Daerah

Sambut Lailatul Qadar, Warga Buntet Pesantren Keliling Bawa Obor

Rab, 12 April 2023 | 16:15 WIB

Sambut Lailatul Qadar, Warga Buntet Pesantren Keliling Bawa Obor

Puluhan warga dan santri Pondok Buntet Pesantren saat menyambut malam ke-21 bulan Ramadhan, berkeliling dan membawa obor. (Foto: NU Online/Syakir NF)

Cirebon, NU Online 
"Maleman tanggal selikure. Maleman tanggal selikure."


Begitulah teriakan puluhan bocah di Pondok Buntet Pesantren saat menyambut malam kedua puluh satu bulan Ramadhan. Mereka menyebut-nyebut kalimat di atas dengan nada yang khas sembari berkeliling dan membawa obor.


Pengamat Kebudayaan KH Munib Rowandi menyebut bahwa pawai obor atau maleman, menurut penuturan orang Buntet Pesantren, merupakan satu tradisi Buntet Pesantren dalam menyambut Lailatul Qadar.


"Kami sejak kecil diajari orang tua bawa oncor (obor) keliling menyambut kedatangan Lailatul Qadar," katanya pada Selasa (11/4/2023).


Sebagaimana diketahui, Selasa (11/4/2023) malam, umat Islam di Indonesia telah memasuki hari kedua puluh satu bulan Ramadhan. Menurut pendapat yang kuat, 10 hari terakhir bulan Ramadhan merupakan hari-hari istimewa dan salah satu di malam tanggal ganjilnya diyakini turun Lailatul Qadar.


Karenanya, kehadiran maleman pawai obor selain menyambut Lailatul Qadar juga mengingatkan kepada masyarakat bahwa Ramadhan sudah memasuki tanggal 21. Dengan begitu, masyarakat diharapkan dapat lebih meningkatkan ibadahnya.


"Di samping itu mengingatkan orang tua sudah masuk tanggal 21, tanggal istimewa di bulan Ramadhan," ujarnya.

 

Genjringan di Masjid Agung Buntet Pesantren Cirebon pada Selasa (11/4/2023) menyambut malam Lailatul Qadar.


Kiai Munib menceritakan bahwa tradisi tersebut terjadi turun temurun sejak dahulu. Belum ada catatan resmi dan penuturan lisan yang menyebut mula tradisi tersebut.


Obor sendiri dipilih, menurutnya, karena merupakan penerangan yang paling mudah dan terjangkau di zaman dahulu. Ia menceritakan ketika menjelang tanggal 21, anak-anak saat masa kecilnya langsung berburu bambu dan membuat obornya secara mandiri. Sumbunya terbuat dari kain yang tidak terpakai dan dibasahi dengan minyak tanah.


Kemudian, anak-anak ini berkeliling selepas Maghrib sampai menjelang tarawih. Lalu, mereka akan melaksanakan shalat tarawih berjamaah di masjid dilanjutkan dengan menyimak tadarus Al-Qur'an yang dibacakan oleh para kiai dan orang-orang sepuh hingga pukul 22.00 malam.


Selepas itu, anak-anak bebas bermain di halaman masjid, seperti main sepak bola. Saat jam 12 malam tiba, mereka akan kembali ke masjid untuk menabuh bedug secara bergantian untuk menandai pergantian waktu. Saat pukul 1 tiba, mereka akan bergantian menabuh kentongan satu kali. Pukul 2, anak-anak juga akan bergantian menabuhnya dua kali. Demikian terus sampai pukul 3 atau 4, sampai mereka kembali ke rumah untuk menyantap sahur. Pun imsak juga bedug dan kentongan akan ditabuh untuk menandai waktu puasa sudah dimulai.


"Dulu cenderung bocah-bocah pada sast Ramadhan hidupnya di masjid," kata penulis buku Kisah-Kisah dari Buntet Pesantren itu.


Lebih lanjut, Kiai Munib juga menegaskan bahwa pawai obor ini akan terus dilakukan setiap malam sampai akhir Ramadhan. Sementara pada malam Idul Fitri, anak-anak akan bertakbiran bersama di masjid.


Tidak hanya pawai obor, penyambutan malam Lailatul Qadar juga dilakukan dengan menabuh genjring sebagai pengiring lantunan shalawat. Kegiatan ini juga dilakukan di Masjid Agung Buntet Pesantren.


"Termasuk genjring juga jadi rangkaian menyambut lailatul qadar di tanggal 21 Ramadhan," ujarnya.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Syamsul Arifin