Jombang, NU Online
Almaghfurlah KH M Sulthon Abdul Hadi merupakan contoh sosok kepala madrasah yang sabar dan istiqamah dalam membimbing siswa-siswinya. Senakal apapun sang murid, ia masih mendoakan yang terbaik buat anak didiknya. Sifat inilah, yang terus melekat pada ingatan orang di sekitarnya.
Kiai Sulthon tercatat pernah menjadi kepala Madrasah Muallimin Muallimat 6 Tahun Bahrul Ulum pada tahun tahun 1999, menggantikan KH Abdul Jalil yang meninggal dunia setahun sebelumnya, jabatan tersebut berlangsung hingga tahun 2010. Dan digantikan KH Abdul Nastir Fattah hingga sekarang, sedangkan Kiai Sulthon kembali menjadi guru biasa.
"Kiai Sulthon itu sosok yang alim, dan istiqamah dalam mendidik siswa-siswinya. Hal ini diakui banyak orang. Selain itu, kitab-kitab yang diajarkannya merupakan kitab besar seperti Fathul Wahab di Muallimin Muallimat Atas Bahrul Ulum. Bahkan hingga sebelum sakit, kiai masih ngajar," jelas Ketua Yayasan Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, KH Wafiyul Ahdi, Jumat (23/11).
Kiai Sulthon lahir di Desa Bangsri, Jepara pada tahun 1951 lalu. Ia termasuk sosok yang supel, cerdas, alim dan humoris. Kemahirannya dalam menguasai bahasa asing (Arab-Inggris) dan kitab kuning merupakan kelebihan tersendiri yang melekat padanya. Karena jarang sekali ada santri pesantren salaf yang bisa berbahasa Inggris.
"Kiai Sulthon pernah menemukan surat berbahasa Inggris yang dikirim kan seseorang kepada keponakan perempuannya. Mungkin tujuannya agar tidak ada tahu. Tapi salah dugaan, akhirnya sang pria malu sendiri," bebernya.
Pendidikan terakhirnya di Perguruan Islam Mathali'ul Falah (PIM) Kajen, Pati, Jawa tengah di bawah bimbingan KHMA Sahal Mahfudh. Pada tahun 1975 saat usia 24 tahun, Kiai Sulthon mengabdikan diri di Madrasah Muallimin Muallimat Atas (MMA) dan fokus pada materi Fiqih dan Ushul Fiqih.
Kiai Sulthon adalah sosok kepala madrasah dan guru yang sederhana, ini tampak saat bepergian sering menyopiri sendiri kendaraanya. Namun di balik itu semua, Kiai Sulthon merupakan pribadi yang tekun belajar. Biasanya setiap pukul satu malam bangun untuk belajar dan lanjut shalat tahajud serta mendoakan santrinya.
"Di luar aktifitasnya sebagai pengajar dan pendidik, Kiai Sulthon juga seorang organisatoris dan muballigh ulung, dalam menyampaikan pesan selalu runtut dan sistematis dan tak jarang sisipan humor mewarnai setiap kali naik panggung. Ceramahnya tidak panjang tapi padat," beber Kiai Wafi.
Ketekunan Kiai Sulthon dalam mengajar dan mendidik, menjadikannya mendapat amanah yang lebih besar. Pada tahun 1980, diminta oleh beberapa wali murid untuk membina dan mengasuh santri-santri usia dini di kediamannya. Dan baru setahun kemudian ia mendirikan asrama Al-Hikmah Bahrul Ulum. Setelah mendapat restu dari mertuanya KH Abdul Fattah Hasyim.
"Kesibukan beliau tentu bertambah, namun demikan aktifitas mengajar tetap menjadi konsentrasi beliau. Di rumahnya banyak santri yang masih kanak-kanak, spesialisnya di sana. Beda sama asrama yang lain. Pada tahun 1992-1997, ia terpilih menjadi Rais Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jombang dan terpilih kembali hingga tahun 2005," papar Kiai Wafi.
Sifat kecintaan pada generasi muda ternyata bukan hanya di madrasah saja. Hal ini juga terlihat saat kembali ke keluarga. Pernyataan ini disampaikan oleh sang istri bernama Masruroh.
Dikatakannya, selama menikah ia tak pernah melihat sang suami kasar pada sang anak.
"Selalu saya ingat, selama menikah tidak pernah melihat suami saya kasar pada anak. Tapi tanpa dikasari saja anak-anak sudah manut sama abahnya, sekali perintah langsung dikerjakan. Sabarnya sangat luar biasa," tambahnya.
Kiai Sulthon wafat pada tanggal 22 Oktober 2018 di Malang dan meninggalkan seorang istri dan empat anak. Ia meninggal setelah mengalami kompilasi berbagai penyakit. Ia dimakamkan disamping mertuanya KH Abdul Fattah Hasyim. (Syarif Abdurrahman/Muiz)