Daerah

Tradisi Pojhian Gambarkan Realitas Sosial Masyarakat Madura

Sel, 20 September 2022 | 08:00 WIB

Tradisi Pojhian Gambarkan Realitas Sosial Masyarakat Madura

Tradisi Pojhian masyarakat Madura tampil dalam festival budaya (Foto: Firdausi)

Sumenep, NU Online
Pojhian adalah sebuah ekspresi masyarakat masa lalu yang belum bisa baca tulis terhadap teks atau kalamullah. Ritual itu memberikan gambaran pada khalayak bahwa alam semesta ada yang mengendalikan dan manusia wajib kembali kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.


Pada pelaksanaannya, sebelum dimulai, anggota Pojhian duduk melingkar. Orang yang duduk di tengah adalah yang akan memimpin Pojhian. Setelah itu, pemimpin Pojhian betawasul menggunakan bahasa Arab dan Madura.


Kemudian, Pojhian dimulai dengan menggunakan 12 bahasa. Semakin lama, tempo Pojhian semakin cepat, seakan-akan berdzikir. Berselang kemudian, seluruh peserta berdiri dan berjalan mengelilingi pemimpin Pojhian sambil mengucapkan 12 bahasa dan dicampur dengan lafaz 'Allahu'.

 

Setelah berputar mengelilingi pimpinan Pojhian, mereka duduk lagi dan diparipurnai dengan doa.


Kiai A Quraisy, ketua rombongan Pojhian mengutarakan, masyarakat yang tidak bisa baca tulis itu diterjemahkan dengan menggunakan bahasanya sendiri.


Disebutkan ada 12 bahasa dalam Pojhian yang merefleksikan dan menggambarkan realitas sosial, baik dari kelas atas sampai kelas bawah. Baginya, tanpa adanya kelas, masyarakat akan mondar-mandir. 


"Dua belas bahasa itu adalah tak dhemmung, ghurjhem, he' pehe', yalele, ghir papag dan seterusnya," terangnya saat dikonfirmasi NU Online, Selasa (20/9/2022).


Dijelaskan, kedua belas bahasa itu menerjemahkan realitas sosial yang harus diemong (dhammong). Ghur-ghur artinya sesuatu yang berserakan yang harus dirajut dan disatukan kembali menjadi satu kesatuan yang utuh dan kebersamaan (tak dhammong ghurjhem).


Tak hanya itu, tugas mengemong dilakukan oleh semua level, seperti ulama, pemerintah, orang tua dan sebagainya. Sedangkan arti ghir papag dan he' pehe, menggambarkan bahwa warga memiliki sikap arogan yang semestinya kembali ke jalan Allah. Di dalam Pojhian disebut ayo pulang (yalele artinya ayo mole).


"Semua bahasa di dalam Pojhian, mayoritas menggunakan bahasa singkatan. Salah satu kebiasaan orang Madura adalah menyingkat bahasa. Misalnya bahasa Ghirpag yang sebenarnya berangkat dari ghighinah ngalapag (cara berbicara seseorang tidak teratur atau sembrono). Sekali lagi, bahasa lisan di dalam Pojhian sangat multitafsir," ungkapnya.


Pria yang kini mengemban amanah  sebagai Ketua Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) Sumenep itu menyatakan, tradisi Pojhian bisa mengembalikan warga pada jalannya yang benar. Terbukti, sejak tahun 2005-2022, tradisi Pojhian yang terpusat di Desa Gapura Timur, Gapura, Sumenep, masih eksis dan mentas di seluruh perdesaan.


"Pojhian bukan dalam bentuk kumpulan NU di tingkat ranting, melainkan menjaga sakralitas. Kini, seni tradisi warisan adiluhung yang hampir punah ini, direvitalisasi oleh Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama (Lesbumi NU) Gapura. Setelah mendapat restu dari para masyaikh, pojian ini dipimpin oleh Gung Masginah," tutur Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mutammimah Gapura Timur.


Kiai Quraisy menceritakan, saat berkeinginan mengadakan rokat desa, Kiai Mukafi selaku sesepuh meminta untuk mengadakan pojian. Selain itu, Pojhian dihelat pada acara hajatan, selamatan, terutama saat musim kemarau panjang.


"Dahulu kala, tokoh kunci Kiai Mukafi, Kiai Fadhal, dan Kiai Faqih tidak memerintahkan warga untuk shalat istisqa', tetapi melakukan Pojhian yang dimungkinkan bahasa lisan itu bisa mengetuk pintu langit," ucapnya.


Lebih lanjut pihaknya mengatakan berkomitmen tidak menerima tarif saat tampil. Pasalnya tradisi ini tidak memiliki kepentingan komersil, namun menyadarkan masyarakat. Misalnya, saat diundang ke Dungkek, bahasa Pojhian pelan-pelan menyadarkan warga tentang pentingnya menjaga lingkungan dan tidak mengalihfungsikan tanahnya.


"Sebelum tampil, mereka biasa latihan di rumah kami. Kehadiran di setiap momen, hakikatnya ingin merawat kearifan lokal dan menjaga eksistensinya sebagai warisan budaya dari kalangan masyarakat tertentu," tandasnya.


Kontributor: Firdausi 
Editor: Kendi Setiawan