Daerah

Penjelasan KH Azaim Ibrahimy soal Al-Qur’an Kuno di Bali yang Tak Cantumkan Surat Al-Ikhlas

Sen, 27 Februari 2023 | 19:30 WIB

Penjelasan KH Azaim Ibrahimy soal Al-Qur’an Kuno di Bali yang Tak Cantumkan Surat Al-Ikhlas

Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo, Jawa Timur KHR Ahmad Azaim Ibrahimy saat hadir di Masjid Jami Agung Singaraja Buleleng, Bali pada Rabu pekan lalu. (Foto: NU Online/Abdul Karim)

Buleleng, NU Online

Kehadiran Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo, Jawa Timur KHR Ahmad Azaim Ibrahimy di Masjid Jami Agung Singaraja Buleleng, Bali pada Rabu pekan lalu menjawab keganjilan pada Al-Qur’an kuno yang tersimpan di masjid tersebut.


Pengurus masjid menunjukkan kepada Kiai Azaim mushaf Al-Qur’an tulisan tangan sekitar tahun 1820 Masehi atau telah berusia dua abad. Mushaf kuno ini diyakini ditulis oleh I Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi, keturunan I Gusti Anglurah Ki Barak Panji Sakti, pendiri kerajaan Buleleng.


“Yang masih mengganjal kami Pak Yai, di Al-Qur’an kuno ini semua surat ditulis kecuali satu surat yang tidak ada, surat Al-Ikhlas,” ungkap Muhamad Reza Yunus, Sekretaris Takmir Masjid Jami Agung Singaraja.


Kiai Azaim pun meminta kepada pengurus takmir untuk membuka mushaf tersebut di halaman paling akhir. 


Sambil Kiai Azaim memperhatikan setiap tulisan di halaman terakhir, Reza menjelaskan bahwa ada beberapa peneliti yang berasumsi tidak adanya Surat Al-Ikhlas di mushaf kuno ini karena untuk menjaga perasaan saudara agama lain, mengingat di surat tersebut menjelaskan ketauhidan.


Tiba-tiba Kiai Azaim menemukan tulisan pembatas antara surat satu dengan yang lainnya, yang ditulis dengan warna merah, atau tepatnya setelah surat Al-Lahab.


“Dugaan sementara, beliaunya (penulis Mushaf) akan menuliskan surat Al-Ikhlas, karena sudah dicantum di sini, bahkan disebutkan arbaah ayat makkiyah, tapi penulisnya langsung menulis ayat Al-Falaq,” jelas Kiai Azaim.  


Masih menurut Kiai Azaim, penulisnya bukan sengaja untuk menghilangkan Surat Al-Ikhlas, tapi karena terjadi kesalahan atau kelupaan sehingga langsung menulis ke surat berikutnya. Sebab, jika memang sengaja, tidak mungkin ada penjelasan kalimat pembatas antar surat, dimana di sana jelas menyebut Surat Al-Ikhlas berjumlah 4 ayat, namun isinya Al-Falaq yang berjumlah 5 ayat.


Penjelasan Kiai Azaim ini, menurut Reza, lebih bisa diterima dari pada asumsi para peneliti sebelumnya. “Kita selama ini tidak pernah memperhatikan tulisan pembatas antar surat berwarna merah itu, dan alhamdulillah Kiai Azaim secara tidak terduga bisa menjawab keganjilan kami,” terang Reza.


Untuk diketahui, kisah masuknya Islam I Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi setelah terjadi peperangan internal keluarga kerajaan. Saat itu, ia yang masih kecil menyelamtakan diri dan sembunyi di Masjid Keramat Kampung Kajanan. 


Kemudian ia diselamatkan dan diangkat anak oleh Syech Muhammad Yusuf, seorang guru agama setempat, yang diketahui berasal dari Makassar. I Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi belajar mengaji dan agama langsung ke ayah angkatnya. Konon zaman itu, untuk dinyatakan lulus ngaji, harus menuliskan Al-Qur’an secara utuh.


Al-Qur’an kuno yang kini menjadi cagar budaya ini memiliki keunikan, bukan hanya tulisan tangan dengan huruf Arab, tapi juga dipadukan dengan ukiran khas bali Patra Timun. Sampulnya menggunakan bahan kulit lembu, dan tintanya diambil dari pepohonan yang banyak tumbuh di sekitar masjid Keramat Kajanan saat itu.


Sebagai informasi, kehadiran Kiai Azaim ke Masjid Jami Agung Singaraja dalam rangka pengajian dan pengukuhan Majelis Ratibul Haddad Masyarakat Muslim Bali untuk wilayah Kecamatan Buleleng dan Kecamatan Banjar. Kegiatan ini juga menjadi rangkaian safari dakwah cucu Pahlawan Nasional KHR As’ad Syamsul Arifin tersebut selama 3 hari di Pulau Dewata.


Kontributor: Abdul Karim Abraham

Editor: Fathoni Ahmad