Nasional HARI KARTINI

'Hilda' Ingin Berdayakan Perempuan dan Perjuangkan Keadilan Gender

Sel, 21 April 2020 | 08:00 WIB

'Hilda' Ingin Berdayakan Perempuan dan Perjuangkan Keadilan Gender

Sampul novel 'Hilda' karya kader Fatayat NU Yogyakarta, Muyassaratul Hafidzoh. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Sejak diluncurkan beberapa bulan lalu, Hilda, sebuah novel karya kader Fatayat NU Yogyakarta, Muyassaratul Hafidzoh, terus diperbincangkan. Salah satunya melalui jagongan online yang disiarkan langsung melalui akun Instagram @perempuanbergerak dan akun penulis novel Hilda @muyassaroh_h, Senin (20/4) kemarin.
 
Menyambut hari lahir Pahlawan Nasional Raden Ajeng Kartini tiap 21 April, novel berjudul lengkap Hilda: Cinta, Luka, dan Perjuangan itu terus ingin memberdayakan perempuan dan memperjuangkan keadilan gender.
 
Penulis novel Hilda, Muyassarotul Hafidzoh, mengatakan sebelumnya juga dilakukan bedah novel via grup WhatsApp dua hari berturut-turut. Pesertanya tiap grup lebih dari 200 berasal dari berbagai daerah.
 
"Bahkan, ada dari luar negeri juga seperti Malaysia, Hong Kong, dan Singapura. Mereka ibu-ibu TKW," ujar Muyas kepada NU Online melalui telepon seluler, Senin (20/4).
 
Menurut Muyas, sapaan akrabnya, jagongan online semalam lebih daripada menulis sastra. Tapi, perspektif mubadalah. Para peserta banyak yang bertanya bagaimana caranya. Lalu, misi apa yang dibawa dalam novel Hilda.
 
"Susah tidak memasukkan teori ke dalam novel. Biar orang tidak kerasa kalau dia baca novel. Akan tetapi, juga dapat perspektif keadilan gender. Dan, beberapa pertanyaan lain yang tak kalah serunya," ungkap pengurus PW Fatayat NU DIY ini.
 
Sebagaimana diketahui, Hilda merupakan novel yang berangkat dari cerita bersambung (cerbung). Awalnya, cerbung itu ditayangkan secara berkala oleh penulisnya dalam website Fatayat NU Daerah Istimewa Yogyakarta. Kebetulan penulis menjadi salah satu pengelola web tersebut. 
 
 
 
 
Diskusi yang berlangsung seru ini dimoderatori Nila Zuhriah, mahasiswi Jurusan Sastra Arab Fakultas Adab UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Dalam memandu acara itu, Nila memiliki sejumlah catatan. 
 
"Menurut saya, karya Mbak Muyas sangat patut diapresiasi. Melihat kondisi sekarang semakin marak kekerasan seksual. Tapi, lingkungan sosial masih banyak yang belum paham perspektif korban," kata dia.
 
Novel Hilda yang berhasil dikemas dengan renyah, lanjut Nila, bisa jadi alat edukasi yang ringan untuk membangun perspektif korban dan juga perspektif mubaadalah.
 
"Menurut saya, topik paling menarik yang diangkat Muyas adalah soal kekerasan seksual dan khazanah pesantren. Jadi, pesantren diharapkan bisa menjadi rumah yang aman untuk korban-korban kekerasan seksual," ujarnya.
 
Berdayakan Perempuan
Dalam sesi tanya jawab, Wiga L Hilda, seorang warganet, langsung memberi apresiasi. Sangat menarik, kata Hilda. "Tapi, sebelum masuk ke sesi diskusi tolong beritahu kami, alasan apa yang membuat novel ini sangat layak dibaca setiap perempuan Indonesia?" tanyanya.
 
Muyas kemudian menimpali, niat awal menulis novel Hilda bukan sekedar ingin menghadirkan sebuah cerita fiktif. "Namun, saya membawa misi pemberdayaan perempuan. Isu yang saya angkat adalah kekerasan seksual, di mana ketika perempuan mengalaminya," kata dia.
 
Faktanya, lanjut Muyas, yang terjadi justru salah perempuan karena dia terlalu cantik atau salah dalam berpakaian. Ketika melaporkan kejadian pelecehan seksual yang terjadi adalah ketika perempuan itu tidak hamil maka bisa dianggap melakukan fitnah. 
 
"Jika hamil, seolah ia melakukan zina. Perempuan juga lemah menghadirkan bukti dan saksi. Setelah membaca novel ini, insyaallah kita akan paham bagaimana cara kita ketika saudara, teman, tetangga bahkan diri kita jika mengalami hal demikian," ungkap perempuan asal Cirebon ini.
 
"Novel ini, insyaallah mengajari kita bagaimana menjadi orang tua, guru, aparatur negara, tokoh masyarakat yang memperlakukan perempuan dengan baik. Mengambil testimoni Ibu Nyai Sintho Nabila Magelang bahwa novel ini membuka mata kepekaan pembaca untuk menjadikan perempuan sebagai manusia seutuhnya," sambungnya.
 
Pewarta: Musthofa Asrori
Editor: Kendi Setiawan