Fragmen

Dua Tokoh NU dari Jawa yang Lahir di Bulan Juni

Sen, 29 Juni 2020 | 18:00 WIB

Dua Tokoh NU dari Jawa yang Lahir di Bulan Juni

KH Abdul Halim Leuwimunding (kiri) dan Nyai Hj Djuaesih

Pada bulan Juni ini, ada dua tokoh NU yang tidak diketahui tanggal lahirnya. Keduanya sama-sama dari Jawa Barat. Pertama, KH Abdul Halim Leuwimunding. Ia lahir pada tahun 1890 dan wafat pada tahun 1972. Ia merupakan salah seorang pendiri NU satu-satunya dari Jawa Barat, yakni Kabupaten Majalengka. Ia sering dianggap dari Cirebon karena memang pada waktu itu Majalengka bagian dari Kerisidenan Cirebon. 


Choirul Anam dalam buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU menyebut KH Abdul Halim Leuwimunding memiliki kedekatan khusus dengan KH Abdul Wahab Chasbullah. Bahkan sebagian sumber menyebutkan bahwa Kiai Abdul Halim pernah menjadi sekretaris Kiai Wahab. 


Salah satu peran Kiai Abdul Halim dalam sejarah NU, menurut Choirul Anam adalah sebagai salah seorang pelopor koperasi NU yang muncul pada tahun 1929 dengan nama Coperatie Kaoeum Moeslimin (CKM).


Setelah 1926 NU berdiri, tiga tahun kemudian, para ulama di organisasi tersebut memikirkan bagaimana supaya anggotanya mandiri secara ekonomi. Pada 1929 mereka mendirikan Coperatie Kaoem Moeslimin (CKM). 


Masih menurut Choirul Anam pada bukunya menyebutkan, barang-barang yang diperjualbelikan di CKM ketika itu berupa kebutuhan primer (kebutuhan sehari-han) seperti: beras, gula, kopi, rokok, pasta gigi, sabun, kacang, minyak dan sebagainya.  


Namun yang menarik, menurut Anam, dari usaha ini adalah peraturan dasar CKM yang, kala itu, sudah disahkan sebagai model koperasi NU di tempat-tempat lain. Ini pertanda langkah awal menuju sosial ekonomi sudah mulai terlihat di tahun 1929 itu.  


“Peraturan CKM mengenai pembagian keuntungan, misalnya, dibagi lima bagian: 40 persen untuk pegawai (penjual), 15 persen untuk pemilik modal, 25 persen untuk menambah kapital (berarti pemilik modal mendapat bagian 40 persen), 5 persen untuk juru komisi (juru tulis) dan 15 persen untuk jamiyah Nahdlatul Ulama,” tulisnya.  


Tokoh NU dari Jawa Barat yang lahir di bulan Juni pula adalah Nyai Djuaesih. Ia lahir di Sukabumi pada tahun 1901. Namun, Ensiklopedia NU tidak menyebut tahun dan tanggal meninggalnya pula. 


Ia dikenal dan dikenang dalam cikal-bakal berdirinya gerakan perempuan NU, Muslimat. Pidatonya pada muktamar NU ke-13 di Menes, Pandeglang, Banten, selalu ditulis sebagai permulaan dalam penulisan sejarah Muslimat NU. 


“Saya, atas nama Muslimatun Bandung turut menggembirakan adanya Kongres NU di Menes ini. Mudah-mudahan segala keputusan-keputusan yang diambil olehnya ini akan dapatlah kiranya menambahkan pesat dan beresnya hal-hal atau keadaan-keadaan yang ada di dalam kalangan muslimin umumnya.”


Begitulah pernyataan Nyai Hj Djuaesih yang saya kutip dari buku Verslag (laporan) Kongres Muktamar NU ke-13 di Menes, Banten, 1938. Verslag itu kemudian mendeskripsikan reaksi yang hadir setelah pidato Nyai Djuaesih. 


“Mendengar dan melihat pidato beliau yang amat hebat itu, kaum-kaum ibu yang sama mendengarkan yang jumlahnya beberapa ribu itu memanggut-manggutkan dagunya (entah karena heran mereka, entah karena mengertinya).”


Di dalam sejarah NU, dia merupakan perempuan pertama yang tampil di hadapan para kiai. Waktu itu, pidatonya disaksikan Kiai Wahab, Kiai Bisri, Kiai Asnawi Kudus, Syekh Kasyful Anwar Kalimantan, KH Abdurrahman Menes, Habib Gathmayr dari Palembang, KH Abdul Latif Cibeber dan ratusan kiai lain.


Majalah milik NU tahun 30-an Berita Nahdlatoel Oelama dalam salah satu edisinya menyebutkan bahwa Nyai Djuaesih juga pernah menjadi wakil perempuan NU dalam kongres internasional Volkenbond. Dalam kongres itu ia menyampaikan poko-pokok pikiran kiai NU terkait pemberantasan pelacuran dan perdagangan anak. 


Penulis: Abdullah Alawi 
Editor: Alhafiz Kurniawan