Daerah HARI SANTRI 2019

KH Abdul Hadi Muthohar, dari Santri Hingga Mursyid Tarekat 

Sen, 21 Oktober 2019 | 04:30 WIB

KH Abdul Hadi Muthohar, dari Santri Hingga Mursyid Tarekat 

Prof DR Syaikh Abdul Hadi Muthohar, MA bersama istri. (Foto: NU Online/A Rifqi H)

Demak, NU Online
Mengenal santri hanya dalam ciri fisik sebagai kaum sarungan atau bahkan dianggap bagian dari umat yang terbelakang karena jauh dari budaya modern bukanlah suatu yang tepat. 
 
Perlu diketahui, Nusantara ini sejatinya memiliki entah berapa banyak santri yang potensial di berbagai bidang, satu di antaranya adalah Prof DR Syaikh Abdul Hadi Muthohar, MA. 
 
Yang bersangkutan merupakan mursyid tariqah Qadiriyah wan Naqsyabandiyah yang lahir di Mranggen, Demak, Jawa Tengah. Perjalan hidupnya sebagai santri, mahasiswa, dosen, guru besar dan mursyid tarekat menunjukkan dinamika santri yang mampu beradaptasi dengan berbagai kondisi lingkungan. 
 
Menurut salah satu putranya, Muhammad Balya Hadining atau biasa disapa Gus Balya, Abah Hadi, panggilan KH Abdul Hadi Muthohar pernah melakukan publikasi beberapa karya ilmiah, di antaranya berjudul Pengaruh Mazhab Syafii di Asia Tenggara: Fiqih dalam Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan di Indonesia, Brunei, dan Malaysia (2003). Juga Thariqat Qodiriyah wan Naqsabandiyyah di Kalimantan Timur: Kajian Perkembangan Organisasi Kaum Sufi dari Aspek Perspektif Historis (2009). Demikian pula Komisi Yudisial (2010), Metodologi Hukum Islam (2011), dan sebagainya.
 
Menilik sekilas pandang pada riwayat pendidikannya, seperti sang ayah, almaghfurlah Syaikh Ahmad Muthohar bin Abdurrohman (Mbah Mad), Abah Hadi juga merupakan produk Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak. Bedanya, sekolah formalnya sejak Madrasah Ibtidaiyah (1966), Madrasah Tsanawiyah (1969), dan Madrasah Aliyah (1972) yang ada di bawah Yayasan Futuhiyyah.
 
Sedangkan Mbah Mad hanya mengikuti pendidikan formal di Sekolah Rakyat. 
Abah Hadi mendapatkan Bachelor of Arts (BA) sebagai Sarjana Muda di Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang (sekarang Universitas Islam Negeri) setelah menulis risalah berjudul Komparatif Delik Pencurian dalam KUHP dan Hukum Islam pada tahun 1977. 
 
Tidak berhenti di situ, ia kembali ke bangku kuliah dan menyempurnakan sarjana strata satu dengan gelar doctorandus (Drs) pada tahun 1980 dengan skripsi berjudul Pandangan Hukum Islam terhadap Seni Rupa.
 
Karir pendidikannya mulai meroket di tahun 1988, setelah lulus tes beasiswa dari Departemen Agama untuk jenjang Program Pascasarjana (Strata 2) di IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di kampus tersebut, mendapat gelar Master of Arts (MA) di Tahun 1992 dengan tesis yang berjudul Prof KH Saifuddin Zuhri dan Pemikiran Teologi. Usai itu, ia langsung mendaftarkan diri pada program Strata 3 di kampus yang sama. 
 
Abdul Hadi lahir dan besar di pesantren dengan kultur NU yang kuat. Menariknya, saat NU masih minim yang menjadi sarjana, mendapatkan gelar doktor setelah berhasil mempertahankan disertasi berjudul Fiqih Mazhab Syafi'i dalam Undang-undang Pekawinan di Indonesia, Brunei, dan Malaysia pada tahun 2001
 
Tidak mencukupkan pada titik tersebut, ia melakukan perjalanan ke beberapa negara untuk keperluan penelitian, seperti Malaysia dan Brunei Darussalam pada tahun 1995-1996 dan 2003 serta di Mesir pada tahun 2003.
 
Perjalanan hidupnya sebagai mahasiswa rupanya tidak melunturkan tradisinya sebagai santri, saat ini, Abah Hadi meneruskan peran Mbah Mad mendidik santri, sebagai Pengasuh Pesantren Darul Ma'wa (dulu Pesantren Futuhiyyah kompleks ndalem) yang mengajarkan kitab-kitab pada para santri, baik secara sorogan maupun bandongan. 
 
Juga menyelenggarakan tawajuhan tarekat bersama pengasuh Pesantren Futuhiyyah, KH Hanif Muslih maupun sendiri. Ia pernah diamanahi sebagai Wakil Mudir Aam Idarah Ulya Jam'iyyah Ahlit Thariqah Mu'tabarah an Nahdliyyah (Jatman) dan sekarang menjadi pembina sebuah lajnah, yakni Mahasiswa Ahlut Thariqah Mu'tabarah An Nahdliyyah. 
 
 
Pewarta: A Rifqi H
Editor: Ibnu Nawawi