Nasional

Antisipasi Meningkatnya KDRT di Masa Pembatasan Sosial  

Ahad, 19 April 2020 | 10:15 WIB

Antisipasi Meningkatnya KDRT di Masa Pembatasan Sosial  

Asesmen yang dilakukan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) di 111 komunitas menemukan adanya 86 kasus kekerasan. Jumlah ini bisa jauh lebih besar karena fenomena kekerasan dalam rumah tangga seperti gunung es yang hanya tampak kecil di permukaan. (Ilustrasi)

Jakarta, NU Online
Hingga saat ini, Indonesia menjadi salah satu negara dengan kasus kematian tertinggi di Asia Tenggara akibat Covid-19, dengan tingkat kematian (Case Fatality Rate/CFR) mencapai 8,7 persen.
 
Pemerintah telah mengupayakan pencegahan penyebaran Covid-19 melalui kebijakan pembatasan sosial dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang telah diterapkan di sebelas wilayah di Indonesia. 

Pandemi Covid-19 ini juga menyoroti dan memperbesar ketidaksetaraan serta berbagai bentuk diskriminasi yang dihadapi oleh perempuan dan anak perempuan. Pandemi telah bergerak melampaui krisis kesehatan global dan telah berubah menjadi krisis pasar tenaga kerja, krisis sosial dan ekonomi, yang menimbulkan ancaman serius terhadap pekerjaan dan mata pencaharian perempuan, terutama di sektor informal dan non-esensial.
 
Fakta mengerikan yang harus dihadapi pada masa karantina mandiri saat ini adalah adanya tren peningkatan angka kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan dan anak yang terjadi secara global. Di Tunisia terdapat peningkatan laporan kekerasan terhadap perempuan sebanyak lima kali lipat setelah lima hari diberlakukannya karantina diri.
 
Peningkatan kekerasan dalam rumah tangga sebesar 40‐50 persen juga terjadi di Spanyol semenjak diberlakukannya isolasi mandiri, begitu juga di Katalan (Spanyol), terjadi peningkatan hingga 20 persen.

Sekjen PBB António Guterres menyatakan, bahwa pandemi ini semakin memperdalam ketidaksetaraan yang sudah ada sebelumnya, mengekspos kerentanan sosial, politik dan sistem ekonomi yang pada gilirannya memperburuk dampak pandemi. Ketika pandemi Covid-19 memperdalam tekanan ekonomi dan sosial ditambah dengan pembatasan pergerakan dan isolasi sosial, kekerasan berbasis gender meningkat secara eksponensial.
 
Banyak perempuan terpaksa 'terisolasi' di rumah dengan pelaku kekerasan dan pada saat yang sama, layanan untuk mendukung para penyintas, terganggu atau tidak dapat diakses. 
 
Dalam kegiatan INFID Webinar Series pertama yang diselenggarakan oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Dian Kartikasari, Ketua Dewan Pengurus INFID dan Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) 2009-2020 menyatakan bahwa masa isolasi mandiri sangat berpotensi menciptakan peluang konflik dalam rumah tangga.
 
"Pada kondisi normal, kegiatan keluarga lebih banyak dilakukan di luar rumah, sehingga memperkecil tingkat interaksi dan konflik dalam rumah tangga," kata Dian.
 
Lebih lanjut Dian menyatakan asesmen yang dilakukan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) di 111 komunitas menemukan, adanya 86 kasus kekerasan yang terjadi. Menurutnya, jumlah ini bisa jauh lebih besar karena fenomena kekerasan dalam rumah tangga seperti gunung es yang hanya tampak kecil di permukaan.
 
Dian menyampaikan bahwa kasus kekerasan yang dialami perempuan saat ini sangat beragam mulai dari kekerasan fisik, psikis dan seksual. Salah satu kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan kepala keluarga di masa pandemi ini adalah percobaan perkosaan saat berlangsung penyemprotan desinfektan. Perempuan kepala keluarga sudah seharusnya mendapat perhatian lebih di masa pembatasan sosial.
 
"Usaha promotif dengan memaknai pembatasan sosial sebagai hal yang positif, usaha preventif, responsif dan rehabilitatif menjadi penting dalam memperbaiki keadaan," tuturnya.   
 
Sementara Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan mengatakan, sebelum terjadi pandemi, sepanjang 2019 terdapat 75,4 persen atau 11.105 kasus kekerasan di ranah privat dari jumlah total 14.719 kasus kekerasan terhadap perempuan.
 
Lebih lanjut Ami menyatakan, pembatasan sosial yang dilakukan pemerintah telah berimbas pada terbatasnya layanan seperti penutupan Rumah Singgah maupun Rumah Aman, yang menyebabkan korban tidak tahu harus berlindung ke mana. 
 
"Selama masa pandemi, pendampingan terhadap korban kekerasan terus dilakukan oleh Komnas Perempuan secara online. Laporan kekerasan terhadap perempuan akan ditindaklanjuti berdasarkan kebutuhan korban. Jika terkait dengan penanganan kasus litigasi, Komnas Perempuan akan memberi rujukan ke LBH APIK dan jika korban membutuhkan pemulihan psikologis maka akan dirujuk ke Yayasan Pulih," sebut Ami.
 
Ami juga meminta pemerintah untuk tetap memastikan akses layanan inklusif dalam pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan. Penyebaran informasi berperspektif gender juga diperlukan untuk memastikan adanya pembagian kerja setara antara laki-laki dan perempuan di ranah domestik, khususnya selama masa pembatasan sosial.
 
Editor: Kendi Setiawan