Opini

Tantangan Manusia Kiwari

Jum, 8 Januari 2021 | 13:30 WIB

Tantangan Manusia Kiwari

Jika masalah kontemporer tak segera disikapi, besar kemungkinan sampah pikiran-perasaan manusia makin menjulang tinggi tak terbayangkan.

“Kiamat” peradaban yang termaktub dalam kalender Maya bertitimangsa 31/12/2012, kini kian kentara. Seterang matahari siang. Era Revolusi Industri 4.0 telah menggeser kesadaran umat manusia. Satu di antaranya adalah, “agamakulah yang mutlak benar” menjadi “beragama atau tidak adalah khazanah kultural milik kita bersama.” Pelan tapi pasti, ada hukum baru yang mulai bekerja, meninggalkan piranti lama yang sudah usang—dan kemudian menjadi hukum besi kehidupan.

 

Banyak riset mendalam telah dikerjakan. Ada beragam hal diukur dengan pemeringkat indeks. Logaritma yang digunakan untuk menghidupkan kecerdasan buatan, semakin tak terbantahkan. Anda tahu artinya? Grafik angka tersebut yang kelak menjadi tolok ukur dunia kita untuk bergerak. Masih ingat bagaimana sebuah cuitan dari seorang saudara pedagang sayur—yang membakar diri di depan istana presiden Suriah? Ya, itulah faktor utama pemicu kekacauan Timur Tengah yang tak kunjung reda.

 

Umat Muslim di Indonesia perlu mengetahui beberapa fakta berikut ini, yang kelak akan mengubah cara pandang manusia memahami agama.

 

Negara yang indeks kebahagiannya tinggi, secara umum, level beragama masyarakatnya rendah. Negara yang paling mampu membuat warganya bahagia, sebagaimana diukur oleh Indeks Kebahagiaan Dunia—berdasar indeks keberagamaan, populasi di negara itu cenderung menganggap agama tak lagi penting dalam kehidupan mereka. Sampai di sini Anda bisa memahami apa yang tengah terjadi? Kalau belum, mari kita lanjutkan.

 

Negara yang tingkat beragama masyarakatnya tinggi, dipimpin pemerintahan yang cenderung korup. Banyak negara yang lebih dari 90 persen populasinya menyatakan agama sangat penting dalam hidup mereka. Nah, di negara itu, tingkat korupsi pemerintahannya juga akut—diukur berdasar Indeks Persepsi Korupsi. Dengan sangat terpaksa, kami harus memasukkan contoh kasus di negeri kita sebagai penjelasnya. Apakah ada yang ingin menyangkal?

 

Di negara yang indeks pembangunan manusianya tinggi, tingkat beragama masyarakatnya malah cenderung rendah. Indeks Pembangunan Manusia mengukur kemajuan negara dengan aneka dimensi. Sedari kesejahteraan, kesehatan, hingga pendidikan. Itulah hal penting dalam membangun manusia. Sepuluh negara teratas dengan indeks tertinggi, masyarakatnya cenderung tak menganggap agama hal yang penting dalam hidup mereka.

 

Pada masyarakat yang tingkat beragamanya tinggi, memiliki kecerdasan rata-rata yang lebih kurang dibandingkan masyakat yang tingkat beragamanya lebih rendah. University of Rocherter, secara khusus mengukur hubungan antara tingkat IQ dan agama ini. Hasil temuan tersebut diterapkan untuk pengembangan teritori dunia terbaru yang kini mulai menggeliat. Mungkin Anda bisa menjelajahi soal ini secara terpadu, dalam situs humanreligions.info.

 

Dua agama dengan penganut terbesar: Islam dan Kristen, meyakini dua hal yang bertolak belakang dan mustahil keduanya benar. Namun meskipun begitu, masyarakat global telah menyaksikan, hal yang salah pun bisa diyakini lebih dari satu miliar manusia, selama hampir dua alaf. Dogma Kristen meyakini Yesus (Nabi Isa ruhullah) wafat disalib, sementara Islam meyakini sebaliknya. Umat Nasrani mengamini yang akan dikorbankan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah Ishaq, sedangkan kaum Muslim yakin betul bahwa yang akan dikorbankan adalah Ismail. Begitulah kenyataan beragama yang cenderung terabaikan selama ini. Ikuti kajiannya secara runtut dalam crcs.ugm.ac.id.

 

Arkeolog, antropolog, dan ilmuwan modern berhasil menemukan banyak data-fakta. Menurut temuan mereka, beberapa nabi itu bukan tokoh sejarah, seperti Adam, Nuh, Musa, dan Isa. Para arkeolog menemukan, betapa riwayat para nabi lebih menyerupai kisah rakyat pada era peradaban yang lebih tua dari usia Kitab Suci. Kisah Nabi Musa ‘alaihissalam misalnya, sama persis dengan apa yang dialami Raja Sargon dari Sumeria/Mesopotamia—yang dokumennya bahkan lebih tua tinimbang Bible. Keduanya sama-sama dihanyutkan ke sungai saat bayi, dimasukkan dalam keranjang, lalu ditemukan di negeri lain oleh petugas kerajaan, dibesarkan di istana penguasa, lantas kembali ke tanah asal, dan menjadi pemimpin kaumnya.

