Daerah

Kartini Suburan, Nyai Hj Sa'adah Muslih

Sel, 21 April 2020 | 16:00 WIB

Kartini Suburan, Nyai Hj Sa'adah Muslih

Fisik dan wajah Umi Dah selalu terlihat segar dan cerah meski umur sudah terbilang udzur. (Foto: Muhammad Khozin)

Nyai Hj Sa'adah atau akrab disapa dengan panggilan 'Umi Dah' adalah istri KH Muslih Abdurrahman, Mranggen Demak, Jawa Tengah. Dikenal sebagai seorang yang tawadhu dan istiqomah, Umi Dah juga sosok yang disegani masyarakat dan santri di lingkungan Pondok Pesantren Suburan.
 
Dalam keseharian, Umi Dah berpenampilan sederhana. Jika diperhatikan, pakaiannya persis Nyai-nyai pada masa dahulu. Ia selalu kalem dengan warna putih-putih dan memakai kerudung khas panjang yang bentuknya seperti selendang. Di dalam kerudung-kerudung ini, Umi Dah melapisinya dengan dalaman (inner) untuk menutup sempurna bagian rambut. Begitu sehari-hari busana yang dikenakan, seperti foto dalam postingan ini.
 
Setiap kepanggih (berjumpa), fisik dan wajah Umi Dah selalu terlihat segar dan cerah meski umur sudah terbilang udzur. Aktivitasnya pun termasuk padat; ngaji bersama jamaah tarekat di Masjid An-Nur pada hari Kamis, dan ngaji bersama santri putri di ndalem secara rutin. Beberapa kitab yang diampu beliau yaitu Manaqib Nurul Burhany, Burdah, Tafsir al-Ibriz, Durotu an-Nasihin, Ta'lim Muta'alim, Risalatu al-Ma'ahid, serta kitab lainnya dengan metode sorogan.
 
Selain mengajar, Umi Dah juga menulis. Ia gemar mencatat dan membukukan pengetahuannya. Ini yang menjadikan Umi Dah termasuk sosok langka dan unik sebagai ulama perempuan. Beberapa judul karyanya yang telah dicetak adalah Durrotul Fawaid, Risalatu Atibba'i al-Qulub, ad-Dzikr al-Khushusy Ma'a al-Fiyyati al-Sholawati Ala Shohibi as-Syafa'ati, al-Bayan li Sholawati al-masnunah, dan Mukhul Ibadah. Kitab-kitab susunan Umi Dah ini umumnya tentang dzikir, shalawat dan amalan-amalan yang berhubungan dengan ketenangan hati.
 
Pada sebuah kata pengantar dalam kitabnya, Umi Dah mengaku sengaja menyusun kitab yang ringkas untuk memudahkan jamaah tarekat sebagai pegangan. Umi Dah dalam menyusun kitabnya menukil dari kitab-kitab lain dan berdasarkan keterangan yang didapat dari pengajian dengan KH Muslih, baik mengaji secara umum bersama jamaaah lain maupun secara khusus. Salah satu motivasi menulis sepertinya didapat juga dari suaminya sendiri. KH Muslih dalam hal ini termasuk kiai yang produktif menulis dan menghasilkan banyak karya dalam berbagai bidang keilmuan Islam.
 
Atas kiprah dan pengabdiannya ini, Umi Dah mendapat apresiasi khusus dari Kementrian Agama RI. Pada tahun 2015 ia mendapatkan penghargaan atas jasa dan prestasinya sebagai perawat tradisi sufi di lingkungan pondok pesantren, khusunya pondok pesantren putri di bawah naungan Pondok Pesantren Futuhiyyah, Suburan, Mranggen, Demak.
 
Umi Dah termasuk yang diseniorkan oleh Nyai-nyai di Mranggen. Kharismanya terasa dalam memimpin jamaah tarekat putri. Dulu hingga sampai sekarang, jika tiba waktu acara Manaqib Kubro, acara yang khusus diperuntukkan untuk jamaah putri, hal pertama yang diingat oleh orang-orang adalah sosok Umi Dah dan turunnya hujan sesaat setelah selesainya acara tersebut. Entah bagaimana ini telah menjadi rahasia umum.
 
Umi Dah wafat pada tanggal 7 Jumadil Awal 1437 H atau 15 Februari 2016. Sebelum beliau wafat, saya bersama teman-teman berkesempatan membesuk di rumah sakit. Saya merekam dengan baik suasana di ruang VIP tersebut. Masih segar dalam ingatan pemandangan yang teduh; layar TV menampilkan tayangan di Makkah al-Mukarramah. Di pojok-pojok ruangan tempat meletakkan buku terlihat kitab Manaqib Nurul Burhany, ada juga Hizib Rasul dan kitab-kitab kecil lainnya. Yang menandakan meski sedang sakit, Umi Dah masih ajeg mendaras kitab-kitab tersebut.
 
Ternyata persuaan tersebut adalah yang terakhir kali setelah sebelumnya beberapa kali menabung kesan 'berinteraksi' dengan beliau. Berbeda dengan santri ndalem yang selalu berinteraksi, singkat dan sedikit saja saya memiliki kesan tentang Umi Dah. Akan tetapi, kesan kecil itu cukup mengesankan. Cukup sebagai pengingat untuk kirim doa setiap malam Jumat, cukup untuk mengenang dan berusaha meniru laku kebaikan-kebaikan beliau.

Penulis: Muhammad Khozin
Editor: Kendi Setiawan