Daerah

Laki-laki Perlu Menyadari Isu Biologis dan Sosial Perempuan

Jum, 25 Desember 2020 | 16:45 WIB

Laki-laki Perlu Menyadari Isu Biologis dan Sosial Perempuan

Dalam isu sosial, ada lima hal yang dialami perempuan, yaitu stigmatis​​​​asi, subrodinasi, marjinalisasi, kekerasan, dan beban ganda.

Yogyakarta, NU Online
Dalam realita sosial, perempuan sering mendapat perlakuan diskriminatif, baik dalam konsep agama, konsep kebijakan negara, konsep kearifan sosial, bahkan dalam konsep teori ilmiah. Untuk mewujudkan kemaslahatan secara objektif pada perempuan, harus memperhatikan perempuan sebagai isu, prespektif dan sebagai subjek perubahan.

 

Perempuan sebagai isu memiliki dua hal yang khas dan tidak dialami oleh laki-laki, yaitu dalam isu biologis dan isu sosial.

 

"Ada dua hal penting yang harus diperhatikan terhadap perempuan, baik dalam isu biologis maupun isu sosial," kata Rofiah dalam Webinar Perempuan Berdaya, Berkarya, dan Melek Media yang diadakan Fatayat NU DI Yogyakarta, Kamis (24/12).


Menurut Rofiah, dalam isu biologis ada lima hal yang harus diperhatikan; yaitu perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Dalam kelima pengalaman khas biologis ini, perempuan merasakan sakit yang tidak dialami laki-laki. Sementara pemegang kebijakan didominasi oleh laki-laki, sehingga tidak jarang kebijakan bersifat subjektif dan kurang memperhatikan kemaslahatan bagi perempuan. 


"Apa yang umum (di masyarakat) biasanya (hanya) dalam perspektif maskulin, laki-laki. Sementara lima pengalaman biologis ini laki-laki sama sekali tidak mengalami," ujarnya.

 

Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an (PTIQ) itu mengungkapkan karena tidak mengalaminya sangat mungkin kaum lelaki tidak mengetahui. "Tahu sakit tapi tidak meraskan sakitnya itu seperti apa. Karena tidak mengetahuinya, maka sangat mungkin menganggapnya tidak ada. Karena menganggapnya tidak ada, sangat mungkin tidak mempertimbangkan ini," lanjutnya.

 

Sementara dalam isu sosial, ada lima hal yang dialami perempuan, yaitu stigmatis​​​​asi, subrodinasi, marjinalisasi, kekerasan, dan beban ganda.

 

Rofiah membagi level kesadaran kemanusiaan terhadap perempuan ke dalam tiga tingkatan, yaitu level terendah, menengah dan level tertinggi. Dalam level tertinggi, perempuan belum dianggap sebagai manusia. Dalam prespektif ini manusia hanyalah sosok laki-laki. Laki-laki menjadi subyek tunggal, sedangkan perempuan hanya objek dalam sistem kehidupan, sehingga implikasinya adalah kemaslahatan hanya berpihak pada laki-laki.


Pada level menengah, perempuan sudah dianggap sebagai manusia, tetapi standar kemanusiaan hanya pada laki-laki. Perempuan adalah manusia kecuali pengalamannya, baik pengalaman biologis maupun sosial. Laki-laki adalah subyek primer dalam sistem kehidupan, sementara perempuan merupakan subyek sekunder.

 

"Pengalaman khusus biologis dan sosial perempuan masih belum diperhatikan, sehingga kemaslahatan masih berpihak pada laki-laki," ujarnya.


Pada level tertinggi, laki-laki dan perempuan adalah manusia dan memiliki standar kemanusiaan setara. Pada level ketiga ini perempuan sudah mendapatkan perlakuan adil dalam pengalaman khusus yang dimilikinya, baik secara biologis maupun sosial. Implikasinya adalah kemaslahatan sama-sama dinikmati baik oleh laki-laki maupun perempuan.

 

Perempuan sebagai subyek perubahan
Perempuan harus didudukkan sama dalam berperan dan menciptakan kemajuan di berbagai sistem kehidupan. Baik sistem keluarga, sistem organisasi, sistem masyarakat, sistem negara, sistem dunia, dan bahkan sistem akhirat.

 

Secara periodik, Rofiah menjelaskan peran perempuan dalam tantangan zaman. Diawali pada era pertama, revolusi industri satu dengan karakter mekanisme industri yang menggunakan mesin bertenaga air dan uap. Kedua, revolusi industri dua dengan karakter produksi masal melalui lini perakitan dan tenaga listrik. Ketiga, revolusi industri tiga dengan karakterotomasi proses produksi dengan komputer.

 

Keempat, revolusi industri empat dengan karakter sistem cerdas dan autonomous yang saling terhubung, menyatukan dunia nyata dan virtual. "Revolusi terkhir adalah yang sedang kita hadapi hari ini," ungkapnya.

 

Rofiah berpesan kepada kader Fatayat NU untuk menegakkan seadil-adilnya hak-hak perempuan. Jangan biarkan diskriminasi gender tumbuh subur.

 

"Saya boleh nitip ya pada Fatayat supaya bisa mendorong Fatayat NU dan bahkan lembaga induknya yaitu Nahdlatul Ulama, untuk memberi perhatian khusus pada pengalaman biologis perempuan agar difasilitasi, dipertimbangkan dalam konsep kemaslahatan dalam fatwa-fatwanya, dan memberi perhatian khusus pada kerentanan perempuan secara sosial dalam pengalaman kezaliman gender​​​​​​​ agar kebijakan dan fatwanya tidak mengandung pada kezaliman gender terhadap perempuan," pungkas wanita yang menyelesaikan magister di Universitas Ankara, Turki  itu.

 

Kontributor: Muhamad Abror
​​​​​​​Editor: Kendi Setiawan