Daerah

Tradisi Meugang di Aceh Jelang Ramadhan, Momen Ziarah dan Berburu Daging

Ahad, 19 Maret 2023 | 15:00 WIB

Tradisi Meugang di Aceh Jelang Ramadhan, Momen Ziarah dan Berburu Daging

Ratusan warga Aceh sedang persiapan merayakan tradisi lokal Meugang menjelang Ramadhan. (Foto: NU Online/Helmi)

Banda Aceh, NU Online
Di antara kearifan lokal yang dilakukan sejak dulu oleh masyarakat Aceh sebelum Ramadhan secara turun-temurun adalah tradisi Meugang. Dahulu meugang dilaksanakan selama tiga hari sebelum Ramadhan oleh masyarakat Aceh.


“Akan tetapi, setelah adanya kesepakatan dari ulama Aceh untuk menggunakan metode rukyah dalam penentuan 1 Ramadhan, maka meugang hanya dikenal satu hari saja, yaitu sehari sebelum Ramadhan. Hanya sebagian orang yang merayakan meugang sejak dua hari sebelum puasa,’’ ungkap Ketua PW GP Ansor Aceh, Azwar A. Gani, Ahad (19/3/2023).


Azwar menyebutkan, tradisi meugang dilaksanakan berbagai kalangan. Tentu bentuk pelaksanaan meugang ini berbeda-beda antara orang mampu dengan yang tidak mampu. Meski demikian, yang mereka inginkan adalah ikut serta merayakan meugang walau sekadarnya.


Meugang sudah dimulai sejak Kerajaan Aceh Darussalam. Tradisi ini dilaksanakan oleh kerajaan di istana yang dihadiri para sultan, menteri, pembesar kerajaan, dan ulama,” tuturnya.


Azwar mengatakan bahwa dalam catatan sejarah, tradisi meugang sudah berlangsung ratusan tahun lalu. Ada yang menyebut di hari tersebut dilakukan ziarah kubur para ulama dan orang tua. 


“Bahkan hingga saat ini masih terlihat adanya kerabat dan sanak keluarga kala hari meugang ikut membersihkan maqbarah (kuburan),” ulas Mahasiswa Pascasarjana UIN ar-Raniry Banda Aceh itu.


Berdasarkan catatan sejarah, lanjut Azwar, tata cara masyarakat dalam merayakan meugang sangat bervariatif. Terutama dalam upaya menyediakan daging untuk meugang. Di antara model yang dipraktikkan masyarakat Aceh dalam mengadakan daging untuk meugang dikenal dengan meuripee.


“Model ini masyarakat sepakat untuk mengumpulkan sejumlah uang dan membeli hewan sembelihan (lembu atau kerbau). Kemudian daging akan dibagi sesuai jumlah orang yang ikut mengumpulkan uang atau meuripee tersebut,” terangnya.


“Cara seperti ini banyak dilakukan oleh masyarakat yang kebanyakan sudah mapan dan berpenghasilan tetap, sehingga di antara mereka bisa melunasinya dalam beberapa kali,” lanjut Azwar.


Menurut dia, meugang yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat Aceh memiliki nilai positif. Tradisi ini media untuk meraih pahala dengan cara bersedekah.


“Terkait penetapan hukum berdasarkan alasan adat-istiadat masyarakat mendapatkan landasan teori fiqih. Antara lain kaidah fiqih, al-‘adatu muhakkamah (Adat/tradisi dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum syara’). Atau: Ats-Tsabitu bil ‘urfi katstsabiti binnash. (Ketetapan hukum yang didasarkan atas tradisi sama dengan ketetapan berdasar syara’),” paparnya.


Kontributor: Helmi Abu Bakar
Editor: Musthofa Asrori

 

Berita ini telah diedit ulang pada Ahad, 19 Maret 2023 pukul 19.49 WIB.