internet dan tanpa bimbingan guru atau kiai yang memiliki silsilah keilmuan jelas.

 

“Sehingga cara beragamanya ekstrem, sangat berlebih-lebihan,” ungkapnya pada Stadium General di IAIN Metro yang mengangkat tema Dakwah dalam Konteks Moderasi Beragama Bagi Generasi Z pada Rabu (13/9/2023).


Untuk mengatasi kondisi ini, maka menurutnya penting untuk menanamkan kepada umat Islam untuk menekankan dan mempraktikkan cara beragama yang mengedepankan esensinya, bukan casingnya atau kulitnya dalam kehidupan yang beragam.


Tantangan kedua adalah berkembangnya klaim kebenaran subjektif dan pemaksaan kehendak atas tafsir agama serta pengaruh kepentingan ekonomi dan politik yang bisa memicu konflik.

 

Hal ini diperburuk dengan sistem algoritma yang digunakan dalam teknologi internet yang mengarahkan dan menyuguhkan warganet kepada konten-konten yang serupa. Dengan sistem ini, maka pemahaman terhadap keberagaman dan tafsir agama seseorang akan sempit.

 

“(Algoritma) menjadikan pergaulan kita sempit. Kita tersesat di belantara medis sosial yang sangat luas yang menyebabkan klaim kebenaran subjektif,” jelas Kiai Puji yang juga Kakanwil Kementerian Agama Lampung ini.


Solusi dari fenomena ini menurutnya adalah dengan mengelola keragaman tafsir keagamaan dengan mencerdaskan kehidupan keberagamaan. Semua juga harus menyadari bahwa perbedaan tafsir menjadi sebuah keniscayaan yang disebabkan oleh perbedaan sudut pandang.


Tantangan yang ketiga adalah berkembangnya semangat beragama yang tidak selaras dengan kecintaan berbangsa dalam bingkai NKRI. Komunitas yang paling rentan terpapar paham ini menurutnya adalah para generasi Z.

 

Generasi Z saat ini menurutnya terlahir sudah pada zaman modern dan tidak merasakan bagaimana kesusahan yang dihadapi dalam memerdekaan bangsa Indonesia. Sehingga jika tidak diberikan pemahaman terkait nasionalisme dan terpapar informasi yang tidak benar di media, maka cara beragamanya bisa menafikkan kecintaan untuk memepertahankan bangsa.

 

“Terlebih saat ini dunia tanpa batas sehingga generasi Z bisa memahaminya sebagai warga global yang tak memiliki bangsa,” jelasnya.


Ia mengingatkan bahwa dalam beragama terdapat interaksi antara keyakinan kita dengan lingkungan di masyarakat terkait budaya dan berbagai aspek kemasyarakatan.

 

Solusi dari permasalahan ini adalah menyadarkan semua elemen tentang pentingnya memiliki sebuah bangsa dan mencintainya dengan penguatan Nasionalisme.