Opini

Tiba-tiba Mendekati NU

Jum, 28 Februari 2020 | 13:45 WIB

Tiba-tiba Mendekati NU

Ilustrasi: Gibran Rakabuming saat hadir dalam Diklatsar Banser di Solo, Jawa Tengah. (Dok. IG @gibran_rakabuming)

Itu pilihan wajar, gelombang perubahan memang sedang ke arah itu. NU, sedang tidak dalam posisi berseberangan atau jauh dari pemerintah, jika tak mau menyebut mesra. Geliat NU pasca reformasi wabil khusus mulai 2004 memang terasa. Mungkin sebagai kekuatan civil society, sebagai jam’iyah dan jamaah, dianggap berpengaruh dalam pertarungan elektoral. Entah mulai di tingkat desa hingga nasional.

 

Ada yang mendekati tiba-tiba, mendadak, atau gradually well planned itu hanya soal pilihan waktu dan cara.

 

Niat. Bagi yang mendekat, itu hanya dia dan Tuhan yang tahu. Demikian pula, bagi NU (struktural di NU, termasuk banom dan lembaga) yang didekati, apa niat menerima didekati, itu juga hanya dia dan Tuhan yang tahu.

 

NU sendiri, secara organisasi dengan Khittah-nya sudah memagari kiprahnya dalam percaturan elektoral. Namun tak bisa dipungkiri, orang-orang di dalam NU atau minimal yang merasa NU, ada yang juga kesehariannya adalah aktor elektoral.

 

Ini yang menjadi diskusi panjang di NU yang sayup-sayup saya dengar dari pendopo pondok kami di Popongan.

 

Lalu apakah aktor-aktor elektoral yang di luar NU tak boleh masuk dan mendekati NU? Jika itu pertanyaannya, maka saya kok melihatnya simpel. Di luar soal niat, maka longgarnya tali jagat NU sudah menggambarkan.

 

Siapa pun boleh mendekati NU, masuk NU apalagi. Orang biasa atau aktor elektoral. Baik masuk dalam jam’iyah atau jamaah. Tidak ada askar moral yang melarang perempuan tak berjilbab tak boleh masuk masjid, atau mengusir pria yang bercelana pendek masuk masjid. Ini analogi ekstrem NU sebagai rumah teduh, Islam rahmah, yang terbuka kepada sesiapa yang mau belajar Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah. Begitulah minimal, jika kita memaknai dan mencontoh dakwah para wali untuk era milenial. Justru inilah kekuatan NU menurut saya.

 

Tapi. Nah ini ada tapinya. Kita juga tak boleh menafikan perspektif pihak-pihak yang melihat indikasi motif elektoral, baik yang mendekati NU atau yang di NU yang didekati. Boleh jadi akan ada keuntungan elektoral pribadi, tak hanya keuntungan bagi jam’iyah dan jamaah NU. Dan jangan lupa, boleh jadi juga kerugian.

 

Keuntungan dan kerugian elektoral itu tak melulu di atas kertas bisa terlihat. Jadi hitungan advantage, tidak selalu seperti advantage di tenis lapangan. Hitungan potensi kerugiannya pun juga tak teraba dengan nyata dan pasti. Hanya perkiraan.

 

NU sudah belajar dengan Pak Prabowo tahun 2014, dan Pak Jokowi tahun 2019 di tingkat nasional. Saya yakin, di level provinsi, hingga desa juga banyak contohnya. Termasuk yang terbaru di Solo, misalnya. Itu bukan barang baru dan biasa saja.

 

NU itu seperti tukang ndorong mobil mogok. Setelah jalan ditinggalkan. Paling banter dapet koin receh atau 2000-an. Pernah denger guyon begini? Pernah dong. Saya agak yakin, guyon begini lahir tidak dari sperma yang mengembara di kolam renang. Eh, maksudnya tak lahir dari ruang hampa. Tapi hasil hipotesa dari kejadian-kejadian. Tapi ada pertanyaan berikutnya, lha emang NU mencari untung keduniaan ya jika dekat sesiapa pun? Nah kan, njlimet kan.

 

Apakah itu baik bagi NU sebagai jam’iyah dan jamaah? Ditunggu saja, time will tell. Semoga kita semua termasuk dalam golongan orang-orang yang ikhlas. Ndak perlu blok-blokan atau ngajak gelut. Lha wong itu semua guyon belaka. Ayo cangkrukan lagi dan udud. Eh, saya NU, ndak udud. Sori gaes.

 

 

Anas Farkhani, Ketua Yayasan Pondok Pesantren Al Manshur Popongan, Klaten.