Daerah

Ruh Tradisi Intelektual NU Mulai Memprihatinkan

Kam, 11 September 2003 | 08:42 WIB

Sidoarjo, NU Online
Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia generasi muda NU Sidoarjo, pengurus cabang GP. Ansor Sidoarjo menggelar acara rutin bulanan Kajian Berkala ke-5 dengan tema “NU dan Dinamika Sosial: Telaah Kritis Terhadap Lajnah Bahtsul Masail” di aula PCNU Sidoarjo Jl. KH. Mukmin 64. (8/9)

Hadir sebagai nara sumber NU Ulil Abshar- Abdallah dan DR. H. Ahmad Zahra, MA ( Dosen Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya dan dimoderatori oleh  Muh. Sholehuddin, M.Ag dari Litbang GP Ansor Sidoarjo.

<>

Hasil yang diperoleh dari forum diskusi tersebut adalah adanya kekhawatiran yang cukup besar terhadap keseluruhan tradisi intelektual NU yang mulai mengalami proses kemunduran secara pelan-pelan.

Dengan tegas Ulil menyatakan bahwa sekarang ini kemampuan kyai dan santri dalam bidang keilmuan mulai menurun. Yang banyak muncul sekarang adalah “kyai masyarakat”, yaitu keturunan kyai yang aktif di masyarakat tapi kemampuan intelektual keagamaannya minim. Sementara “kyai ilmu” yang menjadi referensi umat dalam melestarikan dan mengembangkan ilmu keagamaan di pesantren semisal al-maghfurlah KH. Ali Maksum Krapyak semakin sedikit jumlahnya.

“Jika jumlah “kyai ilmu” yang betul-betul kyai ini semakin kecil, lalu bagaimana dengan bahtsul masail NU mendatang. Apakah akan tetap diminati dan bisa bertahan lama serta menghasilkan putusan-putusan hukum yang profesional dan akurasi kebenarannya dapat dipertahankan jika kyai yang banyak muncul adalah kyai masyarakat?”, keluh Ulil.

Dalam pandangan Ulil, sesungguhnya bahtsul masail merupakan ruh dan soko guru tradisi intelektual NU. Jika mati maka reduplah cahaya intelektual NU. Padahal bahtsul masail itu pada dasarnya adalah forum yang diproyeksikan oleh para ulama sepuh NU sebagai tradisi fatwa kolektif yang hanya ada di Indonesia. Di Timur Tengah hanya ada tradisi futyah (fatwa solo) dan Qodhyah (pembukuan hasil putusan hakim/qodhi).

Sebelum DR. Yusuf Qordhowi (ulama besar Mesir) menganjurkan ijtihad kolektif, NU sejak 70 tahun lalu sudah melaksanakannya melalui bahtsul masail. Oleh karena itu, forum bahtsul masail harus dilestarikan dan dipertajam dengan metodologi yang inovatif.

Hal yang senada juga disampaikan oleh A. Zahra yang telah mengadakan penelitian khusus tentang bahtsul masail melalui disertasinya yang berjudul “Lajnah Bahtsul Masail NU 1926-1999: Telaah Kritis Terhadap Kaputusan Hukum Fiqih”. Saya adalah orang NU tapi saya sangat heran dengan tradisi intelektual NU. Kegiatan memecahkan masalah sosial keagamaan di NU telah dimulai sejak tahun 1926 hingga sekarang, tapi kegiatan itu baru dinamakan batsul masail pada tahun 1990 ketika digelar muktamar NU di Lampung. Sejak tahun 1926 hingga 1980-an berjalan tanpa nama,” ujar doktor jebolan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.

Menurutnya, ada beberapa putusan hukum Muktamar dan Munas Alim Ulama yang patut ditinjau ulang karena tidak lagi dengan maqashid al-syariah dan konteks perubahan zaman. Misalnya, Muktamar NU ke-8 (Jakarta, 5-7 Mei 1933), Munas Alim Ulama Cilacap 15-17 Nopember 1987 dan Muktamar NU ke-28 (Yogyakarta 25-28 Nopember 1989 memutuskan bahwa memelihara ikan dalam tambak, beternak ikan bandeng untuk keperluan sehari-hari, berkebun tebu dan usaha perhotelan tidak dikenai wajib zakat.

“Kalau putusan itu tidak dikaji ulang, kasihan para petani, kerjanya sengsara, modalnya mahal, namun hasilnya minim dan masih kena wajib zakat lagi. Mana mashlahat dan keadilan sosial yang dijanjikan oleh Islam? padahal Surat al-Baqoroh: 267 jelas menyatakan ya ayyuhal ladhina amanu anfiqu min thoyyibati ma kasabtum wa mimma akhrojna lakum. Tidak bijaksana mengkultuskan kitab-kitab kecil sementara isinya dapat melahirkan ketimpangan sosial“, demikian tandas A. Zahra.(KD-Sda/msh)