 

Cerita tentang Nabi Isa pun, ada padanannya pada masyarakat purba. Peristiwa kelahiran dan dua belas orang sahabatnya, senada dengan perjalanan bumi mengelilingi tata surya hingga mencapai titik equinox. Permulaan masa bercocok tanam yang dimulai sejak 25 Desember saban tahun. Masih ada begitu banyak mitos yang menyelubungi dunia kita. Sedari mitologi Yunani dan Mesir kuno sampai cerita rakyat Yahudi; dari kultus Kristiani sampai Freemason; dari Karel Agung sampai Don Quixote, dari George Washington sampai Hitler, dan dari pewahyuan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hingga legenda Seribu Satu Malam.

 

Pengetahuan sejarah yang terlanjur mapan, perlu dipikirkan kembali secara revolusioner. Dengan pengetahuan alternatif ikhwal sejarah dunia selama lebih dari 3.000 tahun, kita mengungkap banyak rahasia besar yang selama ini disembunyikan. Sempatkanlah masuk ke tautan berikut ini.

 

Kebijakan publik sepuluh negara paling sejahtera, paling bahagia, paling membangun manusia, tak lagi merujuk Kitab Suci. Hukum yang disusun di parlemen mereka, temuan ilmu di laboratorium, perkembangan bisnis dunia modern, keputusan politik para pemangku kebijakan, semua diambil dengan semakin tidak merujuk pada Kitab Suci.

 

Dunia kita hari ini telah menjadi saksi kelahiran 4.300 agama baru yang berbeda dari sudut pandang mana pun. Peradaban manusia juga sudah menyaksikan pertarungan para fanatik yang mendaku pelbagai kebenaran mutlak, yang saling tak identik. Mari kita merenung lebih dalam, betapa perbedaan itu terjadi pada isu dan pokok masalah yang tak bisa difalsifikasi. Tak ada pegangan objektif untuk tahu mana yang benar, dan mana yang salah. Silakan kunjungi thetravelalmanac.com.

 

Setelah para pendiri agama tiada, yang tersisa hanya perbedaan tafsir semata. Para rahib, pendeta, ulama, bhiksu, berbeda-beda memahami dan beropini. Sedari hal yang esensial hingga teknis superfisial. Dalam Islam misalnya, soal siapa pengganti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam selaku pemimpin umat? Haruskah penggantinya adalah keturunan beliau atau pemimpin yang dipilih? Perbedaan ini bahkan sudah terjadi dalam generasi pertama Muslim. Beda sikap malah sudah ada pada mereka yang mengenal Nabi. Perbedaan inilah yang membelah Islam jadi Sunni dan Syiah, dan sentimen itu terus hidup sampai sekarang. Tenang saja, hal serupa juga terjadi pada agama lain.

 

Perayaan Natal dan Lebaran, juga mulai dirayakan penganut agama lain, atau malah mereka yang tak beragama dan bertuhan. Bagi mereka, Natal adalah peristiwa kultural yang cukup syahdu untuk ikut dirayakan, kendati mereka tak meyakini Kristen sebagai jalan kudus. Pew Research Center per 23 Desember 2013 mencatat, betapa banyak sekali penganut agama lain, juga yang tak beragama—di Amerika Serikat, yang tak hanya hadir di gereja, malah mereka juga menjadi tuan rumah perayaan Natal.

 

Hak asasi manusia menghargai kebebasan beragama atau tak beragama. Apa pun tafsir, dan keyakinan soal tuhan, agama, dan kebenaran, itu diserahkan kepada pilihan individu. Keyakinan ini dilindungi sejauh tak ada paksaan dan kekerasan pada pihak lain. Kini mereka yang tak meyakini agama apa pun, adalah segmen terbesar ketiga di dunia, setelah penganut Kristen dan Islam. Data terkait ini dilansir pertama kali oleh www.washingtonpost.com pada 19 Desember 2012.

 

Kita memasuki peradaban yang sama sekali baru. Disrupsi perubahan mendasar tak hanya terjadi pada teknologi, dengan kedatangan Internet untuk Segalanya. DNA yang bisa disunting, hewan dan organ manusia yang bisa dikloning—disalinrupa, jelas perlu disikapi. Perubahan pun terjadi dalam dunia bisnis. Pasar daring secara perlahan mulai menghancurkan ritel tradisional. Koran cetak terkemuka tutup dan berganti ke dalam jaringan laba-laba dunia. Aneka saluran televisi model kuno juga beralih bentuk. Cepat atau lambat, semua akan hadir dalam ponsel Anda.

 

Begitu banyak masalah yang semakin tak bisa diselesaikan hanya oleh satu negara nasional saja, tapi harus dengan kerja sama regional, bahkan global. Seperti isu lingkungan hidup, ketahanan pangan, protokol internet, pasar digital, perlombaan nuklir, moralitas sains, dan penanggulangan pandemik. Jika itu semua tak segera disikapi, besar kemungkinan sampah pikiran-perasaan manusia makin menjulang tinggi tak terbayangkan. Dunia kita memang sangat aneh dan misterius, sarat rahasia dan kode, dengan manusia di jantung teka-teki besar tersebut.

 

 

Ren Muhammad, pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas; Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institute.