Daerah

Pentolan IPNU Jember Manfaatkan Burung Hantu Basmi Tikus Sawah

Kam, 31 Oktober 2019 | 11:00 WIB

Pentolan IPNU Jember Manfaatkan Burung Hantu Basmi Tikus Sawah

Tri Harijono, petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di kawasan Jember. (Foto: NU Online/Aryudi AR)

Jember, NU Online 
Tidak ada yang paling membanggakan bagi seorang Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) kecuali meningkatnya produksi pertanian. Sebab, tugas pokok penyuluh adalah meningkatkan produksi pertanian. Namun hal itu bukan sesuatu yang mudah karena berkelindan dengan perilaku petani. Untuk mengubah pola pikir petani sesuai dengan pakem yang diinginkan, butuh waktu dan butuh pendekatan terus menerus.
 
“Memang harus mengubah pola pikir mereka (petani) dulu, karena yang punya sawah dan mau bekerja ya mereka,” ucap penyuluh, Tri Harijono kepada NU Online di kediamannya, Dusun Semboro  Kidul, Desa/Kecamatan Semboro, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Rabu (30/10).
 
Tri Harijono lahir di Jember 10 Oktober 1972. Setelah menamatkan SMP di Tanggul (Jember), Tri, sapaan akrabnya, melanjutkan ke SMTP (Sekolah Menengah Teknologi Pertanian). Lembaga yang sekarang berganti nama menjadi SMKN 5 Jember tersebut memang  merupakan sekolah favorit untuk bidang pertanian. Dan sudah banyak alumninya yang sukses di bidang pertanian, baik sebagai pengusaha, petani maupun direktur perusahaan.
 
Mantan pentolan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Kecamatan Tanggul, Jember itu menyatakan memang sudah bertekad untuk mengabdikan hidupnya di sawah sebagai penyuluh. Kebetulan dia mendapat tugas di dua desa sekaligus. Yaitu Gemular dengan luas lahan pertanian 398 hektar, dan Curahlele yang luas lahannya mencapai 518 hektar. Kedua desa tersebut berada di Kecamatan Balung. Terhitung sejak 2008, Tri sudah ‘ngopeni’ pertanian di dua desa yang bersebelahan itu.
 
Kendati honornya tidak seberapa, namun ia loyal kepada tugasnya. Meskipun tidak tiap hari mengujungi petani di desa tersebut, namun tiap pekan tiga sampai empat kali mengunjungi dua desa itu untuk melayani keluh-kesah petani.  Jarak antara rumah Tri dan dua desa tersebut lumayan jauh, yaitu 20 hingga 25 kilo meter. Malah tak jarang ia harus pulang malam untuk melayani kebutuhan petani.
 
“Misalnya untuk rapat, itu kan orang desa bisanya malam hari. Ya tidak apa-apa , saya layani,” ungkapnya.
 
Pengabdian Tri dan kesungguhannya dalam menjalankan tugas, tidak sia-sia. Paling tidak, hal itu bisa dilihat dari meningkatnya produksi padi di dua desa binaannya tersebut. Jika sebelumnya hanya mengahasilkan 5 ton/hektar, tapi saat ini sudah naik menjadi 7 ton/hektar. Bahkan kalau padi jenis legawa, bisa mencapai 14 ton perhektarnya.
 
“Tentu saja tidak semua (petani) menghasilkan begitu, karena memang tidak semua mengikuti arahan penyuluh,” jelasnya.
 
Soal pupuk, Tri mengaku terus mendorong petani untuk beralih ke pupuk organik. Meski masih berat, tapi banyak yang sudah mengikutinya. Selain itu, pola tanam dan cara petani memperlakukan tanaman (padi) juga penting untuk meningkatkan produksi.
 
 
Membasmi Tikus
Di luar itu, yang juga menjadi kendala sekaligus keresahan petani adalah banyaknya hama, terutama tikus. Daya rusak serangan tikus memang cukup parah, dapat mengobrak-abrik pohon padi. Susahnya tikus termasuk binatang cerdas. Meskipun dikasih umpan yang berisi racun namun selalu lolos dari kematian. Umpan tidak penah disentuh karena paham itu berisi racun. 
 
