Tradisi Sepak Bola Api di Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, Media Dakwah dan Melawan Nafsu
Sabtu, 14 Oktober 2023 | 14:30 WIB
Ilustrasi santri sedang menggiring bola api dalam permainan sepak bola api. (Foto: Dok. Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon)
Joko Susanto
Kontributor
Cirebon, NU Online
Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat mempunyai tradisi khas, yaitu bermain sepak bola api. Permainan bola dilakukan santri dengan tidak mengenakan alas apapun.
Bagi sebagian orang pertunjukan tersebut berbahaya. Namun bagi santri Madrasah Salafiyah Al-Hikamus (MHS), Pondok Pesantren Babakan, Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, permainan bola api sudah menjadi tradisi yang rutin diselenggarakan setiap tahunnya.
Seperti sepak bola pada umumnya, pertandingan bola api ini dimainkan oleh santri yang dibagi menjadi dua tim. Setiap tim memiliki sekitar enam pemain dan seorang penjaga gawang atau kiper.
Selama pertandingan, sepak bola api yang dimainkan tak padam. Namun Ketika bola api padam, panitia pertandingan siap menggantinya dengan bola baru. Biasanya permainan bola api dilakukan pada saat perayaan haflah akhirusannah mutakhorijin.
Sebagai media dakwah
Permainan sepak bola api di pesantren memiliki digunakan salah satunya sebagai media dakwah. Nilai-nilai dakwah dalam tradisi permainan bola api ini dilihat dari nilai spiritual dan nilai sosial.
Nilai Spiritual yang meliputi ketaatan, takzim, patuh, dan tawakal. Begitu pun dengan nilai sosial yang terdiri dari taat asas (aturan), kekompakan, gotong royong, dan tertib.
"Permainan bola api ini simbol ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa bahwa panasnya api dapat dikalahkan," kata Pembina Santri Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, Ustadz Baykuni.
Simbol melawan nafsu
Menurut salah seorang pengasuh Pesantren Kebon Pring Al-Islamy Plrede, Cirebon, Ustadz Syahrudin permainan sepak bola api tidak hanya saat perayaan Hari Santri, tetapi juga saat hari kelulusan, dan menyambut Ramadhan. Dia mengatakan, permainan bola api sebagai upaya mengendalikan hawa nafsu yang diibaratkan seperti bola api.
“Bola itu ibarat hawa nafsu, harus dibakar dan dikendalikan. Jangan sebaliknya,” ujar Ustadz Syahrudin.
Sebelum bermain bola api, para santri berwudhu. Menurut Syahrudin, seseorang harus bersuci agar mampu mengendalikan nafsu. Setelah itu, mereka melantunkan azan. Selain momen-momen di atas, permainan bola api juga kerap dilakukan menjelang hari-hari besar Islam.
Berdasarkan catatan beberapa literasi, sepakbola api merupakan permainan tradisional dari Sumba, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang menyebar hingga ke beberapa pelosok tanah air.
Sepakbola api atau laliang ini, dimainkan oleh dua tim yang masing-masing terdiri dari lima orang. Sebelum permainan dimulai, bola batok kelapa kering direndam menggunakan minyak tanah selama beberapa hari, kemudian dibakar.
Terpopuler
1
PBNU Tunjuk Ali Masykur Musa Jadi Ketua Pelaksana Kongres JATMAN 2024
2
Ulama Sufi Dunia Syekh Muhammad Hisham Kabbani Wafat dalam Usia 79 Tahun
3
Ricuh Aksi Free West Papua, PWNU DIY Imbau Nahdliyin Tetap Tenang dan Tak Terprovokasi
4
GP Ansor DIY Angkat Penjual Es Teh Sunhaji Jadi Anggota Kehormatan Banser
5
Khutbah Jumat: Meraih Keselamatan Akhirat dengan Meninggalkan 6 Perkara
6
Lantik 4 Rektor Perguruan Tinggi NU, Waketum PBNU: Tingkatkan Kualitas Pelayanan Akademik
Terkini
Lihat Semua