Akhirnya, petani menggunakan plastik untuk memagari sawahnya dari serangan tikus. Plastik tersebut ditempatkan di sisi dalam pematang sawah guna mencegah masuknya tikus ke area sawah, karena binatang pengerat itu bersembunyi di lubang-lubang di sisi bawah pematang. Tapi itupun tidak efektif. Sebab tikus masih mampu menembus plastik tersebut lewat sela-sela di bawahnya. Selain tidak efektif, biayanya juga mahal. Satu hektar bisa habis Rp1 juta untuk beli plastik saja.
 
“Akhirnya kami mencoba menggunakan burung hantu,” ungkap Tri.
 
Kebetulan di dua desa itu banyak burung hantu jenis tyto alba (serak Jawa). Tyto alba merupakan spesies burung berukuran besar. Ia adalah pemangsa dan penangkap tikus bintang dan vole (sejenis tikus tapi lebih gemuk). Menurut penelitian, sepasang burung hantu tyto alba bisa memakan hingga 6.000 tikus pertahun.
 
Burung hantu tidak bisa dipelihara untuk kebutuhan itu. Jika dipelihara dengan  sengaja, misalnya ditaruh di sawah, malah ia lepas, hilang. Tapi burung hantu memang tidak bisa membuat sarang sendiri. Tempat tinggalnya biasanya di pohon yang berlubang, atau bekas sarang burung lain. 
 
Oleh karena itu, Tri mencoba membuatkan kandang di sekitar sawah, yang di dalamnya seolah-olah bekas sarang burung. Ternyata, kandang tersebut betul-betul cocok. Satiap kandang yang dibuatnya, lama-kelamaan terisi burung hantu tyto alba. 
 
“Malam hari dia (tyto alba) kerja, makan tikus yang berkeliaran di sawah,” terangnya.
 
Rupanya cara yang ditempuh Tri cukup jitu utuk menghalau tikus dari area persawahan. Memang petani tidak tahu cara kerja tyto alba seperti apa, tapi kenyataannya tikus di sawah menjadi jauh berkurang. Kerusakan pohon padi yang biasanya berkelompok, misalnya pohonnya potong dan kocar-kacir, tidak tampak lagi.
 
Saat ini di Desa Gumelar dan Curahlele ada lebih 40 kandang burung hantu tyto alba, dan semuanya ada penghuninya, bahkan sudah ada yang beranak pinak. Kendalanya adalah warga di luar desa itu kadang usil, menangkap tyto alba yang  bersarang di kandang itu.
 
“Tapi itu bisa kami atasi. Sebab semua petani menjaganya,” ungkapnya.
 
Menghalau hama, tidak harus dengan pestisida, atau racun lain yang diperlukan. Burung hantu tyto alba juga bisa dimanfaatkan untuk membasmi tikus sawah. Jika saja populasi burung ini tidak dirusak oleh tangan-tangan serakah manusia,  mungkin lebih banyak padi yang bisa diselamatkan dari serangan tikus. Berarti produksi padi lebih banyak lagi.
 
Semakin banyak menghasilkan padi, tentu semakin baik. Dalam beberapa tahun terakhir Indonesia selalu mengimpor beras dari Thailand. Bahkan meskipun tahun lalu, produksi beras nasional mengalami surplus, namun pemerintah tetap melakukan impor. Hal ini dilakukan untuk menjaga ketersediaan stok beras, menstabilkan harga, dan sebagai cadangan bila terjadi bencana atau gagal panen. 
 
Namun jika stok beras nasional benar-benar melimpah, tentu kran impor akan ditutup. Dan apa yang dilakukan oleh Tri merupakan salah satu upaya mencapai surplus beras yang ideal, sehingga impor tak diperlukan lagi.
 
 
Pewarta: Aryudi AR 
Editor: Ibnu Nawawi